Pemerintah (Koalisi) Silih Berganti, Tetapi Penderitaan Rakyat Tetap

 Oleh: Ben Senang Galus

beritabernas.com – Kebijakan publik dalam lintasan sejarah di Indonesia mulai zaman Orde Lama, Orde Baru dan reformasi menjadi alat kontrol terhadap masyarakat melalui beberapa aturan seperti peraturan daerah (Perda), Peraturan Pemerintah, Undang-Undang maupun aturan-aturan yang diterapkan oleh pemerintah.

Kenyataan yang terjadi kebijakan pada awalnya harus membela kepentingan rakyat melalui prasarana kebijakan yang lebih partisipatif, namun kemudian kebijakan yang dijalankan para aparatur negara (state apparatus) ataupun para elite negara telah menodai dari amanah konstitusi (UUD45). Padahal, makna kebijakan publik ini harus bersifat demokratis, rasionalis, idealis dan realistis. Kebijakan publik, bagaimana pun bentuknya, harus bisa menyejahterakan masyarakat, bukan sebaliknya untuk melindungi kepentingan pemerintah atau elite politik.

Titik singgung proses pertukaran kepentingan inilah yang harus melandasi formula sebuah kebijakan publik. Dari konsep demokrasi itulah yang seharusnya kebijakan publik lebih berproses. Jadi tidak hanya sekumpulan elite atau politikus negara, tetapi kumpulan dari orang-orang yang bersinggungan dengan masalah kebijakan, sehingga perlu dilibatkan dalam membahas kebijakan dan tidak di monopoli oleh kelompok negara saja.

Alangkah lebih baiknya masyarakat sipil harus ikut dalam membicarakan tentang kebijakan-kebijakan publik, yang nantinya nilai-nilai demokrasi akan bisa terwujud dengan proses kedaulatan rakyat dengan sistem mufakat.

Dalam konteks inilah kebijakan publik dan pengambilan kebijakan para birokrat negara harus memiliki orientasi pada kepentingan publik yang kuat. Kebanyakan warga negara menaruh banyak harapan pada administrator publik agar mereka selalu melayani yang sebaik-baiknya kepada publik, sehingga fungsi policy maker secara legal formal memang tetap perangkat negara.

Seyogianya dengan partisipasi publik, yang ingin dicapai adalah transparansi dalam proses kebijakan publik. Kita bisa mengamati beberapa kebijakan yang selama ini menjadi bagian anggaran penetapan di muka publik, di antaranya kebijakan kesejahteraan rakyat, perumahan rakyat, pendidikan, ekonomi, kebudayaan, politik dan lain-lain.

Seiring dengan munculnya fenomena kebijakan publik di negara Indonesia dan masalah yang silih berganti yang harus dihadapi masyarakat, kini kebijakan tidak hanya pemerintah yang menetapkan, tetapi juga ditetapkan oleh DPR. Secara garis besar mekanisme tersebut rupanya mampu menerobos kebijakan yang dilakukan pemerintah dan melampaui kebijakannya yang dianggap taktis dan strategis.

Sejauh ini kebijakan pemerintah dan DPR ini tidak ada yang sinergis. Akan tetapi, dari keputusan kedua kebijakan era reformasi ini tidak ada kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat. Rakyat selalu dibebani dengan kebijakan yang tidak rasional demi kepentingan kelompoknya, agar bisa memenuhi tuntutan faktor politik maupun ekonomi.

Ben Senang Galus. Foto: Dok pribadi

Kita lihat beberapa contoh kebijakan pendidikan, ketenagakerjaan dan bahan bakar minyak (BBM), distribusi Liquified Petroleum Gas (LPG). Semua itu tidak ada yang berpihak pada rakyat. Pemerintah dan DPR lebih mementingkan kebijakan kelompok elite, bagaimana perda, pasal atau UU bisa dikorup, sebagai bentuk untuk menindas rakyat.

Kita lihat saja kasus-kasus yang melibatkan aparatur negara yang banyak melakukan penyelewengan dengan membangun opini melalui demonstrasi.  Agar opini tersebut dikembangkan oleh masyarakat, sehingga isu yang digulirkan akan bisa memengaruhi kebijakan. Dari polemik-polemik selama ini tentang pengebirian kebijakan publik yang lebih dimanfaatkan oleh para kaum pemodal (oligarki) untuk mengikuti aturan-aturan dengan modus operandi penipuan terhadap rakyat.

Tekanan dari pengusaha

Perlunya pembacaan ulang tentang kebijakan publik yang lebih dinamik. Apakah anggota DPR benar-benar sebagai wakil rakyat dan aspirasi publik dalam memperjuangkan kebijakan publik? Pertanyaan ini harus benar-benar dipikirkan pemerintah dan anggota DPR yang sering membuat pasal-pasal karet, sehingga kita perlu membaca ulang kebijakan publik selama ini.

Pertama, kebijakan publik di bidang ketenagakerjaan, yang selalu ramai jadi pembicaraan dan sekaligus perdebatan di berbagai media bahkan di manca negara, tak peduli kaya atau miskin. Biasanya kebijakan ini lebih mendapat tekanan dari pengusaha, agar kebijakan dan pasal-pasalnya agar lebih banyak berpihak pada pengusaha. Sehingga penindasan terhadap buruh bisa leluasa, karena dapat diperkuat dengan kebijakan yang memasung para buruh dengan menekan upah serta mengeksploitasi tenaganya dengan upah yang serendah-rendahnya.

Kedua, kebijakan publik di sektor BBM, kenaikan BBM dalam lintas sejarah kebijakan publik di Indonesia selalu menarik perhatian. Terutama saat media massa banyak menopang bergulirnya isu kenaikan BBM. Sesungguhnya bukan materi harga naiknya BBM, melainkan selama ini kebijakan yang ditetapkan pemerintah tidak rasional. Walaupun di era pemerintahan SBY sampai dengan Prabowo Subianto, dengan tawaran subsidi silang di sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi ternyata hingga saat ini masih impian belaka bagi kaum miskin..

Ketiga, kebijakan publik dalam penjualan aset negara, seiring dengan datangnya krisis ekonomi mulai tahun 1997, berlarut-larutnya kondisi ekonomi bangsa Indonesia mulai zaman Presiden Soeharto hingga Presiden Prabowo banyak aset negara yang dijual, seperti PT Indosat, PT Aneka Tambang, dan PT Timah, Kantor Kementerian Perindustian (lebih-lebih lagi penjualan SDA kepada asing). Tidak hanya aset negara yang dijual ke tangan asing, sumber kekayaan alam juga ikut terjual. Lalu rakyat mendapat apa? Semua aset negara yang dijual ini ternyata tidak bisa memberikan kesejahteraan rakyat. Padahal, semua itu ulah para koruptor, mafia, dan pejabat berdasi yang merongrong aset negara, sebagai dampak bagi negara menuju kemiskinan.

Meniadakan humanisme

Kebijakan seperti inilah yang sering dianggap remeh oleh negara. Mereka hanya mengalkulasi kebutuhan sesaat dan tidak memikirkan anak cucu Republik Indonesia yang akan datang. Oleh karena itu, kebijakan menjual aset negara sebagai ulah para koruptor, mafia dan pejabat berdasi ini telah mendapat keistimewaan, bahkan pemerintah tidak pernah tegas.

Keempat, kebijakan publik tata ruang kota dan hancurnya lingkungan hidup. Tata ruang kota yang berkelanjutan adalah sasaran penataan ruang, yang harus ditujukan lebih pada kesejahteraan lingkungan dan masyarakat. Padahal, sejak beberapa tahun yang silam penataan kota itu lebih meniadakan sifat humanisme, mereka lebih mementingkan pada nilai-nilai proyek komersial(isasi) bukan pada humanisasi lingkungan.

Akhirnya yang terjadi kerusakan penataan kota yang asri tanpa pernah memelihara penghijauan, sehingga banjir terus-menerus yang terjadi melanda kota dan beberapa daerah di Indonesia. Kebijakan ini terkadang menghilangkan ruang hijau kota. Pemerintah tidak pernah menyediakan ruang publik. Drainase buruk, tempat pejalan kaki hampir pasti tidak tersedia. Semua dipakai oleh pedagang kaki lima, yang didukung para preman. Apalagi ruang khusus bagi orang berkebutuhan khusus, tidak tersedia.

BACA JUGA:

Sebab bisnis lebih utama terutama masalah drainase juga tidak pernah diperhatikan serta pencemaran pabrik dan gangguan gedung-gedung di kota yang kadang tidak memenuhi standar pemeliharaan penataan kota.

Kelima, kebijakan masalah pendapatan aseli daerah (PAD), setelah reformasi bergulir otonomi daerah (Otda) menjadi sebuah harapan bagi bangsa Indonesia, yang selama ini pemerintahan yang ada di Jakarta lebih banyak menyita hasil pemerintahan di daerah-daerah. Setelah diterapkan Otda yang lebih dari dua puluh tahun, ternyata hanya sebuah impian belaka bagi rakyat Indonesia, yang selama ini eksplorasi pusat terhadap daerah terus terjadi.

Ditambah lagi dengan kebijakan efisiensi anggaran, menjadi penyakit kronis bertambahnya daftar orang miskin dan putus sekolah di Indonesia. Di bidang kesehatan tambah parah. Dengan alasan efisiensi anggaran pemerintah daerah tidak kreatif dan inovatif mencari anggaran tambahan di luar belanja daerah yang telah ditetapkan.

Hal ini menunjukkan keberadaan otda bukan menghasilkan kemakmuran, melainkan menjadi momok hanya pada persoalan keuangan daerah menjadi rebutan. Walhasil, banyak mencetak para koruptor di daerah-daerah mulai menjadi tren gaya hidup bagi aparat negara di daerah-daerah. Seolah-olah kalau pejabat di daerah belum melakukan korupsi belum menjadi keabsahan sebagai pejabat teras negara. Tampaknya kebijakan PAD telah banyak menindas rakyat di mana pun.

Diskursus ini lebih concern pada pemikiran kebijakan publik, mengajak kita semua untuk membaca ulang secara kritis terhadap berbagai kebijakan publik yang pernah ditawarkan pemerintah dan anggota dewan. Apakah sudah benar-benar berpihak pada rakyat yang selalu tersubordinat dalam berbagai hal kebijakan publik. Pemikiran ini bisa dijadikan bahan reflektif bagi masyarakat Indonesia untuk lebih kritis dalam mengevaluasi negara yang sudah carut-marut dalam berbagai hal.

Kita diajak becermin bagaimana kebijakan publik harus ditata sehingga tidak membuka peluang terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Saat ini kebijakan publik yang sejak awalnya dirancang meringankan rakyat, justru menjadi beban masyarakat. Misalnya, untuk mengurus SIM yang paling sederhana, dibutuhkan waktu yang panjang dan biaya yang tidak sedikit. 

Koalisi yang dikotakkan ke dalam parpol peserta pemilu, terutama peraih suara signifikan di pemilu legislatif, menunjukkan bahwa massa yang diperebutkan adalah massa yang real diperoleh masing-masing parpol dalam pemilu. Koalisi belum mempertimbangkan fenomena jutaan pemilih yang terdaftar tetapi tidak ikut memilih dalam pemilu legislatif maupun pilpres. Mereka lupa akan fenomena golput yang tidak pernah mau mempertaruhkan suaranya ke tangan politisi atau kandidat yang tampil di pemilu, karena mereka tidak yakin akan profesionalismenya.

Koalisi: saya titip

Mereka juga lupa akan beberapa pemilih yang memilih dengan prinsip minus malum (memilih yang kekurangannya terkecil). Sebanyak 20,2 persen dari 204,4 juta pemilih dalam Pemilu 2024 adalah angka yang sungguh signifikan. Sangat boleh jadi, 20,2 persen suara yang tidak ikut pemilu dan ditambah dengan pemilih minus malum itu adalah suara-suara dari pemilih rasional. Kenyataan menunjukkan capres terpilih pada pemilu 2024 tidak mampu mengakomodasi dambaan ke-20,2 persen suara tadi. Maka koalisi itu akan jauh lebih kuat untuk menjamin stabilitas politik kepentingan partai dan efektivitas kebijakan publik di masa depan terasa kurang memuaskan rakyat Indonesia.

Dengan komposisi suara pemilu yang tidak bisa dicapai mayoritas untuk salah satu parpol, bahkan cenderung menyebar secara tipis untuk parpol gurem, maka mereka yang berambisi menjadi presiden harus melakukan koalisi, baik koalisi antarparpol maupun antartokoh.

Sebuah koalisi politik akan terjadi harus dibayar dengan pencapaian kepentingan bersama. Kepentingan bersama bisa berupa pembagian kekuasaan, titip menteri, titip jabatan eksekutif lainnya, titip bisnis, titip proyek. Bagi orang yang berambisi terhadap pragmatisme kekuasaan (jangka pendek), koalisi tetap menjadi pilihan utama, sebab intinya adalah kekuasaan. Saya mau berkoalisi, tapi aku titip jabatan, itu kredo utama koalisi.  

Tetapi, bagi masa depan bangsa yang lebih baik, apakah koalisi itu baik? Jawabannya:  koalisi tidak membawa implikasi baik terhadap sistem penyelenggaraan negara dan tata kelola pemerintahan. Jika  koalisi akan tetap dipertahankan maka (sistem) demokrasi akan memasuki labirin (lorong gelap, jalan buntu). Akan lebih parah lagi, tata kelola pemerintahan tidak lebih sebagai event organizer. Jika tata kelola pemerintah seperti event organizer, jangan heran masyarakat kita akan masuk dalam lorong gelap.

Sebuah masalah dan tujuan bangsa baru akan tercapai kalau sebuah kebijakan dilalui dengan proses yang rasional. Rasionalitas adalah milik kaum profesional. Sementara itu, kriteria utama politisi yang ditampung di parpol-parpol adalah yang empunya massa. Sedangkan jumlah massa tidak selalu berhu-bungan dengan profesionalisme seseorang. Seorang preman bisa saja mempunyai massa yang jauh lebih banyak daripada seorang profesor ahli di bidang kehutanan, misalnya. Tetapi, untuk membangun kehutanan tentunya sang profesor lebih ahli daripada seorang preman.

Koalisi, melanggengkan korupsi

Oleh karena itu, koalisi antarparpol dan antartokoh untuk memperebutkan RI-1 dan RI-2 akan menghasilkan pembagian kekuasaan kabinet yang tidak profesional. Kabinet yang tidak profesional sulit menghasilkan kebijakan yang efektif untuk memecahkan masalah atau tujuan. Pengalaman kabinet Orde Lama, Orde Baru, dan kabinet-kabinet selama reformasi ditangani Presiden Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, SBY, Jokowi, Prabowo tidak efektif memecahkan masalah bangsa adalah efek dari sebuah koalisi, pembagian kekuasaan dan titipan kepentingan. Semuanya itu tidak lebih sebagai bentuk pelanggengan kekuasaan, demikian seterus melanggengkan korupsi.

Secara politik memang koalisi akan menghasilkan stabilitas yang kondusif bagi kabinet untuk bekerja sekuat tenaga, dalam tempo singkat, untuk kepentingan pragmatis, tidak untuk kepentingan pembalaan terhadap kepentingan masyarakat. Koalisi tidak efektif, hanya menghasilkan kesia-siaan, pemborosan sumber daya atau energi. Sekian banyak dana yang dikeluarkan, sekian banyak tenaga yang dikuras, sekian banyak waktu yang berlalu hanya untuk menghasilkan sebuah kemalangan yang semakin dalam.

Meskipun nasib bangsa ini semakin memburuk, sebuah rezim hasil koalisi bisa saja tetap berkuasa minimal selama lima tahun. Sebab, pembelaan subjektif yang penuh rekayasa prestasi akan bisa mendominasi opini yang dilakukan oleh sekelompok orang yang sedang ikut menikmati indahnya kekuasaan.

Tetapi, indahnya kekuasaan yang dirasakan penguasa tidak sekejinya hujatan, cemoohan, bahkan penghinaan yang dilakukan para demonstran, kritikus, serta sinisme masyarakat. Andaikan seorang pejabat sedang menyaksikan celotehan-hina masyarakat yang menyaksikan kegagahan seorang pejabat dalam sebuah upacara kenegaraan lewat televisi atau media cetak, betapa murahnya semua aksesori kenegaraan yang dikenakan di sekujur tubuhnya.

Dampak lanjutan dari ketidakefektifan kebijakan adalah ketidakpercayaan publik. Salah satu akibatnya adalah menurunnya kepercayaan publik, sebab kekuasaan yang didambakannya hanya seumur jagung. Penguasa bisa saja melakukan otoriter dan politik uang agar tetap langgeng kekuasaannya. Tetapi, penurunan secara paksa oleh demonstran merupakan kisah hidup yang sangat mengoyak-ngoyak harga diri yang akan berakibat pada gangguan mental.

Jadi, usaha koalisi adalah usaha dari orang yang berambisi kekuasaan semata. Presiden yang betul-betul berniat untuk memperbaiki keadaan bangsa ini akan menghindari koalisi, karena koalisi hanya akan menghasilkan kebijakan publik yang tidak efektif dalam memecahkan masalah atau mencapai tujuan bangsa, untuk sesaat saja.      

Koalisi yang menekankan antarpartai dan antartokoh, pandangan tokoh politik masih tidak bergeser dari parpol. Misalnya koalisi antarparpol dalam Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo. Jika melihat tokohnya, maka pandangan juga tetap ke arah koalisi antarpimpinan atau tokoh kunci parpol.

Pemilih rasional pada Pemilu 2024 adalah kelompok menengah seperti mahasiswa, LSM, dan cendekiawan, generasi Z. Motor pendobrak untuk menumbangkan sebuah rezim justru dipegang oleh kelompok menengah. Bila koalisi yang ada bisa menemukan jawaban terhadap dambaan mereka, maka koalisi tersebut akan sangat langgeng. Sebaliknya jika tidak bukan mustahil koalisi yang tercipta dalam Kabinet Merah Putih akan mengalami terpaan dan terseok-seok, akan mungkin bisa jadi koalisi akan patah di tengah jalan

Kaum profesional memang tidak populer di masyarakat bawah. Tetapi, yang jelas masyarakat bawah tidak membutuhkan nama saja, tetapi mereka membutuhkan kenyataan hidup yang lebih baik. Justru selama ini masyarakat bawah kita terlalu banyak menghafal nama tokoh yang tidak pernah mampu memperbaiki nasib mereka. Mengenal karya baru dan nama akan jauh lebih strategis ketimbang mengenal nama tanpa karya dan prestasi.

Kebijakan publik yang disampaikan pemerintahan selama ini cenderung memperkuat basis dukungan partai. Pemerintah tidak bisa menjalankan kegiatan publik hanya lantaran kebijakan itu merupakan pesanan dari partai koalisi. Yang menjadi persoalan adalah ketika kebijakan itu hanya mengedepan kepentingan koalisi, nasib kebijakan publik itu akan menjadi tidak bermanfaat bagi rakyat. Rakyat akat tetap mengalami penderitaan hebat.

Argumentasi logis yang disampaikan di atas memperkokoh dimensi legalitas kekuasaan pemerintah yang cenderung monopoli atas kekusaan politik. Pemerintahan koalisi dalam berbagai negara dalam praktiknya gagal dalam  menjalankan pemerintahan secara murni dan konsekuen sesuai dengan amanat konstitusi. 

Kegagalan pemerintahan koalisi dalam menata kelola pemerintahan menjadi alasan pembenar dari sistem koalisi itu sendiri sesungguhnya buruk. Argumentasi ini menjadi alasan ketika hamper dua puluh tahun lebih Indonesia di bawah pemerintah koaliasi semuanya tidak pernah berhasil. Masalah dalam negeri menjadi semakin rumit. Kemiskinan, pengangguran, korupsi semakin merajalela, kesehatan masyarakat tidak semakin membaik, pendidikan semakin memburuk.

Fakta sosial di atas semakin kuat keyakinan kita akan jeleknya pemerintah koalisi. Demokrasi akan menjadi mahal ketika hasil dari pemerintahan koalisi tidak membawa perubahan kepada masyarakat. Yang nampak adalah perubahan pola hidup para politisi dan birokrat. Seiring dengan berkembangnya Otda, desakan masyarakat untuk mengalihkan kekuasaan kepada daerah, semakin berkembang pula struktur penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang oleh kepada daerah maupun institusi sipil di Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD).

Kebijakan publik di daerah lebih mengutamakan kepentingan golongan atau etnis atau agama tertentu.  Pergerakan demokrasi dalam tataran dinamikan kebijakan publik mengalami hambatan ketika demokrasi itu dihadang oleh kekuatan koaliasi. Kekuatan koalisis membuat demokrasi akan mengalami proses labirinisasi ke arah pembusukan demokrasi (democracy decay).

Perjuangan menegakkan kembali labirin demokrasi membutuhkan waktu lama menuju ke demokrasi yang benar-benar diinginkan rakyat.  Le gouvernement Passe, Lamisere du Peuple Reste, pepatah Prancis, yang berarti, Pemerintah silih berganti, tetapi penderitaan rakyat tetap. Paralel dengan pepatah Prancis tersebut, Pepatah Belanda De ene coalitie na de andere werd het lijden van het volk steeds ernstiger, yang berarti, koalisi silih berganti, penderitaan rakyat semakin berat. Nasib kebijakan di tangan pemerintah koalisi tidak akan memperbaiki nasib rakyat, malahan menambah daftar penderitaan rakyat. Oleh karena itu pemerintah koalisi harus dievaluasi lagi. (Ben Senang Galus, Penulis buku dan Esais, tinggal di Yogyakarta)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *