Gen Z, Tantangan Baru Bagi Manajer

Oleh: Muhammad Heri Tomi, Mahasiswa Universitas Cendekia Mitra Indonesia, Yogyakarta

beritabernas.com – Generasi Z, yang mulai memasuki dunia kerja dalam beberapa tahun terakhir, membawa karakteristik, ekspektasi dan gaya kerja yang berbeda dibandingkan generasi sebelumnya. Perubahan demografi ini menimbulkan sejumlah tantangan dan peluang baru bagi para manajer dan pimpinan organisasi.

Artikel ini akan menggali: siapa Gen Z itu, apa karakteristik utamanya, tantangan yang muncul bagi manajer dalam mengelola mereka dan strategi yang dapat diambil agar manajemen bisa efektif dan harmonis.

Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, kini mulai mendominasi pasar tenaga kerja Indonesia. Mereka hadir dengan karakteristik unik yang membedakan mereka dari generasi sebelumnya, seperti milenial dan generasi X. Bagi para manajer, kehadiran Gen Z bukan sekadar pergantian demografis, melainkan tantangan struktural dalam pengelolaan sumber daya manusia.

Karakteristik Gen Z yang membentuk dinamika baru

Gen Z tumbuh dalam era digital, krisis iklim, dan perubahan sosial yang cepat. Mereka terbiasa dengan teknologi, memiliki akses informasi yang luas dan cenderung kritis terhadap otoritas. Beberapa ciri utama yang membentuk perilaku kerja mereka antara lain:

Pertama, digital native: Gen Z sangat akrab dengan teknologi dan mengharapkan sistem kerja yang terintegrasi secara digital. Kedua, fleksibel dan adaptif: Mereka lebih menyukai sistem kerja hybrid atau remote dibanding rutinitas kantor konvensional. Ketiga, berorientasi nilai dan makna. Isu keberlanjutan, keadilan sosial dan inklusivitas menjadi pertimbangan utama dalam memilih tempat kerja.

Keempat, kritis terhadap struktur hierarkis. Mereka menginginkan ruang untuk berpendapat dan tidak segan mempertanyakan keputusan manajerial. Kelima, keseimbangan hidup: Gen Z menolak budaya kerja lembur dan menuntut keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional.

Bagi manajer yang terbiasa dengan pendekatan top-down, kehadiran Gen Z bisa menjadi tantangan. Mereka tidak hanya menuntut transparansi dan partisipasi, tetapi juga mengharapkan lingkungan kerja yang suportif dan inklusif. Beberapa tantangan yang sering dihadapi manajer antara lain: pertama, komunikasi dua arah. Gen Z menginginkan dialog, bukan instruksi sepihak. Manajer perlu mengembangkan keterampilan komunikasi yang empatik dan terbuka.

Kedua, kepemimpinan partisipatif. Gaya kepemimpinan otoriter tidak lagi efektif. Gen Z lebih responsif terhadap pemimpin yang menjadi fasilitator dan mentor. Ketiga, konflik nilai antar generasi: Perbedaan pandangan tentang kerja, loyalitas, dan etika sering memicu ketegangan di tempat kerja. Keempat, tuntutan akan fleksibilitas. Gen Z menolak sistem kerja yang kaku dan menuntut kebebasan dalam mengatur waktu dan tempat kerja.

Baca juga:

Menurut survei yang dilakukan oleh JobStreet Indonesia pada 2024, 68% manajer menyatakan kesulitan dalam mengelola karyawan Gen Z karena perbedaan ekspektasi dan gaya kerja. Sementara itu, 74% karyawan Gen Z merasa tidak didengar oleh atasan mereka.

Adaptasi perusahaan di Indonesia

Beberapa perusahaan di Indonesia mulai melakukan penyesuaian untuk menghadapi tantangan ini. PT Telkom Indonesia, misalnya, menerapkan program Digital Talent Incubator yang memberi ruang bagi karyawan muda untuk berinovasi dan memimpin proyek. Di sektor kreatif, Gojek dan Ruangguru dikenal sebagai perusahaan yang berhasil membangun budaya kerja yang sesuai dengan nilai-nilai Gen Z.

Di sisi lain, perusahaan manufaktur dan sektor publik masih menghadapi kesulitan dalam beradaptasi. Struktur birokratis dan budaya kerja konservatif menjadi penghalang bagi integrasi Gen Z ke dalam sistem kerja yang ada.

Strategi adaptasi manajemen dalam menghadapi generasi Z menuntut transformasi gaya kepemimpinan dari otoriter menjadi partisipatif dan inklusif. Manajer perlu mengembangkan komunikasi dua arah yang empatik, menyediakan ruang aktualisasi diri melalui proyek-proyek berdampak, serta menerapkan sistem kerja fleksibel yang mendukung keseimbangan hidup dan kesehatan mental.

Selain itu, penting untuk membangun budaya kerja berbasis nilai yang sejalan dengan idealisme Gen Z, seperti keberlanjutan dan keadilan sosial, serta memanfaatkan teknologi kolaboratif untuk meningkatkan efisiensi dan keterlibatan tim lintas generasi. Pendekatan ini tidak hanya menjawab ekspektasi Gen Z, tetapi juga memperkuat daya saing organisasi di era kerja yang semakin dinamis dan digital.

Untuk menghadapi tantangan ini, para manajer perlu melakukan transformasi dalam pendekatan kepemimpinan dan pengelolaan tim. Beberapa strategi yang dapat diterapkan antara lain: pelatihan lintas generasi: Membangun pemahaman dan empati antar karyawan dari berbagai generasi.

Kemudian, desain kerja fleksibel yakni memberikan opsi kerja hybrid, jam kerja fleksibel, dan ruang kerja yang mendukung kreativitas. Selain itu, kepeimpinan inklusif yakni mendorong partisipasi aktif dalam pengambilan      keputusan dan memberi ruang bagi ide-ide baru.

Pemanfaatan teknologi kolaboratif: menggunakan platform digital untuk komunikasi, manajemen proyek, dan pengembangan karyawan serta pengakuan dan apresiasi: Gen Z menghargai feedback yang konstruktif dan pengakuan atas kontribusi mereka.

Dari sudut pandang psikologi kerja, Gen Z memiliki kebutuhan akan aktualisasi diri dan makna dalam pekerjaan. Menurut Dr Viki Love Reformasianto (2024) dari UGM, Gen Z tidak hanya ingin bekerja, tetapi juga berkembang dan berkontribusi terhadap perubahan sosial. Hal ini menuntut manajer untuk memahami motivasi intrinsik dan membangun lingkungan kerja yang mendukung pertumbuhan personal.

Sementara itu, dari perspektif sosiologis, Gen Z merepresentasikan pergeseran nilai dalam masyarakat Indonesia yang lebih terbuka, egaliter, dan berbasis teknologi. Dunia kerja harus menyesuaikan diri dengan perubahan ini agar tetap relevan dan kompetitif.

Dalam kajian psikologi kerja, generasi Z dipandang sebagai kelompok yang memiliki kebutuhan tinggi terhadap aktualisasi diri, makna pekerjaan, dan keseimbangan hidup. Mereka tidak sekadar mencari penghasilan, tetapi juga ingin merasa dihargai, berkontribusi, dan berkembang secara personal. Alvin Kurniawan dan Abdul Rahman Shaleh dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menekankan bahwa person-organization fit dan psychological empowerment menjadi faktor utama dalam totalitas kerja Gen Z.

Kehadiran Gen Z di dunia kerja bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk mereformasi sistem manajemen yang lebih adaptif dan inklusif. Bagi manajer, tantangan ini menuntut transformasi gaya kepemimpinan agar mampu merangkul generasi yang tumbuh dalam era digital dan penuh dinamika.

Dengan pendekatan yang tepat, Gen Z dapat menjadi motor inovasi dan perubahan positif di tempat kerja. Mereka membawa semangat baru, perspektif segar, dan keberanian untuk mempertanyakan status quo sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi tantangan global dan transformasi industri. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *