Gelar Aksi Damai, Keluarga Mahasiswa UII Sampaikan Empat Tuntutan

beritabernas.com – Keluarga Mahasiswa UII (KM UII) menggelar aksi damai di Selasar Auditorium Prof KH Abdul Kahar Muzakkir, Kampus Terpadu UII, Senin 1 September 2025 mulai pukul 16.00 WIB. Dalam aksi itu, mahasiswa menyampaikan 4 tuntutan.

Hidayat Fathirrizqi Azmi, Ketua Umum LEM UII, membacakan 4 tuntutan. Pertama, menuntut DPR RI menindaklanjuti pelaksanaan pencabutan tunjangan dan memastikan anggarannya dialihkan untuk kepentingan rakyat.

Kedua, menuntut DPR RI untuk mengevaluasi dan merevisi pasal-pasal otoriter pada RKUHAP yang mengancam hak asasi dan membuka ruang partisipasi publik yang bermakna demi menjamin keadilan dan supermasi hukum di Indonesia.

Ketiga, menuntut Polri kembali pada tugas, pokok dan fungsinya: mengayomi, melindungi, dan melayani masyarakat. Keempat, menuntut Polri untuk bertanggung jawab atas tindakan represif dan perampasan nyawa secara terbuka, adil dan tuntas.

Dr Drs Rohidin, Wakil Rektor UII bidang Kemahasiswaan, Keagamaan & Alumni ikut menyampaikan orasi dalam aksi damai di Selasar Auditorium KH Abdulkahar Mudzakkir Kampus Terpadu UII, Senin 1 September 2025. Foto: Humas UII

Menurut Keluarga Mahasiswa UII, tragedi wafatnya seorang pengemudi ojek online akibat insiden yang melibatkan kendaraan taktis milik Polri menjadi luka mendalam bagi bangsa. Peristiwa ini bukan sekadar insiden lalu lintas biasa, melainkan cerminan nyata dari kegagalan aparat negara dalam menjalankan tugas konstitusionalnya sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat.

Nyawa seorang rakyat kecil kembali melayang akibat kelalaian dan tindakan represif aparat negara
yang seharusnya mengemban amanah menjaga keselamatan rakyat. Kasus ini menambah panjang daftar korban sipil akibat tindakan aparat yang berlebihan.

Padahal, menurut Keluarga Mahasiswa UII, konstitusi telah memberikan jaminan tegas. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Jaminan ini diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang mengatur bahwa negara wajib melindungi, menghormati, serta memfasilitasi hak tersebut. Namun, realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya. Alih-alih memberikan perlindungan, aparat negara justru sering menjadi aktor utama yang menghalangi dan bahkan merenggut hak-hak konstitusional rakyat.

Baca juga:

Peristiwa ini juga semakin memperlihatkan betapa krisis kepercayaan terhadap Polri kian mendalam. Lembaga yang seharusnya menjadi simbol keamanan dan keadilan justru berulang kali dipertanyakan integritas dan profesionalismenya. Reformasi Polri yang digembar-gemborkan sejak era awal 2000-an ternyata hanya sebatas wacana. Transparansi, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia belum sungguh-sungguh diwujudkan.

Di sisi lain, rakyat Indonesia hari ini terus dihadapkan pada beban kehidupan yang semakin berat. Krisis ekonomi, inflasi kebutuhan pokok, dan ketidakpastian kerja menghimpit masyarakat, khususnya kelas pekerja dan sektor informal. Ironisnya, di tengah penderitaan rakyat, para wakil rakyat di DPR RI justru mengukuhkan diri dengan berbagai fasilitas mewah, kenaikan tunjangan, serta praktik pemborosan anggaran yang jauh dari semangat pengabdian kepada rakyat. Fenomena ini memperlihatkan adanya jurang sosial dan politik yang kian lebar antara penguasa dengan rakyatnya.

Hidayat Fathirrizqi Azmi, Ketua Umum LEM UII, saat membacakan 4 tuntutan dalam aksi damai, Senin 1 September 2025. Foto: Humas UII

Lebih jauh, proses legislasi nasional dewasa ini juga menunjukkan adanya gejala kemunduran demokrasi. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang tengah dibahas, misalnya, masih sarat dengan pasal-pasal bermasalah yang berpotensi mengancam kebebasan sipil, memperkuat kewenangan represif aparat, dan mereduksi prinsipprinsip fair trial.

Proses pembentukannya pun minim transparansi dan partisipasi publik. Hal ini menandakan bahwa hukum di negeri ini semakin jauh dari roh demokrasi, bukan lagi hukum yang lahir dari, oleh, dan untuk rakyat, melainkan hukum yang dibentuk untuk mengamankan kepentingan elit politik dan ekonomi.

Kondisi-kondisi tersebut secara jelas memperlihatkan adanya darurat demokrasi, darurat keadilan, dan darurat kemanusiaan di Indonesia hari ini. Negara, yang seharusnya menjadi pelindung dan penjamin hak-hak dasar warganya, justru berubah menjadi aktor yang abai, represif, dan semakin menjauh dari nilai-nilai konstitusi. (*/lip)


    There is no ads to display, Please add some

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *