Frans Susanto, Sang Juru Penterjemah Bahasa Isyarat

beritabernas.com – Di layar televisi tampak seseorang duduk manis menampilkan gerakan-gerakan tangan dan jemari, disertai dengan mimik wajah. Semua gerakan dan mimik ditampilkan berganti dan berulang.

Seseorang yang berjas dan berdasi itu adalah seorang interpreter atau penterjemah dari bahasa lisan ke bahasa isyarat. Jasanya dibutuhkan untuk membantu para penyandang disabilitas, khususnya mereka Sahabat Tuli. 

Salah seorang penterjemah ke bahasa isyarat itu adalah Frans Susanto. Pria kelahiran Jakarta 10 September 1979 yang selalu berdasi dan berjas setiap kali tampil di layar kaca dan acara ini menggeluti profesi penterjemah bahasa isyarat sejak 2002.

Frans, demikian sapaan akrabnya, mengaku belajar bahasa isyarat di Lembaga Daya Dharma (LDD) Jakarta, lembaga pelayanan sosial milik Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Frans mengikuti kursus American Sign Language seminggu sekali selama tiga bulan. 

Mantan seminaris ini berkisah, tertarik pada bahasa isyarat setelah pada 2001 mendapat tugas perutusan asistensi pastoral dari Seminari Tinggi KAJ.  Waktu itu, ia diberi kesempatan untuk memilih sejumlah karya pelayanan tertentu.

Frans Susanto bertugas sebagai pentejemah bahasa isyarat di Gereja St Thomas Rasul Bojong Indah Jakarta Barat Foto: Dok Pribadi

“Saya mendapat rekomendasi dari senior saya, yakni Romo Antonius Suhardi Antoro Pr untuk meneruskan karya beliau pada Biro Tunanetra Laetitia yang bernaung di bawah Lembaga Daya Dharma KAJ,” tutur Frans. 

Menurut Frans, mestinya ia menjalani tugas perutusan tersebut selama satu tahun saja, namun karena kebutuhan dari yayasan dan ketertarikannya pada pelayanan para penyandang disabilitas, ia terus melanjutkannya. “Hingga pada masa Tahun Orientasi Pastoral saya tahun 2005,” tambahnya. 

Frans tidak melanjutkan pendidikan di Seminari Tinggi, namun secara konsisten ia menjalani karya pada umat berkebutuhan khusus hingga saat ini dengan menjadi Juru Penterjemah Bahasa Isyarat. Setelah beberapa tahun menggunakan American Sign Language (ASL), pada 2012 Frans mulai mempelajari bahasa isyarat versi lain yaitu Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo) dan bergabung dalam Indonesian Sign Language Interpreter (INASLI). 

Bisindo, seperti dijelaskan di Wikipedia, adalah bahasa ibu yang tumbuh secara alami pada kalangan komunitas tuli di Indonesia. Bisindo berbeda dari Sistem Isyarat Bahasa Indonesia  (SIBI) yang mengikuti bahasa Indonesia, sehingga kata-katanya jauh lebih panjang daripada kata-kata dalam bahasa isyarat alami seperti Bisindo. 

Menjadi Juru Penterjemah Bahasa Isyarat di sejumlah televisi nasional adalah salah satu pekerjaan Frans. Dari pekerjaan ini, Frans mengaku mendapat penghasilan antara Rp 7 juta sampai Rp 10 juta per bulan. Lalu, dengan kepiawaiannya ini, Frans juga menjalani banyak pekerjaan lain, seperti menjadi Juru Penterjemah di berbagai acara seminar, tampil di video promosi, video klip music, video profile, konser lagu, workshop dan berbagai program lain. 

Lama berkecimpung di bidang bahasa isyarat, Frans lalu bersama Sim Kuo Usul Harapan (atau biasa dipanggil Mr Asing), pada 2021 mendirikan lembaga edukasi, pelatihan dan pelayanan bahasa isyarat, bernama Indosign Academy. Lembaga edukasi, pelatihan dan pelayanan bahasa isyarat yang bernaung di bawah PT Aksesindo Performa Resources ini melayani kebutuhan jasa di bidang bahasa isyarat secara profesional. “Kami rutin setiap bulan membuka kelas bahasa isyarat tematis,” ujar Frans. 

Selepas seminari tinggi menjalani profesi sebagai Juru Penterjemah Bahasa Isyarat. Foto: Dok pribadi

Dengan sering tampil di media televisi dan berbagai acara membuat sosok Frans Susanto kini tak asing lagi di publik. Frans yang selalu tampil dengan tersenyum itu tampak luwes dan cekatan memainkan gerakan tangan dan jemari serta mimik wajah untuk membantu para Sahabat Tuli memahami dunia ini. 

Frans pun mengaku tidak mudah mempelajari bahasa isyarat dan lalu menjalani profesi ini di berbagai pekerjaan penterjemah. Ia menjelaskan, ada banyak variasi bahasa isyarat yang dipakai Sahabat Tuli. “Maka saya harus fleksibel dalam memilih kosa isyarat yang di pakai,” katanya. 

Mengatasi kesulitan ini ia merasa terbantu dengan hobi dan minatnya pada bidang teater, khususnya dalam gerak dan ekspresi yang amat dibutuhkan dalam bahasa isyarat. Walau ada keterbatasan kosa isyarat ia mencoba menerangkan dalam berbagai gesture yang sedapat mungkin dapat menjelaskan pesan kepada Sahabat Tuli. 

Sedang dalam menjalani pekerjaan ini, Frans berkisah pernah mengalami peristiwa tidak enak. Ia pernah diusir oleh seorang petugas tata tertib liturgi di suatu gereja. Dan pernah harus berpindah-pindah tempat untuk beribadat waktu belum ada paroki yang menerima Sahabat Tuli di gereja.

“Namun yang paling berkesan juga ada, saya bertemu dan mendapatkan pasangan hidup saat melayani komunitas bisu tuli ini,” ucap Frans dengan tersenyum. 

Frans Susanto (kanan) saat diundang sebagai narasumber di acara Michael Chandra Luar Biasa di Rajawali TV Foto: Dok pribadi

Tentang pasangan hidup ini, Frans bercerita, bertemu pertama kali di LDD. Dia bertemu Katharina Devi Setyaningrum, seorang volunteer baru di LDD. “Saat saya sedang bertugas menterjemahkan tiba-tiba pandangan saya teralihkan kepada wanita cantik yang berdiri di belakang umat tuli yang sedang saya layani,” ungkap Frans.

Dari peristiwa manis itu Frans lalu mengadakan berbagai pendekatan, hingga kemudian menjadi pasangan suami istri. Dari perkawinan mereka dikaruniai tiga anak yaitu F Auxilia Xaverina Susanto, Filipo Samuel Susanto dan Benediktus Revelian Susanto.  

Menekuni dunia bahasa isyarat menurut lulusan STF Driyarkara Jakarta ini akan semakin mengasah aspek non verbal di samping aspek verbal yang selama ini dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Menyitir hasil penelitian Dr albert Mehrabian, Frans menegaskan, hal ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan daya pengaruh seseorang dalam berkomunikasi hingga 55%.

Oleh karena itu ke depan Frans beharap bahasa isyarat bisa menjadi budaya bersama. Bukan hanya milik para Sahabat Tuli. “Dengan menerapkan bahasa isyarat sebagai gesture yang melengkapi pola komunikasi orang dengar sehari-hari diharapkan setiap pribadi dapat berkomunikasi secara lebih inklusif,.” katanya. (Anton Sumarjana, Kontributor Jakarta)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *