Oleh: Ben Senang Galus, Penulis buku Postmodernisme dan Sketsa Hibriditas, tinggaldi Yogyakarta
beritabernas.com – Pasang surut rasa kebangsaan yang ditunjukkan oleh masyarakat Indonesia mengindikasikan belum mengakarnya nasionalisme pada hati sanubari setiap anak bangsa. Nasionalisme Indonesia hanya bergema ketika ada imperialisme atau ancaman yang datang dari luar.
Persoalan ini memancing pertanyaan kritis, apakah nasionalisme Indonesia hanya terbentuk dalam tataran grand narrasi yang diikrarkan oleh para pendiri bangsa dan kalangan elit politik saja ataukah guna kepentingan politik? Sementara pondasi dasar yang semestinya dibangun oleh akar rumput tidak memahami hakekat dan makna dasar nasionalisme Indonesia. Sehingga berbagai bentuk penyimpangan terhadap hakekat nasionalisme terus terjadi.
Dasar kebersamaan yang telah dibangun para pendiri bangsa kini dihadapkan pada tantangan menurunnya moralitas masyarakat, memudarnya nilai-nilai nasionalisme, terabaikannya identitas nasional, meningkatnya aksi premanisme, meningkatnya angka korupsi, hakim sebagai penjaga keadilan roboh juga karena korupsi dan suap.
Sisi gelap nasionalisme
Ernest Renan, dalam What is Nation? (2024) memaknai nasionalisme sebagai ‘linguinnya negara-negara bangsa’ yang dialami oleh sejumlah negara yang memiliki heterogenitas yang tinggi, dapat dipahami. Misalnya keberadaan bangsa Indonesia sejak republik ini berdiri. Sejarah bangsa kita pada waktu-waktu tertentu muncul gejolak fenomena ethno-nationalism (mengarah ke separatisme) maupun religio-nationalism (mengarah ke teokrasi). Munculnya kedua gejolak fenomena nasionalisme ini secara historis masing-masing memiliki alasan tersendiri sesuai dengan konteks kepentingan sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Barangkali hal inilah yang dianggap oleh kalangan postmodernist sebagai sisi gelapnya nasionalisme.
Anggapan ini boleh jadi karena realitas sosio budaya masyarakat Indonesia yang memiliki heterogenitas yang tinggi, belum sepenuhnya bisa beradaptasi dengan platform politik nasionalisme yang lahir dari pemikiran dan/atau kebudayaan politik Barat yang diwacanakan oleh Bung Karno ketika menyampaikan Camkan Pancasila di hadapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 1 Juni 1945.
Apa yang dikatakan Ernest Renan di atas mau menegaskan suatu hal bahwa nation atau nasionalisme adalah jiwa dan semangat yang membentuk ikatan bersama, baik dalam hal kebersamaan maupun dalam hal pengorbanan. Identitas nasional merupakan produksi kesadaran kesatuan identitas (nasional) tidak pertama-tama mucul berdasarkan kesadaran akan kesatuan latar belakang budaya, etnis, agama, atau golongan sosial. Tetapi lebih merupakan “strategi” (produk) sosial, budaya dan politik untuk membangun, memproduk dan memproduksi identitas diri (self identity) baru sebagai penegasan identitas yang diimposisikan kekuatan penjajah.
Para nasionalis menganggap negara adalah berdasarkan beberapa “kebenaran politik” (political legitimacy). Bersumber dari teori romantisme yaitu “identitas budaya”, debat liberalisme yang menganggap kebenaran politik adalah bersumber dari kehendak rakyat, atau gabungan kedua teori itu (I Nengah Suastika, 2012).
Dalam pandangan posmodernisme symbol-simbol seperti lagu kebangsaan, bendera, bahkan bahasa serta lambang-lambang kenegaraan lainnya hanyalah merupakan mitos dan legenda belaka bagi nasionalisme dan tegaknya negara-bangsa. Bila masih bersandar pada hal-hal yang demikian dianggap hanya menjadi beban karena cukup besar biaya yang dikeluarkan untuk itu.
Kenichi Ohmae , dalam The Next Global Stage: Tantangan dan Peluang di Dunia Yang Tidak Mengenal Batas Kewilayahan dan berpandangan postmodernisme, (2005) menegaskan, kegiatan ekonomilah yang penting, sebab di samping lebih rasional juga lebih menguntungkan bagi pembinaan sebuah negara-bangsa (termasuk nasionalisme). Dia menasehati dan mengingatkan bahwa citra abad ke-21 ini mencakup 4-I, yaitu: industri, investment, individual, dan informasi.
- Membandingkan Pendekatan Militeristik Jawa Barat dan Restoratif Finlandia
- Pusat Studi Agama dan Demokrasi UII, Tempat Berkumpul untuk Merawat Akal Sehat
- Dosen UIN Sunan Kalijaga Ungkap Catatan Buruk Komunikasi Publik Pemerintahan Prabowo-Gibran
Selain itu, agar sebuah bangsa, negara maupun nasionalisme dapat terjaga dan berkelanjutan penting juga menciptakan The Emergence of Region State”, suatu kawasan (daerah/negara) berikat atau “Negara-wilayah”. Negara-wilayah yang dimaksudkan Ohmae di sini bukanlah unit politik melainkan unit ekonomi. Contohnya “Sijori” (Singapura, Johor, Riau) atau MEE (Masyarakat Ekonomi Eropa) dan yang jenis lainnya.
Yang penting juga menurut Ohmae adalah hadirnya Multinational Coorporation karena dapat berperan dan lebih dapat memberikan keuntungan yang tidak langsung kepada negara-negara nasional baru. Menurutnya lagi, bahwa untuk sebuah nasionalisme memang perlu biaya (cost) dan menjalankan proteksionisme merupakan suatu dalih belaka bagi kepentingan penguasa atau kekuasaan.
Sementara itu, dalam pandangan dan sudut tinjauan yang berbeda, Thomas H Eriksen dalam Ethnicity & Nationalism: Anthropological Perspectives (1993 mengemukakan untuk nasionalisme, terutama prinsip politik, maka politik dan unit nasional harus kongruen. Nasionalisme sebagai sentimen atau sebagai gerakan, paling dapat didefinisikan dalam istilah prinsip ini. Sentimen nasionalis adalah rasa marah terangsang oleh pelanggaran prinsip, atau perasaan kepuasan terangsang oleh pemenuhan.
Nasionalisme adalah ideologi yang berpendapat bahwa etnis (kelompok) mereka harus mendominasi negara. Oleh karena itu, suatu negara bangsa adalah sebuah negara didominasi oleh kelompok etnis, dengan penanda identitas (bahasa atau agama) yang sering tertanam dalam simbolisme resmi dan undang-undang. Meminjam catatan Lyotard., J. F.(1984), nasionalisme dalam masyarakat polyethnic, dapat digambarkan sebagai konflik antara kelompok-kelompok etnis didominasi melawan kekuatan mendominasi dalam kerangka sebuah negara bangsa modern
Para pakar politik sering mendapati suatu bentuk penjelasan yang menarik dalam nasionlaisme karena di dalamnya menjanjikan penjelasan mengenai sebab-sebab konflik yang tersembunyi di antara berbagai kelompok etnik. Di dalam hal ini, nasionalisme bukan keyakinan melainkan keuatan yang bisa menggerakan sekumpulan orang melakukan perbuatan sekaligus menganut suatu keyakinan. Nasionalisme sebaiknya dianggap sebagai seperangkat gagasan dan sentiment yang secara lentur merespons, dasawarsa demi dasawarsa, situasi-situasi baru –biasanya situasi-situasi sulit-yang memungkinkan rakyat menemukan jati dirinya.
Di lain pihak, Tom Nairn (1977) mengemukakan pandangan yang meragukan wacana tentang nasionalisme, yang dianggapnya menampilkan keraguan diri. Nairn menyatakan bahwa kode genetik dari semua nasionalisme menunjukkan tanda-tanda yang bertentangan dengan apa yang ia sebut “kesehatan” dan “ketidaknormalan”: dalam bentuk-bentuk prasangka, sentimen, egoisme kolektif, agresi, dan sebagainya. Yang telah menodai hal tersebut. Contohnya, ”(nasionallisme) mendorong mereka kepada tujuan singkat jangka pendek, seperti industrialisasi, kemakmuran, persamaan derajat dengan orang lain, dan lainnya.
Di lain pihak regresi jangka pendek, yakni melihat diri lebih dalam kepada sumber-sumber yang asli dengan menghidupkan kembali pahlawan-pahlawan rakyat masa lampau dan mitos-mitos tentang mereka sendiri.
Ikatan nasionalisme biasanya tumbuh di tengah masyarakat saat pola pikirnya mulai merosot, karena adanya penjajahan. Benedict Anderson, (1999) mengatakan nasionalisme muncul karena adanya imprialisme dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum dan aspek-aspek lainnya. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ untuk mempertahankan hidupnya.
Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri. Dari sinilah cikal bakal tubuhnya ikatan nasionalisme diantara kelompok-kelompok masyarakat yang mungkin saja terdiri dari beragam ras, agama, etnik, budaya dan daerah. Namun, bila suasanya aman dari serangan musuh dan musuh itu terusir dari negeri itu, maka nasionalisme akan mengalami pergeseran makna dan bentuk perjuangannya.
Nasionalisme merupakan sebuah penemuan sosial yang paling menakjubkan dalam perjalanan sejarah manusia, paling tidak dalam seratus tahun terakhir. Tak ada satu pun ruang sosial di muka bumi yang lepas dari pengaruh ideologi ini. Tanpa nasionalisme, lajur sejarah manusia akan berbeda sama sekali.
Nasionalisme lebih merupakan sebuah fenomena budaya daripada fenomena politik karena dia berakar pada etnisitas dan budaya pramodern. Kalaupun nasionalisme bertransformasi menjadi sebuah gerakan politik, hal tersebut bersifat superfisial karena gerakan-gerakan politik nasionalis pada akhirnya dilandasi oleh motivasi budaya, khususnya ketika terjadi krisis identitas kebudayaan.
Pada sudut pandang ini, gerakan politik nasionalisme adalah sarana mendapatkan kembali harga diri etnik sebagai modal dasar dalam membangun sebuah negara berdasarkan kesamaan budaya (John Hutchinson, 1987). Perspektif etnonasionalisme yang membuka wacana tentang asal-muasal nasionalisme berdasarkan hubungan kekerabatan dan kesamaan budaya. Nasionalisme memiliki kapasitas memobilisasi massa melalui janji-janji kemajuan yang merupakan teleologi modernitas (Rosenau, P. M. 1992).
Sudut pandang postmodernisme
Dari sudut pandang postmodern gerakan nasionalisme mengakar pada entitas yang melekat pada pendirian dan kedirian manusia yang memiliki keragaman identitas, pola pikir, tata laku, dan pedoman hidup yang membedakannya dengan yang lain. Oleh karena itu tak ada satu bangsapun yang dapat “mereduksi” bangsa lainnya karena alasan ketidakmapuan, kurang berdaya atau lebih rendah dari bangsanya (Lyotard., J. F. 1984).
Sabagaimana dikatakan Helius Sjamsudin (2007), bahwa pemikir posmodern dan dekontruksi adalah belajar mengkontekstualisasi, mentoleransi relativismen dan pluralisme. Mereka menolak pikiran tentang kebenaran universal (universal truth) yang mencari metanarrative atau grand theory. Mereka menolak otoritas yang secara implisit atau eksplisit mendukung hak istimewa dari suatu teori atas teori yang lain. Mereka menggantikannya dengan suatu titik pandang partial dan relativistik dengan menekankan ketidak pastian dan dasar menengahi dalam pembangunan teori.
Bagi postmodern, gerakan imprialisme yang dilakukan oleh bangsa penjajah merupakan bentuk dominasi atas bangsa yang lainnya, karena merasa lebih mapan, lebih modern, lebih pintar, lebih terhormat dan memiliki “kekuasaan” untuk memimpin bangsa yang lemah. Asumsi dasar dari proses imprialisme adalah kemamapan bangsa penjajah, perkembangan teknologi, dan pengetahuan ilmiah yang dapat diperlakukan secara universal pada semua masyarakat yang ada di dunia, tanpa memandang keragaman budaya, adat, tradisi dan kondisi sosial-geografis masyarakat yang dijajah ( Benedict Anderson 1999).
Istilah-istilah post–moderen, post-modernism, dan post-modernity telah diakui menjadi njelimet atau rumit untuk mengartikannya, terutama dengan awalan ‘post’ dan akhiran ‘ism. Pengertian post-modernisme berbeda dengan post-modernitas, di mana perbedaannya adalah: 1) Post-modernisme, menunjuk pada kritik-kritik filosofis dan gambaran dunia (world-view), sistem ideologi-ideologi modern; dan 2) Post-modernitas, menunjuk pada situasi dan tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang, dan sarana publik, linguinnya negara-negara bangsa, dan penggalian kembali inspirasi-inspirasi atau nilai-nilai tradisional (Albert WS Kusen, 2010).
Dalam mengkaji suatu permasalahan, ketika menggunakan perspektif post-modern, sering kedua istilah tersebut bercampur aduk. Ada kesamaan, tetapi ada perbedaan seperti yang telah dinyatakan di atas. Sementara itu, awalan ‘post’, juga sering menimbulkan banyak perdebatan.
Sebagaimana ragam pandangan dari para dedengkot postmodern, seperti Lyotard dan Gellner, memulai dengan pertanyaan kritis, apakah ‘post’ itu berarti pemutusan hubungan pemikiran total dari segala aspek kemodernan? Atau, menurut Boudrillard, dan Derrida sekedar koreksi atas aspek-aspek tertentu saja dari kemodernan (Griffin)? Jangan-jangan post-modernisme itu bentuk ‘radikal’ dari kemodernan itu sendiri? Yaitu kemodernan yang akhir-akhir ini bunuh diri? Seperti juga Giddens dan Habermmas justru melihat postmodern adalah wajah arif kemodernan yang telah sadar diri; atau sekedar satu tahap dari proyek modernisme yang memang belum selesai?
Di kalangan filosof dan/atau ilmuwan lainnya (salah satunya adalah Foucault) lebih mengartikan post-modernisme menunjuk pada ‘segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya (Sugiharto 1996).
Menurut Pauline Rosenau (1992) dalam Albert WS Kusen (2010) bahwa kecenderungan Postmodern dalam mendekonstruksi gaya dan pola pemikiran modern, secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain:
Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas, yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas.
Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard (1990:72) yang memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka (modernis) telah sirna. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut.
Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pra-modern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange).
Keempat, teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya.
Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis. Akhirnya, postmodern bukannya memfokuskan pada inti (core) masyarakat modern, namun teoritisi postmodern mengkhususkan perhatian mereka pada bagian tepi (periphery).
Nasionalisme atau semangat kebangsaan hadir dan mengemuka untuk melakukan dekonstruksi atas proses imperialisme yang dianggap tidak berdasar dan penuh dengan arogansi. Lahirnya nasionalisme disebabkan karena terjadina imperialisme, yang dilakukan oleh suatu bangsa terhadap bangsa lainnya. Sebagaimana dikatakan oleh Benedict Anderson, (1999) munculnya gerakan nasional untuk memisahkan dan memerdekakan diri dari negara yang dinggap kolonial sebagai bentuk kesadaran nasional untuk memangun nation state yang baru yaitu; kognitif, goal/value orientation, dan afektif.
Bahaya postmodernisme
Kondisi ini menurut Derrida merupakan makna dan kebenaran yang dicari melalui proses simbol yang diperoleh dari pengalaman mental yang dialami oleh pelaku. Untuk itu strategi pertama dekonstruksi adalah membalikkan oposisi-oposisi yang sudah ada, yaitu legitimasi penguasa atas rakyat yang dikuasai. Meminjam I Nengah Suastka (2012), kekuasaan yang diperoleh dari “kekejaman” tanpa legitimasi dari rakyat yang dikuasai akan menimbulkan gerakan nasional yang menutut terjadinya perubahan dan pembebasan rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri
Secara fisik penjajahan atau imperialisme telah berakhir, namun imprialisme terhadap pikiran, jiwa, dan budaya masih kental mewarnai masyarakat dunia ketiga, termasuk Indonesia. Inilah bahaya nasionalisme postmodernis. Dominasi budaya yang berlangsung secara intensif dalam waktu yang relatif lama telah menghasilkan tidak hanya hilangnya kekhasan lokal, namun lebih dari itu juga telah memupuk mental postmodernisme Eropa sentris.
Budaya Eropa menjadi sebuah budaya yang adiluhung serta dapat menjadi tolak ukur kebenaran dan justifikasi keunggulan adat istiadat. Hal itulah yang kemudian merasuki mental-mental generasi muda Indonesia, dan seolah menjadi manusia yang beradab kalau sudah dapat berperilaku seperti orang Eropa. Tidak hanya adat istiadat, bahkan segala konsep mental yang ada dalam benak pribumi selalu Eropa sentris. Hanya sebagian kecil, orang-orang yang tetap merasa sebagai manusia-manusia inlander yang teguh mempertahankan kediriannya sebagai individu dan budaya.
Di tengah gemerlapnya budaya posmodernisme maka gagasan positif kita ialah mengoreksi modernisme yang tidak terkendali yang telah muncul sebelumnya yang berusaha menggantikan jati diri bangsa kita. Dengan cara demikian keseluruhan usaha yang bermaksud merevisi kembali paradigma modern sebagai bentuk ketidakpercayaan terhadap metanarasi, yaitu hilangnya kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan dan proyek-proyek emansipatoris lainnya dalam modernitas, segera kita evaluasi, jika perlu kita akiri.
Sembari dengan mempertajam kritik terhadap nasionalisme pragmatis ekonomi, karena postmodernisme dibentuk dengan tujuan untuk memberikan pemecahan atas penyebab masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat, termasuk di dalamnya adalah masalah kebudayaan. (*)
There is no ads to display, Please add some