beritabernas.com – Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Yogyakarta menilai Polisi yang melakukan proses penangkapan dan penahanan Ryan Nanda Syahputra, Terdakwa 1 kasus klitih, terindikasi melakukan mal prosedural dalam penanganan kasus ini.
Karena itu, PBHI Yogyakarta meminta Kepolisian agar menyatakan Terdakwa 1 Ryan Nanda Syahputra alias Botak bin Asril, dalam kasus klitih, secara sah dan meyakinkan tidak terbukti melakukan perbuatan pengeroyokan yang menyebabkan kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP yang didakwakan dan dituntutkan Jaksa Penuntut Umum.
PBHI Yogyakarta juga meminta agar membebaskan Terdakwa 1/Ryan Nanda Syahputra alias Botak bin Asril dari segala dakwaan dan tuntutan. Selain itu, meminta Hakim bisa obyektif dalam memeriksa kasus klitih ini dengan mempertimbangkan fakta di persidangan yang kuat bahwa terdakwa Ryan tidak melakukan seperti apa yang didakwakan, menolak dan menyanggah tuntutan JPU dan memutus bebas terdakwa.
Selanjutnya PBHI Yogyakarta meminta memulihkan nama baik Terdakwa 1 Ryan Nanda Syahputra alias Botak bin Asril sesuai dengan harkat dan martabat yang melekat pada dirinya seperti sedia kala.
Hal itu disampaikan PBHI Yogyakarta dalam jumpa pers di Kantor PBHI Yogyakarta di Jalan Manuk Beri (Perumahan Taman Siswa Indah Blok G-8), Wirogunan, Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta, Senin 7 November 2022.
Secara kronologis, Direktur PBHI Yogyakarta Arsiko Daniwidho Aldebarant menyebutkan bahwa pada 11 April 2022, Polda DIY mengumumkan 5 orang yang dituduh melakukan penganiayaan yang mengakibatkan kematian seorang pelajar berinisial D pada 3 April 2022 di daerah Gedongkuning, Yogyakarta. Kelimanya diamankan di rumah masing-masing pada Sabtu 9 April 2022.
Arsiko Daniwidho Aldebarant yang didampingi Nur Hidayah selaku anggota Tim Kuasa Hukum Ryan mengatakan, proses penyidikan dilakukan oleh tim gabungan dari Polsek Kotagede, Polsek Sewon dan Polda DIY.
Dalam persidangan saksi Iyan Aprindo Kurniawan dan Yan Ardiansyah menerangkan bahwa mereka melakukan penyelidikan dengan mencari tahu informasi dari masyarakat hingga menjurus kepada para Terdakwa, namun saksi tidak menjelaskan kelompok masyarakat mana yang mereka maksud. Kasus mulai disidangkan tanggal 28 Juni 2022 hingga sekarang. Dalam sidang pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) minggu lalu, menuntut terdakwa Ryan dengan 11 tahun penjara.
Menurut Arsiko, dari temuan yang muncul di lapangan ada indikasi pelanggaran yang dilakukan. Pertama, dugaan salah tangkap. Terdakwa 1, Terdakwa 2 dan Terdakwa 3 tidak mengendarai motor yang sama, bahwa sebenarnya setelah perang sarung Terdakwa 1 (Ryan) memboncengkan saksi Bayu Prasetyo menggunakan sepeda motor milik saksi Bayu Prasetyo dan saksi Adimas Rais Rahimmahullah memboncengkan Terdakwa 3 menggunakan sepeda motor milik saksi Adimas Rais Rahimmahullah. Saksi Bayu menerangkan hal serupa dalam persidangan.
Kedua, dalam proses penangkapan 10 April 2022 sekira pukul 02.00 WIB tidak ada surat tugas maupun surat perintah penangkapan, surat izin penggeledahan serta tidak melibatkan pihak keamanan desa atau pejabat RT atau RW.
Dalam proses penangkapan ada indikasi tidak dipenuhinya syarat-syarat formil ketika penangkapan. Terdapat sinyalemen pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh oknum polisi. Perbuatan ini sudah barang tentu bertentangan dengan nilai dan prinsip hak asasi manusia dan kaidah-kaidah negara hukum. Padahal, pasal 34 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tegas mengatakan, setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, dipaksa, dikecualikan, diasingkan atau dibuang secara sewenang-wenang. Masih dalam UU yang sama, pasal 33 jelas pula menyebut yang pada pokoknya setiap orang berhak untuk bebas dari perlakuan yang tidak manusia, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.
Ketiga, para Terdakwa dalam menjalani proses penyidikan mengaku mendapat kekerasan fisik dan psikis dari pihak kepolisian, kekerasan tersebut dimaksudkan untuk mendapat pengakuan dari para Terdakwa. tidak hanya para Terdakwa saksi Redy dan saksi Agus juga mengaku mendapat kekerasan dari pihak kepolisian. Dengan UU No. 12 tahun 2005, Indonesia sudah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang mana pasal 9 ayat 1 telah mengetengahkan ketentuan yang substansinya sama dengan pasal 34 UU No. 39 tahun 1999 yaitu setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Ditambah lagi, dalam Pasal 13 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia ditegaskan bahwa dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan, setiap petugas Polri dilarang: a. melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual untuk mendapat informasi, keterangan atau pengakuan. Dengan demikian, tidak ada satupun alasan yang membolehkan polisi atau aparatur negara melakukan penangkapan dan penahanan secara serampangan apalagi disertai dengan kekerasan.
Keempat, Polisi terindikasi melakukan Obstruction of Justice, tindakan yang mengancam dengan atau melalui kekerasan, atau dengan surat komunikasi yang mengancam, memengaruhi, menghalangi, atau berusaha untuk menghalangi administrasi peradilan, atau proses hukum yang semestinya. Diketahui dalam sidang pemeriksaan 6 Oktober 2022 lalu, Kepala Pusat Studi Forensik Digital UII Yudi Prayudi yang dihadirkan sebagai saksi ahli digital forensik kasus ini mengakui kesulitan mengidentifikasi sosok dalam CCTV kasus ini. Tercatat ada total 9 file video rekaman CCTV yang memang bukan primary source atau sumber utama. Sehingga kualitas gambar yang dihadirkan pun tidak cukup baik atau sudah tereduksi. Rekaman CCTV itu kan umumnya ekstensinya berupa HD atau Mov, nah ini diubah menjadi 3gp, apa akibatnya, akibatnya alat bukti ini rusak sehingga tidak dapat dilihat siapa sebenarnya yang terekam dalam CCTV.
Kelima, pakaian atau hoodie yang dijadikan barang bukti bukanlah pakaian yang dikenakan Terdakwa 1 pada malam itu dan hoodie yang dijadikan barang bukti berbeda dengan pakaian yang ada di CCTV yang dihadirkan oleh JPU perbedaan terletak pada gambar di belakang hoodie, pada CCTV Nampak hoodie warna cerah dan polos sedangkan hoodie yang dijadikan barang bukti memiliki gambar yang cukup besar di bagian belakang.
Keenam, menurut kesaksian Agus Dwi Antana alias Menyot Bin Waryono menerangkan bahwa Gir yang dijadikan barang bukti ialah Gir yang sebelumnya disimpan oleh saksi setelah mengganti Gir tetangganya di bengkel milik saksi. Saat Gir tersebut ditemukan dalam keadaan yang kotor oli dan rumah serangga (tidak ada bekas darah), polisi mengambil tanpa sarung tangan atau alat tertentu.
Ketujuh, tali yang dimaksudkan untuk mengikat Gir adalah milik saksi Agus (adik dari saksi Agus Dwi Antana) yang di dapat oleh pihak kepolisian dari kamarnya dan itu adalah sabuk dari perguruan silat yang diikuti oleh saksi Agus. Dari rumah Saksi Agus Syahputra Penyidik (pihak kepolisian) menyita 1 buah Gir, 1 buah sabuk berwarna kuning, 2 buah celurit. Namun yang dijadikan barang bukti hanya gir dan tali warna kuning. Keberadaan 2 buah celurit tidak dijelaskan.
Kedelapan, saksi-saksi yang dihadirkan JPU tidak melihat jelas siapa pelaku, hanya ada satu saksi yang yakin bahwa para terdakwa adalah pelaku. Kesembilan, lampu belakang barang bukti Vario 150 hitam setelah diperiksa bersama (Majelis Hakim, Penuntut Umum, dan Penasihat Hukum) di Rupbasan Yogyakarta ternyata tidak menyala (soket keluar dari body karena rusak/tidak terpasang bohlam), namun di video terlihat menyala. Lampu depan strobo biru dan lis merah barang bukti NMax hitam setelah diperiksa bersama ternyata menyala, namun di video terlihat tidak menyala dan warna body bukan cenderung biru seperti pada video.
Kesepuluh, terhadap surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum Nomor: REG.PKR.Pdm-32/M.4.1/Eku.2/06/2022, 13 Oktober 2022, setelah Tim Penasihat Hukum Terdakwa pelajari dan pahami, ternyata mengandung ketidakjelasan, ketidaksingkronan dan fitnah karena tidak mendasarkan apa yang terungkap di persidangan. Selain itu, nampaknya Jaksa Penuntut Umum memotong-motong keterangan saksi-saksi a de charge yang dihadirkan oleh penasihat hukum sehingga keterangan substansial tentang keberadaan Terdakwa tidak dimunculkan dalam Surat Tuntutan sehingga keterangan berkaitan dengan keberadaan para Terdakwa pada Minggu 3 April 2022 pada waktu pukul 02.00 WIB sampai dengan 02.30 WIB tidak termuat. (lip)