Oleh: Prof Ir H Sarwidi MSCE PhD IP-U ASEAN Eng. APEC Eng, Guru Besar Teknik Sipil FTSP UII dan Pengarah BNPB (2009-2025)
beritabernas.com – Gempa bumi berkekuatan Magnitudo 6,0 yang mengguncang Afghanistan Timur pada 31 Agustus 2025 bukan sekadar peristiwa alam. Ia adalah tragedi kemanusiaan yang menguak kerentanan struktural dan sistemik yang akut.
Lebih dari 800 jiwa melayang, ribuan luka-luka dan bangunan runtuh seketika. Sebagai bangsa yang juga hidup di atas sabuk gempa, Indonesia harus menjadikan peristiwa ini sebagai cermin reflektif: apakah kita benar-benar siap menghadapi bencana?
Afghanistan berada di zona seismik aktif, bagian dari Sabuk Gempa Alpide. Namun, yang membuat gempa ini menjadi bencana besar bukanlah kekuatannya, melainkan lemahnya struktur bangunan. Rumah-rumah di pedesaan dibangun dari lumpur, batu, dan bata mentah tanpa penguat seperti besi beton. Tanpa integritas struktural, bahkan guncangan sedang pun bisa meruntuhkan segalanya.
Ini bukan semata kegagalan teknis, melainkan kegagalan budaya membangun dengan prinsip ketahanan.
Indonesia memiliki pedoman dan petunjuk untuk membangun bangunan rumah tahan gempa. Namun, implementasinya di lapangan umumnya masih jauh dari ideal. Banyak rumah swadaya dibangun tanpa memperhatikan prinsip dasar konstruksi aman. Fondasi lemah, kolom-balok tidak terintegrasi dan penggunaan besi beton yang asal-asalan masih terlihat di sana-sini. Padahal, investasi dalam konstruksi tahan gempa adalah investasi dalam keselamatan jiwa.
Baca juga:
- Ini Pelajaran dari Peristiwa Gempabumi di Bandung dan Garut Menurut Prof Sarwidi
- SIMUTAGA, Karya Inovasi yang Dikembangkan oleh Prof Sarwidi Selama Lebih dari 25 Tahun
- Refleksi 18 Tahun Gempa Bumi 27 Mei 2006, Prof Sarwidi: Banyak Pelajaran yang Berharga
- 40 Tahun Mengabdi di UII, Prof Sarwidi Menorehkan Berbagai Karya Monumental
Tragedi Afghanistan juga menunjukkan hambatan sistemik: lokasi terpencil, minimnya infrastruktur, dan keterbatasan sumber daya membuat respons darurat tidak efektif. Dalam 72 jam pertama yang krusial, bantuan terhambat oleh hujan, longsor, dan jalan rusak. Pemerintah setempat pun kesulitan menjalin kerja sama internasional karena keterbatasan politik dan logistik.
Indonesia harus belajar dari semua ini. Kita tidak boleh menunggu bencana untuk sadar. Ketangguhan bukan hanya soal dana bantuan, tetapi soal kesiapan struktural dan budaya. Kita perlu membangun peradaban yang tangguh melalui sintesis ilmu rekayasa, kebijakan publik, dan nilai spiritual.
Rekayasa seperti BARRATAGA, SIMUTAGA dan ACeBS adalah langkah awal, namun warisan sejati adalah kesadaran kolektif. Museum Gempa yang saya dirikan di Yogyakarta dan Bandung adalah upaya untuk menyentuh hati masyarakat, bukan hanya pikiran teknis.
Pendidikan kebencanaan harus menjadi bagian dari budaya, bukan sekadar kurikulum. Kita harus menanamkan pada generasi muda bahwa menyelamatkan nyawa adalah bentuk ibadah, dan kesiapsiagaan adalah wujud cinta Tanah Air.
Masih dalam suasana kemerdekaan, mari kita jadikan 80 tahun kemerdekaan sebagai titik balik. Indonesia harus menjadi laboratorium ketangguhan global-bangsa yang bukan hanya selamat, tetapi menyelamatkan.
Jika hari ini kita menanam benih ilmu, iman dan cinta, maka esok anak cucu kita akan memanen keberkahan. Mereka akan menjadi generasi penyelamat: yang tidak hanya kuat, tetapi menguatkan; yang tidak hanya tahu, tetapi peduli. (*)
There is no ads to display, Please add some