beritabernas.com – Belajar tentang kehidupan ternyata ada kampusnya. Salah satu kampus itu adalah pemukiman nan padat penduduk yang berada di tepian pantai yang kotor, kolong jalan tol, pinggir rel kereta api dan daerah kumuh lainnya. Di kawasan yang sering disebut slum inilah, dr Huriawati, seorang aktivis kemanusiaan, melalui pelayanan di bidang kesehatan belajar tentang kehidupan.
Semula dr Huriawati heran melihat mami setiap hari memasak banyak banget. “Pasti ada yang menghabiskan,” ujar maminya.
Baca juga: Dr Huriawati, Volunter Vaksinasi Covid-19: ICU Sempat jadi Rebutan
Itu adalah mami dr Huriawati. Sejak usia remaja, dr Ria, demikian panggilan akrab perempuan berumur 56 tahun ini, merasa takjub dengan apa yang dilakukan mami. Memasak menu apa saja selalu banyak. Setelah matang, maminya membagi masakan itu ke orang-orang di sekitar rumah, di kawasan Gelora, dekat gedung Kompas Gramedia, Jakarta.
Ada hansip, tukang parkir, para tetangga, pekerja di pasar Palmerah, dan lain-lain, setiap hari ikut menikmati masakan mami dr Ria.
Dr Huriawati yang takjub dengan kemurahan hati sang mami, meniru perbuatan baik itu hingga sekarang. Kebaikan hati sang mami itulah yang menjadi inspirasinya dalam melakukan kegiatan sosial. “Mami Papi tidak melarang saya berkegiatan. Mereka juga tidak memberi teori, misal kalau kita membantu orang miskin, maka kita akan mendapat pahala,” tutur dr Ria, yang masa muda banyak bergabung di OMK Paroki Salvator Slipi.
Sebagai seorang dokter, Ria membatasi kegiatan sosial hanya di bidangnya, yakni bidang kesehatan. Ia bergabung dengan Lembaga Daya Dharma (LDD) milik Keuskupan Agung Jakarta, sebagai volunter atau relawati.
Dokter Ria memberikan waktu, tenaga, dan kadang materi untuk melayani masyarakat miskin kota yang ada di beberapa lokasi. Di antaranya di Papanggo (kolong jalan tol layang Tanjung Priuk), pinggir rel kereta api di Manggarai Jakarta Selatan, Bojong dan Bintara di Bekasi Barat, Kalibaru di Jakarta Utara, dan para petani miskin di Tangerang.
Yang dimaksud masyarakat miskin kota, menurut dr Ria, adalah mereka yang difabel, buruh bangunan, buruh rumah tangga, pemulung, preman, pencopet, dan lain-lain. Kelompok masyarakat ini bertempat tinggal di pemukiman kumuh (slum). Rumah mereka biasa disebut ‘kotak sabun’ berukuran sangat sempit. Dinding dari triplek bekas atau kardus. Saking sempitnya rumah kotak sabun ini, seorang ilmuwan sosial Fahri Ali, melukiskan, yang tinggal di rumah kotak sabun ini, jika tidur telentang kepala di dapur, tubuh di ruang tamu, dan kaki nembus ke teras.
Sejak tahun 2010-an dr Ria bersama satu atau dua oang karyawan LDD setiap minggu berkunjung ke lokasi ini. Bergantian dari lokasi yang satu ke lokasi lainnya Jadi setiap lokasi dikunjungi sebulan sekali.
“Awalnya saya membawa obat-obatan sendiri. Seadanya. Kadang membawa satu strip obat dan vitamin,” ungkap istri Marcel, ini.
Ibunda Nando dan Nanda yang mengikuti jejak dr Ria ini mengatakan, setelah berlangsung beberapa kali, LDD lah yang menyediakan obat-obatan dan vitamin. Beberapa orang dekat dr Ria yang melihat aktivjtas kemanusiaan yang ia lakoni juga mendukung dengan memberi dana atau bahan mentah. Berupa makanan kering, peralatan sekolah, daster, sarung, dan lain-lain.
Kehadiran seorang dokter di pemukiman padat selalu dinanti. Mereka yang sedang tidak bekerja berkumpul di satu tempat. Begitu dr Ria datang, mereka langsung menyambut. “Dokter, tolong periksa engkong sakit,” ujar seorang warga.
Ia lalu mengajak dr Ria ke rumah engkong itu. Untuk sampai rumah warga yang sakit, dr Ria biasa melewati jalan setapak dengan sampah di kanan kiri, atau sebatang kayu di atas rawa.
Warga dengan penyakit paru, tbc, db, malaria, itu yang sering dijumpai. Menurut dr Ria, ada pula anak-anak yang hiv/aids, tertular orangtua.
Di Papanggo dan Bojong, dr Ria menemukan warga yang sakit kusta. Cirinya bermuka ‘singa’, seperti telinga menebal, alis hilang, bercak putih di kulit, dan sebagainya. “Kalau sudah seperti itu, saya meminta mereka ke rumah sakit. Reaksi mereka langsung diam,” ungkap dr Ria.
Mengapa mereka diam?. Dr Ria memaparkan, mereka langsung membayangkan urusan di rumah sakit sudah pasti ribet. Belum lagi tergambar berapa biayanya?. Biasanya, dr Ria lalu mencari donatur untuk menolong mereka. Untuk orang yang jelas sudah kena penyakit ini, dr Ria menitipkan pada kader kesehatan setempat yang sudah ia bekali pengetahuan tentang kesehatan.
“Yang dimaksud kader, adalah warga setempat, yang nasibnya tidak lebih baik secara ekonomi, tapi dia lebih sadar akan kesehatan, bisa diajak mengobrol, dan bisa dipercaya jika diberi tanggungjawab,” terangnya.
Lewat kader ini juga dr Ria dan staf LDD mengkoodinir jika suatu waktu ada acara untuk mereka. Misal, sehabis Lebaran tahun ini, LDD mengajak warga Papanggo berwisata ke Ancol. “Dipilih lokasi yang dekat, mereka tinggal menyeberang jalan,” kata dr Ria.
Ada pengalaman yang mengharukan. Bagaimana warga yang terbiasa hidup bersesak ria di area serba terbatas di kolong jalan tol itu, menurut dr Ria tidak serakah.
Usai acara, makanan bersisa. Mereka kumpulkan nasi, lauk, dan buah. Mereka membawa makanan itu pulang untuk warga yang tidak bisa ikut. “Tidak ada lo yang mengatakan ini saya bawa untuk anak, atau saudara,” tambah dr Ria.
Setiap mengunjungi satu lokasi, staf LDD dan dr Ria membawa logistik berupa bahan makanan, pakaian, dan makanan matang. Jumlah berkisar antar 30-40 paket. Untuk makanan matang, dr Ria memesan di warteg terdekat.
Belajar hidup
Melakoni kegjatan sosial selama berpuluh tahun, dan rutin dilakukan seminggu sekali dengan berkunjung ke komunitas-komunitas miskin kota, dr Ria mengaku tetap bersemangat dan bergembira. Bahkan ia mengaku mendapatkan banyak pelajaran hidup dari kondisi warga masyarakat yang serba terbatas ini.
Menurut dr Ria, walau kondisi mereka serba berkekurangan, tetapi mereka kelihatan sangat menikmati hidup. “Mereka selalu bilang ‘alhamdulilah’. Lucu ya, mereka hidup sudah susah banget, misal rumah terbawa banjir, lingkungan sangat kotor, tidak punya uang, tapi mereka selalu bersyukur,” ujarnya.
Bagi dr Ria pengalaman bersama warga miskin Ibukota ini telah memberi banyak pelajaran akan hidup ini. “Jika ada yang mengeluh hidup susah, eh, di sana jauh lebih susah. Dan mereka senantiasa bersyukur!” tegasnya. (Anton Sumarjana)
There is no ads to display, Please add some