Imaji Satu Abad UII: Inovasi di Era Disrupsi
 

beritabernas.com – Era disrupsi membuat dunia tidak dapat ditebak. Perencanaan proses bisnis pun sulit disusun, karena pergerakan yang begitu dinamis. Universitas Islam Indonesia (UII) di masa depan tidak boleh berhenti, harus terus melakukan inovasi yang bertanggung jawab dengan tetap menjaga identitas UII yang rahmatan lil alamin.
 
Hal itu disampaikan Ahmad M Raf’ie Pratama ST MIT PhD saat menjadi salah satu narasumber di acara Imaji Satu Abad UII: Inovasi di Era Disrupsi  yang merupakan rangkaian Milad ke-79 UII di Gedung Kuliah Umum (GKU) Lantai 2 Prof Dr M Sardjito MD MPH Kampus Terpadu UII, pada Senin 22 Agustus 2022.

Menurut Raf’ie, salah satu contoh inovasi UII dapat dilihat saat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) awal tahun 2020.
 
Empat tahun sebelumnya, Program Studi Informatika, Program Sarjana (PSI PS) Fakultas Teknologi Industri  (FTI) UII melalui Kurikulum 2016, telah lebih dulu memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk memilih satu dari lima jalur pada tahun terakhir yakni penelitian, pengabdian kepada masyarakat, perintisan bisnis, magang atau kuliah di luar negeri.
 
“Berkat inovasi di bidang kurikulum tersebut, keberadaan MBKM yang cukup mengguncang proses bisnis dan kurikulum di berbagai prodi serta perguruan tinggi lain tidak terjadi di PSI PS FTI UII. Yang terjadi hanya penyesuaian minor untuk mengakomodasi program MBKM di Kurikulum 2020 yang masih memiliki ruh yang sama dengan Kurikulum 2016,” tutur Dosen Jurusan Informatika FTI UII tersebut.
 
Waspada Inovasi Disruptif
 
Menurut Raf’ie, teknologi komputer, internet hingga ponsel pintar telah menjadi sarana utama munculnya berbagai inovasi disruptif dalam 1–2 dekade terakhir. Berbagai bidang kehidupan manusia telah terdampak. Dunia pendidikan pun tak luput dari terjangan inovasi disruptif ini, meski bisa dikatakan perguruan tinggi masih belum terkena dampak yang teramat besar layaknya di bidang lain seperti dunia hiburan, transportasi, ritel & komersial hingga kesehatan.

Ahmad M Raf’ie Pratama ST MIT PhD saat menjadi salah satu narasumber di acara Imaji Satu Abad UII: Inovasi di Era Disrupsi  yang merupakan rangkaian Milad ke-79 UII di Gedung Kuliah Umum (GKU) Lantai 2 Prof Dr M Sardjito MD MPH Kampus Terpadu UII, pada Senin 22 Agustus 2022. Foto: Jerri

“Satu-satunya cara untuk bertahan dari gempuran inovasi disruptif adalah dengan terus berinovasi atau dengan kata lain, lawan inovasi dengan inovasi,” kat Raf’ie yang kini menjadi Wakil Dekan Bidang Sumber Daya FTI UII.
 
Raf’ie juga menyatakan bahwa inovasi yang dilakukan tentu bukan sembarang inovasi. “Inovasi yang dilakukan harus berlandaskan ilmu pengetahuan (science-based innovation), menebarkan manfaat seluas mungkin dan bukan hanya untuk segelintir pihak, terutama inovatornya saja. Dengan kata lain, inovasi yang dilakukan haruslah inovasi yang bertanggung jawab (responsible innovation),” katanya.
 
Kunci Inovasi
 
Menurut Raf’ie, dalam konteks perguruan tinggi, salah satu kunci inovasi adalah kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), yang tidak hanya terbatas pada dosen, melainkan juga tenaga kependidikan. Raf’ie juga membagikan pengalamannya saat menjalani studi pascasarjana di beberapa kampus top dunia di Australia dan Amerika Serikat di mana cukup banyak tenaga kependidikan profesional yang bergelar doktor yang menjadi salah satu kunci kesuksesan mereka.
 
Perguruan Tinggi juga perlu memberikan perhatian khusus pada pemanfaatan teknologi informasi sebagai sarana prasarana pendukung pendidikan di semua bidang ilmu, terlebih lagi dunia saat ini semakin mengarah pada pendidikan dan penelitian yang lintas disiplin (interdisipliner). Untuk itu, tentu saja sangat diperlukan adanya payung kebijakan-kebijakan yang bukan hanya visioner, namun juga inklusif dan mengayomi semua pihak mengingat pendidikan adalah salah satu hak asasi manusia.
 
Raf’ie mengingatkan bahwa sejak tahun 2000-an, banyak perguruan tinggi (PT) di Indonesia yang telah menargetkan diri menjadi world class university (WCU), namun parameter dan indikator tidak terlalu jelas dan bisa berbeda-beda antara yang satu dan yang lain. Tidak sedikit yang kemudian terperangkap pada jebakan pemeringkatan PT yang seharusnya merupakan cerminan kinerja dan capaian PT dan bukan sesuatu yang layak dijadikan tujuan.
 
Terlebih lagi berbagai jenis pemeringkatan memiliki substansi yang berbeda, mulai dari yang benar-benar mengukur kualitas akademik hingga yang sekedar mengukur visibilitas website PT. Alih-alih mengejar ranking tinggi di berbagai pemeringkatan, khususnya pemeringkatan yang tidak signifikan menggambarkan kualitas PT, dan lebih-lebih lagi apabila dilakukan dengan teknik-teknik yang dipertanyakan secara moral dan etika, seharusnya PT lebih fokus pada inovasi yang dapat meningkatkan kualitas kinerja dan capaiannya sehingga WCU bukan hanya menjadi slogan di angan-angan belaka,” katanya. (lip)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *