Oleh: Andreas Chandra
beritabernas.com – Hak publik untuk mendapatkan informasi adalah salah satu pilar utama dalam sistem demokrasi. Informasi adalah kekuatan yang memungkinkan masyarakat untuk membuat keputusan yang bijak, mengawasi kinerja pemerintah dan berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan politik dan sosial.
Tanpa akses yang bebas dan terbuka terhadap informasi, maka prinsip-prinsip dasar demokrasi akan terancam. Sayangnya, meskipun hak ini telah dijamin dalam berbagai instrumen hukum internasional maupun nasional, dalam kenyataannya, hak publik mendapatkan informasi sering kali terancam, dibatasi, atau bahkan dilanggar.
Di Indonesia, hak untuk mendapatkan informasi dijamin oleh Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Undang-undang ini memberikan dasar hukum bagi setiap warga negara untuk mengakses informasi yang dimiliki oleh badan publik. Keterbukaan informasi ini diharapkan dapat mendukung pemerintahan yang transparan, akuntabel dan partisipatif. Namun, meskipun undang-undang tersebut telah ada, praktiknya, implementasi dari keterbukaan informasi sering kali tidak berjalan sesuai harapan.
Salah satu masalah utama dalam hal ini adalah adanya pembatasan yang diterapkan oleh pemerintah dan lembaga-lembaga publik. Pembatasan informasi sering kali dilakukan dengan dalih keamanan negara, perlindungan hak privasi individu, atau alasan lain yang tidak selalu transparan. Misalnya, pada beberapa kasus, informasi tentang pengelolaan anggaran negara atau kebijakan-kebijakan penting lainnya sengaja disembunyikan atau disajikan dengan cara yang kabur. Ini bertujuan untuk menghindari kontrol atau kritik dari publik yang dapat mengancam stabilitas kekuasaan yang ada. Dalam banyak kasus, kebijakan semacam ini lebih mengutamakan kepentingan politik daripada kepentingan masyarakat luas.
BACA JUGA:
- Meneropong Politik Otoriter Kapitalis yang Mengobrak-abrik Isi Perut Bumi
- Negara yang Besar Ini Mau Dibawa Kemana?
- Pemerintah (Koalisi) Silih Berganti, Tetapi Penderitaan Rakyat Tetap
Selain itu, munculnya ancaman terhadap jurnalis dan aktivis yang berusaha mengungkapkan kebenaran semakin memperburuk situasi. Indonesia, meskipun memiliki Undang-Undang Pers yang melindungi kebebasan pers, tetap menghadapi masalah dengan intimidasi terhadap jurnalis yang melaporkan isu-isu sensitif.
Laporan-laporan investigasi yang mengungkap skandal korupsi atau ketidakberesan pemerintah sering kali menghadapi hambatan berupa ancaman kekerasan, pemerasan, atau bahkan pembunuhan. Hal ini menciptakan iklim ketakutan yang menghalangi wartawan untuk melaksanakan tugas mereka dengan bebas.
Tidak hanya jurnalis yang menjadi sasaran, tetapi juga warga negara biasa yang berusaha mengakses informasi publik atau mengkritik pemerintah. Sebagai contoh, beberapa aktivis sosial dan pembela hak asasi manusia mengalami penangkapan atau pengawasan oleh aparat negara, dengan alasan mereka mengancam stabilitas nasional atau menyebarkan informasi yang tidak benar.
Ini menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari hak untuk mendapatkan informasi, semakin tergerus. Ketakutan akan pembalasan hukum atau sosial mencegah banyak orang untuk berbicara secara bebas dan terbuka tentang berbagai masalah yang ada di masyarakat.
Ancaman terhadap hak publik mendapatkan informasi ini juga terlihat dalam fenomena penyensoran dan kontrol informasi di media sosial. Pemerintah di banyak negara, termasuk Indonesia, semakin memperketat regulasi di dunia maya dengan alasan untuk memerangi disinformasi dan hoaks. Namun, pada kenyataannya, regulasi yang diterapkan sering kali terlalu luas dan cenderung digunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi.
Pengawasan terhadap platform digital, meskipun bisa bermanfaat dalam memerangi penyebaran informasi palsu, juga berisiko untuk digunakan sebagai alat untuk mengontrol narasi yang ada, serta membungkam kritik terhadap kebijakan pemerintah.
Keterbukaan informasi adalah hak yang sangat vital bagi perkembangan demokrasi yang sehat. Jika masyarakat tidak dapat mengakses informasi yang benar dan relevan, maka mereka tidak akan memiliki dasar yang kuat untuk membuat keputusan yang baik, baik dalam konteks politik, sosial, atau ekonomi. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk melindungi dan memfasilitasi hak publik dalam mengakses informasi, dan bukan sebaliknya membatasi atau menyensor informasi demi kepentingan tertentu.
Melalui penguatan sistem transparansi, penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya hak informasi, serta perlindungan terhadap jurnalis dan aktivis, diharapkan hak publik untuk mendapatkan informasi dapat terjamin. Mengancam kebebasan informasi bukan hanya merugikan individu atau kelompok tertentu, tetapi juga merusak fondasi demokrasi itu sendiri. Agar demokrasi tetap berjalan dengan baik, masyarakat harus diberi ruang untuk mengakses informasi yang akurat dan bebas dari campur tangan yang berlebihan dari pihak manapun.
Kebebasan informasi bukan hanya hak, tetapi juga kewajiban moral untuk memastikan negara tetap berjalan dengan transparansi, akuntabilitas, dan keadilan. Kita tidak bisa membiarkan informasi dikendalikan secara sepihak demi kepentingan politik, karena ini akan mengurangi kualitas demokrasi dan hak warga negara. (Andreas Chandra, Mahasiswa FH UAJY)