Oleh: Prof Dr Drs Yusdani M.Ag, Guru Besar bidang Hukum Perdata Islam FIAI UII
beritabernas.com – Reformasi Indonesia berpuncak pada reformasi konstitusi. Hasil reformasi konstitusi ini harus dievaluasi menyeluruh, baik terkait dengan substansi aturan yang dituangkan UUD NRI tahun 1945 dan pelbagai undang-undang turunannya maupun dalam implementasinya dalam praktik penyelenggaraan sejak tahun 1999-2002 dan sampai sekarang.
Lebih-lebih bangsa Indonesia hidup di tengah tantangan dan potensi perubahan dahsyat (big-bank change) tata ekonomi, politik, sosial, dan budaya global sehingga diperlukan rancangan perubahan kelima UUD NRI 1945.
Beberapa isu strategis yang memerlukan perubahan kelima UUD NRI tahun 1945 antara lain penataan kembali lembaga negara MPR, DPR, dan DPD, evaluasi sistem pemilihan presiden/wakil presiden dan pemilihan kepala daerah serta penguatan sistem kepemimpinan yang sejati tanpa negosiasi politik pragmatis yang mengganggu integritas demokrasi Pancasila, penataan kembali Komisi Yudisial dan pembentukan Mahkamah Etika Nasional, pembenahan sistem kekuasaan kehakiman dan penguatan sistem pengawasan melekat serta penegakan hukum terpadu, dan penguatan ideologi ekonomi Pancasila dan penguasaan wilayah udara NKRI.
Untuk menuju perubahan kelima UUD NRI 1945 ini, perubahan UUD, termasuk dalam sejarah negara konstitusional Indonesia, adalah hal yang lumrah, bahkan terjadi dimana-dimana di dunia. Oleh karena itu, perlu ditegaskan bahwa sebaiknya para pemikir dan pejuang kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dewasa ini, jangan lagi berpikir mundur ke belakang, untuk kembali ke UUD 1945 sebagaimana disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 tetapi terus maju untuk melakukan perbaikan-perbaikan ke depan, melalui perubahan UUD 1945 secara resmi sebagaimana diatur mekanismenya oleh Undang-Undang Dasar sendiri yaitu pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Bab XVI tentang Perubahan Undang-Undang Dasar.
Konstitusi sebagai hukum dasar merupakan kesepakatan bersama warga negara tentang norma-norma dan aturan pokok dalam kehidupan bernegara. Kesepakatan ini mencakup tujuan bersama, prinsip rule of law sebagai landasan penyelenggaraan negara, serta bentuk dan prosedur ketatanegaraan.
Baca juga:
- Prof Eko Siswoyo: Teknik Adsorpsi Mampu Menurunkan Logam Berat Dalam Hingga Lebih dari 90 Persen
- FIAI Tambah Guru Besar, Rektor UII Ingatkan Kembali Gagasan Prof Zaini Dahlan
Sebagai kesepakatan umum, konstitusi berupaya menjadi titik temu dan rekonsiliasi dari berbagai nilai dan kepentingan warga. Meskipun mengikat secara individual, warga negara bukanlah individu abstrak yang terlepas dari akar sosialnya, sehingga konstitusi mencerminkan nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat. Walau pernah terjadi perbedaan dan perdebatan sengit, para pendiri bangsa berhasil menemukan titik temu dalam nilai-nilai substantif. Namun, pengalaman masa lalu yang traumatis dan warisan politik kolonial menyebabkan beberapa kelompok merasa terasing dari UUD 1945, bahkan menganggapnya sebagai produk sekuler yang terpisah dari nilai keagamaan.
Untuk menciptakan ruang yang adil bagi kemajemukan kepentingan, semua warga negara harus setia pada konsensus dasar yakni konstitusi. Demokrasi sejati harus berjalan sesuai konstitusi, sehingga disebut demokrasi konstitusional. Bagi masyarakat Muslim, hal ini menuntut usaha mengakhiri mentalitas “luar pagar” dengan menemukan kesesuaian antara nilai-nilai Islam dan nilai dasar konstitusi.
Dalam upaya tersebut, klaim universal Islam harus didialogkan dengan realitas keindonesiaan. Kaum Muslim diharapkan dapat hidup berdampingan dalam semangat kebangsaan tanpa melihat kesenjangan antara keislaman dan keindonesiaan. Islam pun diharapkan berperan aktif memberikan kontribusi kultural yang konstruktif dalam mewujudkan nilai-nilai keindonesiaan dalam bingkai Pancasila dan UUD 1945.
Dalam semangat pencarian titik temu tersebut, langkah penting yang sudah disusun syarah atau penjelasan atas UUD 1945 dari perspektif nilai dan ajaran Islam. Melalui syarah tersebut, dapat ditegaskan bahwa nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam konstitusi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip keislaman, bahkan pada banyak sisi selaras dengan substansi ajaran Islam tentang keadilan, kemanusiaan, dan kemaslahatan.
Karena itu, tantangan utama umat Islam di Indonesia bukan lagi memperjuangkan formalisasi negara Islam dalam bentuk simbolik atau struktural. Tantangan yang lebih mendesak ialah bagaimana menghidupkan nilai-nilai konstitusi dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara secara adil, jujur, dan konsisten.
Implementasi konstitusi yang berkeadilan itulah yang sejatinya menjadi wujud nyata dari komitmen moral dan etis yang sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan demikian, perjuangan tidak diarahkan pada perubahan bentuk negara, melainkan pada penguatan etika, integritas, dan kejujuran dalam penyelenggaraan negara.
Dalam hubungannya dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi suatu negara (supreme law of the land) yang merupakan pondasi dasar dalam sistem ketatanegaraan suatu negara. UUD 1945 dan Pancasila sebagai hukum nasional harus menjamin keutuhan ideologi dan integrasi wilayah negara, serta membangun toleransi beragama yang berkeadilan dan berkeadaban. Sehingga dalam penataan hubungan antara agama dan negara harus dibangun atas dasar simbiosis mutualisme yang satu dan yang lain saling melengkapi.
Namun, tampaknya banyak pihak yang kemudian lupa bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sejatinya dilahirkan dari semangat kebhinnekaan. Dan bahkan masih ada sebagian masyarakat yang merasa teralienasi dari UUD 1945, lantas mengembangkan mentalitas “luar pagar” yang memandang konstitusi tersebut semata-mata sebagai produk ‘sekuler’ yang tercerabut dari nilai-nilai keagamaan. Pada saat ini tengah bermunculan wacana dan gerakan untuk memperjuangkan kembali formalisasi hukum Islam, misalnya dengan memberlakukan Piagam Jakarta.
Hal ini terjadi saat reformasi 1998 sampai Agustus 2002, gerakan politik resmi di DPR/MPR menghendaki agar Indonesia menjadi negara Islam dengan menjadikan piagam Jakarta sebagai dasar negara. Ada juga kelompok haluan kiri yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara sekuler bahkan berideologi marxisme. Sementara itu ada juga kelompok ekstrim kanan yang ingin mengganti Pancasila dengan asas Islam. Pada tahun 2006, ada gerakan yang menginginkan syariat Islam. Oleh karena itu untuk menghadirkan suatu kancah permainan (playing field) yang fair bagi kemajemukan kepentingan, semua warga harus taat asas pada konsensus dasar, yakni konstitusi.
Konstitusi dalam konteks negara modern yang majemuk selalu memuat nilai-nilai luhur yang bersifat universal dan hal-hal dasar yang bisa disepakati bersama oleh segenap komponen warganya, meskipun masing-masing punya latar belakang agama, keyakinan maupun budaya berbeda-beda. Bagi masyarakat muslim, kesetiaan terhadap konstitusi tersebut memerlukan usaha untuk mengakhiri mentalitas “luar pagar”. Dengan cara menemukan kesesuaian antara nilai-nilai substantif keislaman dan nilai-nilai dasar konstitusi. Kaum muslim diharapkan mampu mewujudkan diri dalam sikap hidup kebangsaan yang tidak lagi melihat kesenjangan antara keislaman dan keindonesiaan.

Sebagai pendukung dan sumber utama nilai-nilai keindonesiaan, Islam diharapkan tampil dengan tawaran-tawaran kultural yang produktif dan konstruktif, khususnya dalam pengisian nilai-nilai keindonesiaan dalam kerangka Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai suatu upaya untuk memaparkan harmonisasi kesesuaian antara nilai dasar konstitusi (UUD 1945) dengan nilai- nilai keislaman, maka tulisan berjudul Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam Perspektif Islam merupakan suatu upaya kontributif dan transformasi Islam.
Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai dan aturan dasar konstitusi UUD 1945 tidaklah bertentangan, melainkan justru sejalan dengan substansi nilai keislaman. Keadilan sebagai tujuan bersama dalam bernegara. Mengelola negara dengan prinsip keadilan yang meliputi semua aspek, seperti keadilan hukum, keadilan ekonomi, dan sebagainya, yang diikuti dengan tujuan untuk kesejahteraan rakyat merupakan amanat setiap agama bagi para pemeluknya.
Dalam Islam diajarkan agar pemimpin negara memperhatikan kesejahteraan rakyatnya, dan apabila menghukum mereka hendaklah dengan hukuman yang adil. Dalam kaidah Islam dinyatakan tasarruf al-imam ala ar-ra’iyyah manutun bil maslahah atau at-tasarruf ala ar-ra’iyyah manutun bil maslahah, artinya kepemimpinan itu mengikuti kemaslahatan (kesejahteraan) rakyatnya. Artinya pemegang amanah kepemimpinan suatu negara wajib mengutamakan kesejahteraan rakyat. Untuk mewujudkan budaya sadar dan taat konstitusi di kalangan umat muslim Indonesia.
Dengan demikian, teks konstitusi diposisikan untuk semakin meneguhkan semangat kebangsaan. Sementara itu, teks suci agama yang terkait dengan konstitusi untuk memperkuat komitmen umat Islam Indonesia selaku warga negara untuk taat kepada konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Titik temu ayat konstitusi dan ayat agama dalam konteks ini sebenarnya bertitik tolak pada ajaran bersama bahwa bernegara itu sama pentingnya dengan beragama. (Ringkasan pidato pengukuhan Guru Besar di hadapan Sidang Terbuka Senat UII di Auditorium AbdulKahar Muzakkir Kampus Terpadu UII, Selasa 16 Desember 2025).
There is no ads to display, Please add some