Oleh: Bernardus Hudu Sandidiko Hati
beritabernas.com – Budaya kolektif artinya kepentingan bersama kelompok maupun organisasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kolektif berarti secara bersama; secara gabungan. Jadi budaya kolektif merupakan sebuah kelompok maupun organisasi yang bekerja sama demi mencapai tujuan bersama. Artinya, kelompok menekankan atau memprioritaskan kepentingannya sendiri dibandingkan kepentingan masyarakat umum guna mencapai tujuan tertentu.
Tindakan kolektif ini sudah menjadi budaya di antara masyarakat pada umumnya dan pemerintah khususnya. Begitu banyak pemerintah yang membentuk kelompok maupun organisasi demi kepentingan sendiri maupun tujuan tertentu. Hal ini menjadi perbincangan hangat di ranah publik. Banyak pihak yang mengatakan bahwa budaya kolektif kini hadir sebagai salah satu problematika atau masalah bagi bangsa ini. Dengan pelaku utamanya adalah pemerintah yang kerap disebut sebagai kapitalis.
Tentu kata “kapitalis” ini sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat. Kata kapitalis, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ialah orang yang mempunyai kedudukan di dalam lembaga pemerintah atau di dalam organisasi politik yang menyalahgunakan kekuasaan dan kedudukan untuk memperkaya golongan atau diri sendiri; borjuis (golongan) orang bermodal dan bangsawan.
Pengaruh kekuasaan kapitalis itu terlihat pada tindakan sewenang-wenang mengatur dan mengelola bangsa sekehendak mereka. Pemerasan sumber daya alam bangsa berupa isi perut bumi yang digunakan dan dikelola secara berlebihan tanpa sepengetahuan dan tidak berdampak bagi kesejahteraan bangsa. Namun sebaliknya pemanfaatan sumber daya alamhanya menguntungkan pemerintah kapitalis. Mereka memperdayagunakan sumber daya alam bangsa dengan memeras secara berlebihan tanpa memikirkan kepentingan hidup masyarakat dan masa depan bangsa.
Tanpa disadari, kekayaan alam negeri ini perlu dipertanyakan eksistensinya. Apakah alam bangsa ini akan terus seperti ini? Akan semakin menjadi rusak ataukah akan bisa hilang?. Semua pertanyaan ini sangat fundamental bagi kita masyarakat bangsa Indonesia. Jika kita terus berada pada kekuasaan para kapitalis, selalu menerima kebijakan maupun tindakan yang mereka lakukan pada bangsa ini, seperti pemerasan isi perut bumi bangsa ini.
BACA JUGA:
- Negara yang Besar Ini Mau Dibawa Kemana?
- Pemerintah (Koalisi) Silih Berganti, Tetapi Penderitaan Rakyat Tetap
- Korupsi, Penyakit Sosial yang Harus Disembuhkan
- Peran Generasi Muda dalam Pembangunan Negara yang Berkualitas
- Negara Butuh Pemimpin Perempuan
Hal itu akan berdampak pada esensi alam bangsa. Alam akan makin nampak kerusakannya dan lama kelamaan akan habis ditelan para kapitalis. Sebagai anak bangsa, penulis sadar akan kondisi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengangkat tema ini sebagai salah satu kasus bangsa, agar semua masyarakat sadar dan tahu akan politik otoriter dari pemerintah kapitalis yang mengeksploitasi sumber alam bukan demi kepentingan masyarakat umum.
Relevansi budaya kolektif dan perilaku konsumerisme para kapitalis
Budaya kolektif dan perilaku konsumerisme sudah mengakar pada diri para kapitalis demi mendapat keuntungan yang sangat besar demi kehidupan yang mewah. Gaya hidup mewah yang jahat ini menjadi budaya yang selalu transenden dan berkesinambungan sehingga terinternalisasi dalam diri kaum kapitalis yang berakibat pada kemiskinan masyarakat berlanjut.
Para kapitalis memiliki sikap gengsi atau tidak mau tampil sederhana seperti masyarakat pada umumnya. Karena takut dianggap sebagai pemerintah yang kudeg (kurang update) terkait cara berpenampilan atau berfashion. Sehingga hal itu mengubah mindset mereka dengan melahirkan perilaku baru yang disebut perilaku konsumtif atau konsumerisme.
Para kapitalis banyak mengonsumsi berbagai produk bersifat mewah yang muncul dari perkembangan zaman. Sistem kebutuhan saat ini tidak lagi ditentukan oleh kebutuhan yang riil melainkan telah diatur dan diciptakan sesuai dengan keberadaan barang-barang komoditi (Rina Octaviana) sehingga hal ini menuntut mereka untuk dapat mengonsumsi semua barang maupun produk tersebut.
Gaya hidup mewah para kapitalis membutuhkan pendapatan besar melalui kekuasaan dengan mengeksploitasi sumber daya alam yang dipandang sebagai komoditas yang harus dieksploitasi untuk menghasilkan keuntungan besar. Kapitalisme memiliki dorongan inheren untuk mencari keuntungan jangka pendek yang pada akhirnya mengabaikan dampak jangka panjang terhadap keanekaragaman hayati dan keberlanjutan ekosistem (Mapala Mitarasa, 2-25). Bukan hanya itu, pola hidup hedonis dengan kebutuhan primer seperti pola makan.
Kehidupan para kapitalis selaku penguasa, kriteria kualitas makanan yang disantap berbeda dengan makanan yang disantap masyarakat baik dari segi tempat maupun jenis. Seperti restaurant, oyo dan lainnya, maka harga pun sangat mahal. Kondisi ini mengindikasikan kehidupan para kapitalis yang tampil dengan budaya kolektif dengan perilaku konsumtif maupun konsumerisme. Semakin perilaku seperti ini berkembang oleh para kapitalisme, maka eksistensi kemiskinan masyarakat semakin tinggi. Realita gaya hidup pemegang kekuasaan harus tampil elegant dan mempesona dengan produk mewah di hadapan rakyatnya. Gaya hidup yang merugikan masyarakat dengan memeras sumber daya alam bangsa dengan mengabaikan kepentingan bersama.
Ben Senang Galus, dalam bukunya Gereja (2014), Kapitalisme dan Penyaliban Kaum Lemah menyebutkan bahwa harta kekayaan tertimbun dalam tangan segelintir orang (pemerintah kapitalis), sedangkan masyarakat luas meringkuk dalam kemelaratan dan kemalangan yang celaka. Kemelaratan masyarakat tidak dipikirkan sama sekali oleh para kapitalis, karena mereka juga berambisi untuk mendapatkan keuntungan besar dari perilaku buruk tersebut.
Adanya budaya kolektif para kapitalis yang konsumtif atau konsumerisme, menimbulkan esensi dari alam bangsa semakin tergerus. Sumber daya alam bangsa yang menjadi kekayaan bangsa, yang seharusnya dikelola untuk kepentingan bersama masyarakat bangsa, malah diperas habis oleh para kapitalis. Sumber daya minyak bumi di laut, isi perut bumi seperti berbagai tambang maupun sumber daya hutan semuanya dieksploitasi secara berlebihan hanya untuk mendapat keuntungan bagi kaum kapitalis sendiri.
Dengan kekuasaan dan kedudukan yang besar pada bangsa, para kapitalis dapat melakukan apa saja untuk bisa memuaskan hidup mereka. Melalui kedudukan itu, kapitalisme yang terus menuntut bertambahnya ruang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, memaksanya untuk mengeksploitasi alam secara cepat dan besar-besaran. Kemudian berdampak pada kualitas lingkungan dan lebih parah menimbulkan bencana di mana-mana (Ben Senang Galus, 2014).
Tentunya hal itu tidak lain, disebabkan oleh perilaku konsumtif dan konsumerisme para kapitalis. Sehingga melahirkan segala permainan busuk untuk mendapatkan modal yang besar, agar dapat mengonsumsi segala barang maupun produk tersebut untuk dapat berpenampilan mewah. Jika perilaku serakah para kapitalis berlanjut, maka akan merusak keseimbangan dan keberlanjutan sumber daya alam.
Pastinya hal itu juga akan berdampak pada eksistensi manusia. Manusia akan banyak menghadapi masalah yang timbul dari alam bangsa ini. Berbagai bencana hadir pada kehidupan manusia. Hal itu dapat kita lihat dari kejadian bencana alam mendominasi adalah bencana hidrometeorologi sebesar 98,85 persen dan bencana geologi 1,15 persen dengan urutan bencana banjir, cuaca ekstrem, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), tanah longsor dan kekeringan (BNPPB, 2024).
Jadi dari persentase bencana yang terjadi tersebut, kita harus sadar bahwa begitu banyak promblematika yang timbul dari perilaku para kapitalis ini, karena hampir semua kekayaan alam dirusak dengan dieksploitasi demi kepentingan sendiri.
Oleh karena itu, sebagai masyarakat bangsa kita harus bersuara dan bertindak untuk mencengah perilaku dari para kapitalis itu. Menurut Rocky Gerung, pengamat politik, “jika ingin bangsa ini aman, maka para elit harus dicabut”.
Sebagai bagian dari bangsa ini, kita harus mencegah terjadinya perilaku busuk para kapitalis. Begitu banyak cara seperti demonstrasi, melaporkan tindakan tersebut maupun mengkritik tindakan mereka melalui media sosial. Sehingga segala tindakan busuk tersebut tidak terulang lagi dan eksistensi dari alam bangsa akan tetap lestari dan berkesinambungan sampai anak cucu.
Kekayaan alam bangsa kini semakin tergerus. Begitu banyak kekayaan alam yang dieksploitasi untuk kepentingan pribadi para kapitalis. Mereka hanya mementingkan diri sendiri dibandingkan kepentingan masyarakat bangsa. Perilaku konsumerisme yang sudah terinternalisasi pada diri kapitalis melahirkan budaya kolektif. Dari budaya itu, mereka bermain politik otoriter pada bangsa ini dengan mengeksploitasi semua kekayaan alam bangsa. Semakin para kapitalis bertindak seperti ini, maka akan menggugat eksistensi dari kehidupan manusia.
Akan timbul masalah besar pada kehidupan manusia seperti bencana alam yang kerap merusak polarisasi kehidupan masyarakat. Begitu banyak masyarakat yang menjadi korban bencana alam, ada yang mendapatkan luka fisik maupun ada yang meninggal. Bukan hanya itu saja, di sisi lain dengan timbulnya bencana alam, begitu banyak kekayaan alam lain yang rusak dan musnah.
Menurut penulis, masalah ini timbul karena kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga dan memelihara kekayaan alam bangsa. Masih ada sikap apatis dalam diri kita untuk menjaga dan memelihara kekayaan alam bangsa. Perlu kita ketahui bersama, bahwa alam adalah bagian dari hidup kita, alam adalah sahabat kita. Kita harus bisa menjaga dan memelihara kekayaan alam bangsa dari segala permainan busuk para kapitalis yang melakukan ekploitasi alam.
Kita dituntut untuk bersuara dan bertindak dengan problem ini. Agar eksistensi alam semakin transenden dan berkesinambungan dari generasi ke generasi. Semua masyarakat bangsa harus merasakan kekayaan alam bangsa ini. Bukan hanya para kapitalis yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Sekali lagi, kita adalah masyarakat bangsa, kita adalah sahabat alam. Kita memiliki kewajiban untuk menjaga dan memelihara kekayaan alam bangsa demi kepentingan kita semua sebagai masyarakat bangsa. (Bernardus Hudu Sandidiko Hati, Siswa SMA Seminari Labuanbajo)