Kebijakan Inkremental Tata Ruang Publik

Oleh: Ben Senang Galus, Dosen, Penulis Buku, tinggal di Yogyakarta

beritabernas.com – Paradoks kehidupan semakin tidak asing bagi kita. Di satu sisi kita melihat orang-orang terentu memamerkan kewewahan dan kemakmuran. Makanan dan minumannya dari produk kapitalis.

Sementara di tempat lainnya, di perempatan jalan, di panti jompo, di pusat rehabilitasi sosial, di desa, di kolong jembatan kita menyaksikan saudara-saudara kita menderita kekurangan makanan. Menjual kecacatan untuk meminta belaskasihan orang yang lewat. Mereka mengalami itu bisa disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, ataupun bencana alam (gempa bumi).

Sangat banyak mereka yang kaya dan berkuasa tidak peduli dengan nasib kaum penyandang cacat (PC). Tidak hanya mereka yang dianggap abangan dalam beragama, mereka yang taat sekalipun, setelah mereka populer dan kaya, cenderung menikmati kesenangannya sendiri atau paling jauh keluarganya.

Begitulah kiranya nasib kaum penyandang cacat. Mereka sering diperlalukan tidak wajar, diskriminatif, mereka sering terhempas dari realitas kehidupan sosial, bahkan ada anggota masyarakat menyebut mereka sebagai sampah   dan tidak perlu diperhatikan.

Bias berpikir

Meminjam catatan Aden Achmad (2005), istilah penyandang cacat sebenarnya hanya merupakan sebutan yang dihasilkan oleh proses bias berpikir manusia itu sendiri dan kultur lingkungan yang tidak bersahabat. Hal inilah yang sesungguhnya merupakan sumber terjadinya proses diskriminasi terhadap kelompok masyarakat yang mendapat sebutan penyandang cacat.

Telah terjadi proses pencacatan terhadap sekelompok manusia oleh struktur sosial politik dan kultur yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Proses diskriminasi tersebut terjadi di segala aspek kehidupan dan penghidupan, misalnya di bidang peribadatan, pendidikan, pekerjaan, peran politik, perlindungan hukum, informasi dan komunikasi, aksesibilitas menggunakan fasilitas umum, layanan sosial dan kesehatan serta pengembangan budaya. Hal tersebut mengakibatkan munculnya berbagai kesulitan bagi kelompok yang disebut penyandang cacat untuk mengakses fasilitas publik dalam kehidupan sehari-hari.

BACA JUGA:

Padahal hidup para penyandang cacat (diffable) membutuhkan ruang publik yang memadai untuk mempermudah hajat hidupnya sehari-hari. Dengan penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat, tidak menjadi objek sosial tapi menjadi subjek dalam pembangunan. Itulah kiranya yang bisa disebut cacat, yaitu kurang bisa mengimbangi tantangan hidup, di mana kebebasan hidup terhalang oleh kultur budaya, politik dan lingkungan yang tidak akses.

Jika kita mengamati sarana dan prasarana (infrastruktur) di kota ini hampir 99% belum bisa diakses oleh penyandang cacat. Para pemakai kursi roda masih kesulitan dalam mobilitasnya terhadap ruang publik.

Trotoar yang tidak bisa dilewati, gedung-gedung sarana publik yang banyak tangga, dan sebagainya. Padahal kalau mau menerapkan dan merealisasikan suatu kebijakan publik, tidak perlu ada alasan bertele-tele. Hal itu hanya sebuah tindakan diskriminasi, yang menghalangi hak hidup orang lain. Penyandang cacat juga manusia yang punya martabat, punya hak yang sama, dan derajat yang sama dengan manusia normal

Coba kita perhatikan ke negara-negara lain yang sudah maju dalam membangun negaranya, menyediakan aksesibilitas di lingkungannya bagi penyandang cacat. Mereka sudah sadar bahwa hidup tidak selamanya mulus, muda, sehat, dan sempurna, jadi tak lepas dari sarana dan prasarana yang memudahkan kehidupan mereka.

Semua warga negara memiliki  kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan yang sama. Hak menggunakan fasilitas umum. Hak mendapatkan pekerjaan yang sama. Hak mendapatkan pendidikan yang sama. Hak mendapatkan pelayanan yang sama. Hak berperan aktif dalam politik yang sama dan lain sebagainya.

Di negara-negara yang sudah memiliki sifat-sifat kemanusiaannya (human sense) tidak ada lagi perbedaan kesempatan antara orang yang disebut penyandang cacat dengan orang yang tidak cacat. Kesamaan kesempatan itu ditunjang dengan tersedianya hak-hak dalam menggunakan fasilitas publik. Dari mulai pedestrian, trotoar, sarana rekreasi, sarana peribadatan, bangunan kantor pelayanan umum, dan kendaraan sudah akses untuk kaum penyandang cacat.

Kenapa tata kota dan sarana publik dibuat sedemikian rupa? Jawabnya sungguh sangat bijak, “Pemerintah dan rakyatnya berpandangan bahwa kami pun suatu ketika akan mengalami cacat, oleh karena itu dibangun konsep tata kota dan bangunan seperti ini.” Itulah jawaban yang keluar dari pikiran orang-orang yang memiliki human sense, yang berorientasi masa depan (Aden Achmad, 2005).      

Solidaritas, kesadaran, wawasan dan daya pikir orang-orang di negeri sana sudah sangat tinggi. Mereka yakin bahwa hidup ini tidak selamanya mulus. Jadi seolah-olah mereka telah mempersiapkan diri dengan sarana dan prasarana yang diciptakan bila mereka mengalami kecacatan yang bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, baik diakibatkan oleh penyakit maupun kecelakaan. Ini berarti memberikan kesamaan kesempatan (equal opportunity) bagi para penyandang cacat (diffable) untuk bisa berpartisipasi penuh dalam aktivitas sosial, politik, dan kebudayaan. 

Dalam sebuah seminar BUIP (Bali Urban Infrastructure Project) pada bulan September (Kompas, 15 September 2024), bertema Accessibility for All. Salah seorang pembicara dalam seminar tersebut,  Mr George Soraya dari World Bank, mengatakan In Indonesia, accessibility for all can be created if the rulers have a conscience, awareness, and concern (di Indonesia bisa tercipta aksesiblitas untuk semua, bilamana para penguasanya punya hati nurani, kesadaran dan kepedulian).

Inilah yang menjadi persoalan di negeri kita pembangunan tata kota/ruang publik tidak ditunjang oleh tersedianya infrastruktur yang memadai bagi aksesibilitas penyandang cacat. Akibatnya para penyandang cacat tidak menikmati fasilitas publik yang semestinya. Mereka juga mempunyai hak yang sama untuk menikmati ruang publik tersebut.

Banyak fasilitas publik tidak bisa dinikmati oleh para penyandang cacat, seperti trotoar, mall, kantor pemerintah maupun alat transportase. Hal tersebut mengakibatkan munculnya berbagai kesulitan bagi penyandang cacat dalam kehidupan sehari-hari.

Kebijakan inkremantal

Maka dalam tataran ini perlu adanya konsep ideal terpadu (integrated  ideally concept) untuk memacu perubahan tata ruang, dimana secara ekologis berkelanjutan, sosial berkeadilan, ekonomi produktif, dan budaya bergairah.

Pada konteks ini, yang harus dipahami adalah konstelasi masalah tata ruang merupakan pertautan erat antara berbagai soal, hukum, psikologi, sejarah, sosiologi dan lain-lainnya. Untuk merealisir hal tersebut, mutlak dibutuhkan kedalaman-keluasan-kepekaan wawasan badan publik, karena ia punya misi menggabungkan sekaligus mengatasi parokialisme tiap pendekatan.

Desentralisasi tata ruang seiring penetapan undang-undang yang mengatur soal  pemerintah daerah, maka telah terjadi perubahan sistem pemerintahan  dan pembangunan yang berdampak pada tatanan dan sistem penataan ruang. Penataan ruang sebagai suatu kesatuan proses dan sistem perencanaan tata ruang, pemanfaatan dan pengendalian ruang dalam praktiknya tergantung dengan kewenangan pemerintah dan  sistem pembangunan.

Untuk itu, tata ruang mesti dipikirkan sebagai titik masuk pembangunan daerah yang beradab. Menurut Anurrafiq Kahfray (Transformasi Tata Ruang, 2005),  Sudah saatnya pengelolaan ruang  tidak sekadar sebagai economic and  business battleground atau sebagai ajang  bagi everyday war, melainkan sebagai wadah dan wahana peradaban dan kebudayaan manusia.

Ke depan, perencanaan tata ruang (ruang publik) dan pengelolaan lingkungan perlu dilihat sebagai management of conflict, tidak sekadar management of growth atau management of changes. Tujuan jangka panjang yang ideal perlu disenyawakan dengan pemecahan masalah jangka pendek tidak bersifat inkremental, kebijakan yang hanya mengalami perubahan sedikit-sedikit alias tidak totalitas atau menyeluruh.

Kebijakan inkremental terhadap PC sangat membahayakan aksesiblitas PC terhadap tata ruang kota atau ruang publik. Kebijakan ini lebih pada kepentingan sendiri dari pada kepentingan orang banyak. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama menikmati ruang publik. Maka setiap kebijakan hendaknya harus dihindari diskriminasi ruang.

Kebijakan Inkremental merujuk kepada teori pembuatan kebijakan publik, yang menyatakan bahwa kebijakan merupakan hasil dari proses interaksi dan adaptasi timbal balik di antara banyak aktor yang memperjuangkan nilai-nilai berbeda, mewakili kepentingan berbeda, dan memiliki informasi berbeda.

Mekanisme development control yang ketat juga perlu ditegakkan. Lengkap dengan sanksi bagi pelanggar dan penghargaan bagi mereka yang taat  aturan. Hal lainnya penataan ruang perlu dilakukan secara total, menyeluruh dan terpadu, dn memudahkan aksesibiltas bagi penyandang cacat. Model-model participatory planning dan over the board planning atau perencanaan lintas sektoral selayakanya dilakukan secara konsekuen dan berkesinambungan.

Demikian halnya dengan kepekaan sosio kultural para penentu kebijakan dan para perencana seyogiyanya lebih ditingkatkan. Sedangkan, kekayaan khasanah lingkungan alam mestinya jadi perhatian dalam setiap perencanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup  dan sarananya yang benar-benar mendekati kemuliaan umat, yaitu bisa dinikmati oleh semua orang termasuk di antaranya yang disebut sebagai penyandang cacat (diffable).

Namun beberapa masalah dalam penyelenggaraan penataan ruang, seperti semakin tingginya konversi penggunaan lahan; meningkatnya permasalahan bencana banjir dan longsor; urban sprawl; semakin meningkatnya kemacetan lalu lintas dan perumahan kumuh, serta semakin berkurangnya ruang publik di perkotaan; kurang memadainya kapasitas kawasan metropolitan terhadap tekanan jumlah penduduk; dan kurang seimbangnya pembangunan kawasan perkotaaan, merupakan fakta empirik dan yuridis tentang penataan ruang yang belum mampu mewujudkan kehidupan masyarakat yang nyaman, aman, produktif dan berkelanjutan.

Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa saat ini terdapat kebutuhan yang mendesak akan pengaturan penyelenggaraan penataan ruang yang meliputi hakikat ruang, konsep dasar penyelenggaraan penataan ruang dan pengelompokan penataan ruang yang meliputi; integrasi pengaturan ruang  parkir, trotoar, pengaturan pengelolaan pengembangan wilayah, pengaturan pengelolaan kawasan perkotaan; alternatif arah pengembangan kelembagaan; konsep peran masyarakat dalam penataan ruang; penegakan hukum di bidang penataan ruang melalui pengaturan sanksi penerapan zoning regulation, dan standar pelayanan minimal; maupun pertimbangan eco-region dalam penataan ruang.

Karena penataan ruang tersebut sangat terkait dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kualitas lingkungan hidup, yang pada akhirnya akan mendukung upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkeadilan dan sejahtera, sebagaimana tujuan besar dari pembangunan nasional. Oleh karena itu setiap kebijakan yang dibuat harus secara holitik, tidak secara inkremental. (Ben Senang Galus, Dosen, Penulis Buku, tinggal di Yogyakarta)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *