Kardinal Ayuso Mengaku Bangga dengan Falsafah Bangsa dan Dasar Negara Pancasila

beritabernas.com – Kardinal Miguel Angel Ayuso Guixot MCCJ, Presiden Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama Takhta Suci di Vatikan mengaku bangga dengan falsafah bangsa dan dasar negara Indonesia, Pancasila, yang selama ini menjadi pedoman tegas bangsa Indonesia.

Sebab dengan falsafah bangsa dan dasar negara Pancasila membuat negara besar Indonesia ini bersatu, yang dikaruniai begitu banyak keragaman budaya, suku dan agama.

“Dengan rasa hormat dan pengertian, menjaga hak-hak dan martabat kemanusiaan mereka yang tidak dapat diganggu gugat. Saya selalu bangga dengan Falsafah Bangsa dan Dasar Negara Anda, Pancasila, yang selama ini menjadi pedoman tegas Anda dan yang membuat negara besar ini bersatu, yang dikaruniai begitu banyak keragaman budaya, suku dan agama. Saya mengagumi beliau yang Anda cintai, Sunan Kalijaga, yang namanya digunakan untuk menamai Universitas ini. Dia adalah seorang pemimpin dan pengkhotbah Muslim yang nasionalis dan moderat, menyebarkan Islam dengan sukses sambil merangkul budaya dan seni Indonesia,” kata Kardinal Ayuso dalam orasi ilmiah saat menerima penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan atau Doctor Honoris Causa (DR HC) dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Senin 13 Pebruari 2023.

Kardinal Miguel Angel Ayuo Guixot (kedua dari kiri). Foto: Dok PWKI

Kardinal Ayuso juga menilai konsep Wasatiyyah yang biasanya diterjemahkan sebagai “jalan tengah” atau “moderasi” menjadi elemen penting dalam wacana Islam di seluruh dunia pada beberapa tahun terakhir saat menghadapi kebangkitan fundamentalisme dan ekstremisme agama. 

Menurut Kardinal Ayuso-sapaan Kardinal Miguel Angel Ayuso Guixot MCCJ-konsep ini dimobilisasi oleh banyak Muslim yang mempertahankan karakter moderat dari cara tertentu dalam menafsirkan Islam ketika membahas isu-isu sosial kontemporer yang penting, berusaha untuk mengedepankan kebaikan publik dan keadilan sosial.

Berbicara dalam bahasa Inggris yang kemudian dialihbahaskan oleh Staf Khusus Dikasteri untuk Dialog Lintas Agama, Pater Markus Solo Kewuta SVD untuk wartawan, Kardinal Ayuso mengatakan, dengan konsep “wasatiyyah” para pemeluk agama diajak untuk menerima dan meneguhkan perbedaan agama sebagaimana adanya, sekaligus membuka diri untuk menghadapi umat beragama lain.

Menurut Kardinal Ayuso, masyarakat sipil yang multi-agama menuntut lebih dari sekadar toleransi terhadap perbedaan agama. Sebagai saudara dan saudari dari sejarah yang sama dan bangsa yang sama, orang tidak cukup hanya saling bertoleransi tetapi harus saling mengasihi, karena kita semua pada saat yang sama adalah warga negara yang sama tetapi penganut tradisi agama yang berbeda. 

“Untuk membentuk negara multi-agama yang berfungsi dan bertahan lama, kita tidak hanya harus menerima perbedaan agama kita, tapi kita harus menegaskan mengakui (to affirm) mereka. Kita tidak hanya sebatas menerima kenyataan bahwa tetangga sebelah kita memiliki tradisi agama yang berbeda; tetapi kita harus senang mereka menjalankan imannya,” ucap Kardinal Ayuso. 

Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan atau Doctor Honoris Causa (DR HC) UIN Sunan Kalijaga kepada KH Yahya Cholil Staquf, Sudibyo Markus, dan Kardinal Miguel Angel Ayuo Guixot di UIN Sunan Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Senin (13/2/2023). Foto: Dok PWKI

Dalam hal ini, menurut Kardinal Ayuso, setiap orang harus mengetahui identitas keagamaan mereka tidak hanya sebagai fakta kehidupan tetapi juga sebagai kebaikan bagi kehidupan masyarakat. 

“Masing-masing adalah 100% warga negara dan 100% beriman, sebagaimana diungkapkan oleh Uskup Agung Katolik pertama dan terkenal, Yang Mulia Albert Sugiyapranata, dari daerah ini, yang berbicara beberapa tahun setelah kemerdekaan tentang identitas umat Katolik di negara ini, mengundang mereka untuk melibatkan diri sepenuhnya untuk membangun negara setelah lama dijajah,” katanya.

Menurut Kardinal Ayuso, jika seseorang menjadi sesama warga negara dengan mereka yang tidak seagama, maka dia harus dengan jujur mengakui bahwa agama mereka sama pentingnya bagi mereka seperti agama orang tersebut bagi dirinya.

“Oleh karena itu, kita harus bertindak sedemikian rupa sehingga Tuhan yang menciptakan kita bukanlah penyebab perpecahan, tetapi dasar persatuan kita,” tuturnya.

Baca berita terkait:

Dalam kesempatan itu, Kardinal Miguel Angel Ayuso Guixot MCJJ mengakui mendapat kehormatan dapat menyaksikan penandatanganan “Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama” oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar Dr Ahmad Al-Tayyib di Abu Dhabi. 

Dapat dikatakan, tanpa retorika apa pun, penandatanganan dokumen Human Fraternity tersebut merupakan tonggak sejarah dalam jalur dialog antaragama. Tonggak adalah titik di sepanjang jalan, bukan awal maupun akhir. 

“Kita harus bekerja sama dalam berbagai cara untuk memajukan persaudaraan manusia dan hidup secara konkret dalam kehidupan kita sehari-hari. Saya sangat berterima kasih atas apresiasi Anda (UIN Sunan Kalijaga) terhadap dokumen ini, yang sudah memotivasi Anda untuk mengadakan acara yang berarti ini. Peristiwa bersejarah hari ini merupakan kontribusi yang berani untuk memajukan dan memperkuat persaudaraan manusia, guna membangun dunia yang damai dalam kocksistensi bersama,” kata Kardinal Ayuso.

Kolaborasi antaragama, menurut Kardinal Ayuso, dapat dan harus mendukung hak setiap manusia, di setiap belahan dunia dan setiap saat. “Kita semua adalah anggota dari satu keluarga manusia dan dengan demikian, kita memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga dunia ini. Janganlah kita lupa bahwa di dasar setiap kolaborasi atau dialog, ada akar kemanusiaan kita yang sama. Ini berarti bahwa kita tidak memulai dialog dari nol: selalu ada kemanusiaan kita bersama, dengan segala aspek eksistensial dan praktisnya, yang menyediakan tempat perjumpaan yang dibutuhkan,” ucapnya.

Paus Fransiskus, sebut Kardinal Ayuso, menekankan dalam pesannya baru-baru ini untuk Hari Perdamaian Dunia ke-56 pada 1 Januari 2023 lalu, katanya: “Tentu saja, setelah mengalami langsung kerapuhan hidup kita sendiri dan dunia di sekitar kita, kita dapat mengatakan bahwa pelajaran terbesar yang kita petik dari Covid-19 adalah kesadaran bahwa kita semua saling membutuhkan. Bahwa harta kita yang terbesar namun juga sekaligus yang paling rapuh adalah kemanusiaan kita bersalah sebagai saudara dan saudari…. Dan bahwa tidak seorang pun dari kita dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Oleh karena itu, kita sangat perlu bergabung bersama dalam mencari dan memajukan nilai-nilai universal yang dapat membimbing pertumbuhan persaudaraan manusia ini”.  

Dijelaskan Ayuso, sikap persaudaraan manusia mengadopsi budaya dialog sebagai cara berkolaborasi. merupakan metode saling mengenal, dan sebagai cara menetapkan kriteria bersama. Faktanya, budaya dialog merupakan hal mendasar untuk hidup berdampingan secara damai dan harmonis, budaya yang didasarkan pada saling menghormati, saling memahami, dan saling mengakui. 

Staf Presiden Dikasteri Dialog Antaragama Vatikan Pater Markus Solo Kewuta SVD memberikan Orasi Ilmiah Kardinal Miguel Angel Ayuso Guixot MCCJ kepada AM Putut Prabantoro, penasihat PWKI (Paguyuban Wartawan Katolik Indonesia) untuk disosialisasikan, disaksikan Sr M Christera OSF. Foto: Dok PWKI

“Dalam konteks ini, saya ingat kata-kata Bapa Suci Paus Fransiskus ketika berbicara di Kairo tentang tiga orientasi mendasar untuk mengejar dialog dan pengetahuan di antara orang-orang yang berbeda agama: ‘kewajiban untuk menghormati identitas diri sendiri dan identitas orang lain, keberanian untuk menerima perbedaan, dan keikhlasan niat’,” paparnya. 

Kardinal Ayuso pun mengingatkan penjelasan Paus Fransiskus di Peringatan Pendiri di Abu Dhabi: “Bersamaan dengan pepatah kuno yang terkenal kenali dirimu, kita harus menjunjung tinggi kenali saudara laki-laki atau perempuanmu’: sejarah mereka, budaya mereka, dan iman mereka, karena tidak ada pengenalan diri sejati tanpa orang lain. Sebagai manusia, dan terlebih lagi sebagai saudara dan saudari, marilah kita saling mengingatkan bahwa tidak ada manusia yang asing bagi kita.”

Paus Fransiskus, lanjut Kardinal Ayuso, melanjutkan dengan mengatakan: “Tidak ada alternatif. entah kita akan membangun masa depan bersama atau tidak akan ada masa depan. Agama khususnya tidak dapat meninggalkan tugas mendesak untuk membangun jembatan antara masyarakat dan budaya. Waktunya telah tiba bahwa agama harus lebih aktif mengerahkan diri, dengan keberanian dan kenekatan, dan tanpa kepura- puraan, untuk membantu keluarga manusia memperdalam kapasitas untuk rekonsiliasi, visi harapan, dan jalan perdamaian yang konkret.”  

Kardinal Ayuso mengatakan rasa bahagianya menjadi saudara bagi semua yang hadir di UIN Sunan Kalijaga hari ini. 

“Sambil menerima anugerah Doktor Honoris Causa ini, saya mengungkapkan perasaan persatuan dalam keragaman dengan Anda semua, dengan keinginan saya yang paling dalam bahwa kita akan terus berjuang dalam membangun bersama dunia yang lebih baik agar perdamaian dapat terwujud dan selalu menjadi landasan masyarakat kita,” tutup Kardinal Ayuso. (lip)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *