Oleh: Ben Senang Galus, Dosen dan penulis/esais, tinggal di Yogyakarta
beritabernas.com – Sistem penyelenggaraan pemerintahan negara merupakan unsur penting dalam suatu negara. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila salah satu faktor penentu krisis nasional (krisis korupsi) dan berbagai persoalan yang melanda bangsa Indonesia bersumber dari kelemahan di bidang manajemen pemerintahan, terutama birokrasi, yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance).
Memasuki era reformasi, hal tersebut diakui, sehingga diatur melalui TAP MPR RI No. XI/MPR/1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas KKN, dan UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Jargon pemerintah Indonesia menegaskan tekad untuk senantiasa bersungguh-sungguh mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip good and clean governance.
Istilah governance sudah dikenal dalam literatur administrasi dan ilmu politik hampir 130 tahun lalu, sejak Woodrow Wilson, yang kemudian menjadi Presiden ke-27 Amerika Serikat, memperkenalkan bidang studi tersebut. Tetapi selama itu governance hanya digunakan dalam literatur politik dengan pengertian yang sempit.
Wacana governance dalam pengertian yang hendak dibahas dalam tulisan ini-dan yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai tata-pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan, tata-pamong-baru muncul sekitar 20 tahun belakangan, terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional menetapkan good governance sebagai persyaratan utama untuk setiap program bantuan mereka.
BACA JUGA:
- Kakistokrasi dan Mantalitas Priyayi
- Bangkrutnya Ekonomi Desa, Korban Permainan Economic Hit Man
- Bangun Kompetensi Warga jadi Co-Creator Demokrasi
Oleh para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia, istilah good governance telah diterjemahkan dalam berbagai istilah, misalnya, penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo, 1988), tata-pemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih (clean government).
Menurut David Osborne and Ted Gaebler, dalam Governance and Administration and Development, London Macmilan Limeted (1997, P. 151), prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang harus dikembangkan dalam implementasi kebijakan secara umum adalah: 1. Responsif, tanggap terhadap kebutuhan orang dan stakeholders. 2. Participatory, orang yang terkena dampak suatu kebijakan harus dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan tersebut. 3. Transparant; adanya informasi yang luas atas suatu program; 4. Equitable; adanya akses yang sarana bagi setiap orang terhadap kesempatan dan aset. 5. Accountable; pengambilan keputusan oleh pemerintah, sektor swasta dan masyarakat harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat umum dan seluruh stakeholders; 6. Consensus oriented, perbedaan kepentingan dimusyawarahkan untuk mencipakan kepentingan orang banyak. 7. Effective and efficient; adanya pemanfaatan yang optimal dari resources.
Transparansi lebih ditekankan adanya suatu “penjelasan secara rinci dan komunikatif mengenai manfaat/ tujuan dan dampak suatu rencana/rancangan kebijakan/program/proyek serta adanya interaksi informasi yang dibangun antar stakeholder, informasi harus dikemas sedemikian sehingga mudah dipahami oleh stakeholder.
Memupuk kekayaan
Bagaimanapun hebatnya metode dan pendekatan yang dipergunakan mengkaji upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean government) dan bebas korupsi, adalah tak mungkin konkrit, karena selalu berhadapan dengan masalah mentalitas feodal yang masih melekat dalam tubuh birokrasi sebagai warisan masa lampau.
Sebagai contoh, pejabat birokrasi selalu mengagungkan kekuasaan dan pangkat tinggi, bahkan seringkali dalam arti negatif , yaitu sikap sombong yang diakibatkan oleh kekuasaan dan pangkat tinggi yang dimiliki, yang akhir-akhir ini bahkan juga oleh kekayaan yang diperoleh dari hasil korupsi atau komisi proyek.
Walaupun aparat birokrasi sudah banyak mengenyam pendidikan, tapi tingkah lakunya tidak seluruhnya menggambarkan cara hidup rasional dan professional dalam tugas pemerintahan. Mereka sering mencampuradukkan lingkungan birokrasi (public sphere) dengan lingkungan pribadi (privat sphere). Inilah yang menyebabkan birokrasi kita dianggap sebagai sumber keburukan dan penyebab penyakit korupsi.
Kultur birokrasi memang mengenal disiplin kerja keras dan tradisi memupuk kekayaan. Tradisi ini lazim disebut sebagai kebudayaan handarbeni, yakni kebudayaan yang menganggap bahwa segala yang ada di wilayah kewenangan identik dengan miliknya. Hak sebagai pejabat ditafsirkan seolah-olah kekuasaan yang dipegang dan wilayah yang menjadi tanggungannya menjadi hak milik pejabat yang bersangkutan. Sikap seperti ini masih terlihat pada sebagian aparat birokrasi di Tanah Air.
Merebaknya tradisi memupuk kekayaan dalam birokrasi, mengakibatkan rusaknya sistem birokrasi, melampaui batas-batas kewajaran yang dapat dilihat pada semakin merusaknya sistem perekonomian di Indonesia, karena, birokrasi kita terperangkap dalam moral yang diciptakannya sendiri, yakni mentalitas kapitalis budaya mumpung.
Mentalitas kapitalis mendorong tumbuhnya semangat KKN dalam tubuh birokrasi. Begitu kuatnya semangat kapitalistik diinjeksikan dalam tubuh birokrasi sehingga keseimbangan psikologis tergoncang ketika norma-norma kapitalis menjadi sebuah pilihan yang ideal.
Birokrasi memang tidak berdiri sendiri. Ia sangat terkait dengan berbagai kepentingan pihak-pihak dominan, terutama para pemegang kekuasaan politik dan kekuatan modal. Sehingga muncul sinyalemen dalam masyarakat bahwa birokrasi di Indonesia merupakan sebuah mesin politik yang tidak netral dan tak mungkin netral. Kelihatan dari luar gagah, namun di dalamnya busuk.
Mesin politik ini kadang-kadang mencerminkan nilai serta norma yang jauh dari rasional. Jelasnya, tidak obyektif, tidak a politis. Hal demikian terutama dalam keterkaitannya dengan kepentingan kapital dalam birokrasi, telah bisa kita saksikan sejak tahun 1970-an. Sejak tahun ini, bersamaan dengan tegaknya pilar ideologi pembangunanisme (developmentalism) yang dibawa oleh pemerintahan Orde Baru, birokrasi kita mulai kehilangan rohnya sebagai satu pilar utama pembangunan kesejahteraan yang memiliki visi kemanusiaan.
Birokrasi politik
Tuntutan akan perubahan di segala aspek kehidupan, pada dasarnya akan bermuara pada pemerintah sebagai penyelenggara ketatanegaraan, di mana birokrasi merupakan salah satu komponen dari unsur pemerintah yang mempunyai posisi dan peran yang sangat signifikan dalam menjalankan roda pemerintahan.
Dalam konteks keindonesiaan, birokrasi pemerintah memiliki dinamikanya tersendiri sesuai dengan perkembangan dan perubahan politik yang terjadi. Pada awal pemerintahan 0rde Baru, birokrasi lebih diarahkan sebagai alat negara untuk mempertahankan kekuasaan dengan dalih, menjaga pertumbuhan dan kesinambungan pembangunan. Oleh sebab itu, wajah birokrasi lebih sebagai abdi negara dari pada sebagai pelayan masyarakat (public service) sebagaimana yang seharusnya.
Birokrasi masa sebelum reformasi lebih menampilkan dirinya sebagai sebuah institusi yang merupakan kepanjangan kepentingan pemerintah yang sedang berkuasa. Di masa pemerintah 0rde Baru, di mana pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya menjadi target utama, birokrasi diposisikan sebagai insitusi pemerintah dalam mengamankan jalannya pembangunan nasional.
Sentralisasi kekuasaan maupun otoritarianisme yang merupakan ciri pokok pemerintahan di masa lalu, telah mendorong lahirnya sebuah birokrasi yang kaku, tidak transparan, jauh dari demoktratis dan tidak berpihak pada rakyat sehingga menyuburkan praktek-praktek KKN. Birokrasi menjadi alat kekuasaan untuk mempertahankan kepentingan politik tertentu. Mengingat begitu kuatnya peran dan posisi birokrasi pada masa itu dalam segala sendi kehidupan di masyarakat, sampai ilmuwan Karl D. Jackson mengkategorikan birokrasi di Indonesia sebagai birokrasi politik.
Menurut kajian Karl D Jackson dan Lucian Pye, dalam, Political Power and Communication in Indonesia (Berkeley. California, University of California Press), (1978 p. 174), politik birokrasi (bureaucratic politics) diterjemahkan sebagai suatu bentuk segala upaya pemerintah yang berkuasa untuk memanfaatkan instrumen birokrasi sebagai alat untuk mengatasi disfungsionalitas-disfungsionalitas maupun resiko-resiko yang dapat membahayakan kelangsungan sebuah sistem.
Dalam konteks ini, sistem yang dimaksud adalah sistem politik yang dikembangkan dan dibangun oleh pemerintah pada masa itu, untuk mempertahankan kekuasaannya melalui berbagai macam cara.
BACA JUGA TULISAN LAINNYA:
- Diskursus Nasionalisme Postmodernisme
- Hegemoni Negara Terhadap Guru
- Parasitisme atas Desa oleh Negara, Kapitalisme Sungguhan
Reformasi telah membawa harapan baru bagi masyakat kita. Reformasi telah memberikan peluang akan lahirnya demokratisasi dan transparansi di berbagai aspek kehidupan, termasuk di dalamnya penampilan baru birokrasi sebagai salah satu instrument negara. Tingginya tuntutan masyarakat akan adanya perubahan dan perbaikan, telah memaksa pemerintah yang berkuasa sebagai penyelenggara negara, menerapkan prinsip-prinsip pemerintahan yang bersih dan baik.
Pelaksanaan tata kelola pemerintahan menuju tata kelola pemerintah yang baik (good governance), pada dasarnya berpijak pada tiga pilar dasar, yaitu akuntabilitas, partisipasi, dan transparansi.
Akuntabilitas pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik sampai saat ini dapat dipercaya oleh masyarakat, baik menyangkut manajemen yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan maupun non keuangan.
Untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintah yang baik dan bersih hendaknya melibatkan dan membuka diri seluas-luasnya terhadap segala bentuk partisipasi masyarakat. Partisipasi publik sebagai wujud benih pemerintah yang bersih dan berwibawa. Sehingga masyarakat merasa ikut dan bertanggung jawab terhadap jalannya pemerintahan. Partisipasi publik yang berarti (meaningful participation) sangat diperlukan dalam setiap proses pengambilan sebuah kebijakan pemerintah, diberbagai sektor kehidupan.
Dalam konteks ini, partisipasi yang dimobilisasi (mobilize participation) untuk tujuan yang positif maupun partisipasi otonom (otonomic participation) yang tumbuh dari masyarakat sendiri sangat diperlukan sebagai sebuah sarana demokrasi dalam tata kelola pemerintahan.
Partisipasi yang luas dari seluruh unsur masyarakat, dapat dipakai sebagai salah satu indikator adanya dukungan dari warga masyarakatnya pada pemerintah yang berkuasa sehingga dalam tingkat tertentu, dapat pula dipakai sebagai alat legalitas bagi pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. (*)
There is no ads to display, Please add some