Oleh: Sesa Malinda, Mahasiswi Universitas Cendekia Mitra Indonesia
beritabernas.com – Dalam lanskap sosial yang masih diselimuti kabut patriarki dan ketimpangan struktural, anak yang lahir dari perkawinan paksa dan pemerkosaan kerap menjadi korban dari sistem yang tidak pernah mereka pilih, apalagi ciptakan.
Mereka lahir bukan dari cinta, bukan dari kehendak bebas, melainkan dari keterpaksaan, paksaan dan kadang juga perbudakan seksual yang dilembagakan atas nama adat, agama atau bahkan negara. Dalam konteks ini, kekerasan tidak berhenti di tubuh perempuan, tetapi berlanjut secara sistemik dalam kehidupan anak-anak yang lahir dari rahim yang dipaksa untuk menerima, memaafkan dan melanjutkan hidup seolah-olah tidak ada yang salah.
Nasib anak-anak ini jarang dibicarakan secara serius. Mereka menjadi “hasil samping” dari tragedi, sekaligus simbol ketidakadilan yang diwariskan. Lahir dalam situasi traumatik membuat mereka berada dalam posisi rawan terhadap kekerasan berlapis: sosial, psikologis, bahkan kebijakan.
Di sini saya menolak menerima kenyataan itu sebagai sesuatu yang “normal.” Posisi saya jelas: saya menolak kekerasan yang dilembagakan melalui praktik perkawinan paksa dan pemerkosaan, terlebih ketika anak yang lahir dari praktik tersebut harus menanggung dosa yang tidak mereka lakukan.
Untuk memahami nasib anak dalam konteks ini, kita perlu mengacu pada pemikiran Johan Galtung (1969) tentang kekerasan struktural. Galtung menyatakan bahwa kekerasan bukan hanya berupa tindakan fisik, tetapi juga tertanam dalam struktur sosial yang mencegah manusia memenuhi potensi hidupnya. Perkawinan paksa dan pemerkosaan adalah dua bentuk kekerasan langsung, namun anak yang lahir dari situasi ini hidup di bawah bayang-bayang kekerasan struktural yang lebih subtil dan sistemik.
BACA JUGA:
- Ketika Rumah Menjadi Neraka bagi Perempuan dan Anak
- Ketika Korban Dibungkam, Pelaku Dilindungi
- Pemicu Pernikahan Dini di Kabupaten Ketapang dan Dampak Sosialnya
Selain itu, pemikiran Michel Foucault (1976) tentang biopolitik menunjukkan bagaimana negara dan institusi sosial mengatur kehidupan dan tubuh melalui regulasi reproduksi. Dalam kerangka ini, perkawinan paksa dan pemerkosaan bukan hanya kekerasan seksual, tetapi juga bentuk kontrol kekuasaan terhadap tubuh perempuan dan masa depan anak yang lahir darinya.
Dengan demikian, anak-anak hasil dari kondisi ini tidak hanya mewarisi trauma biologis, tetapi juga mewarisi posisi sosial yang rentan, termarjinalkan sejak kelahiran, dan secara sistemik diabaikan oleh hukum, budaya, dan kebijakan.
Anak sebagai korban kekerasan yang terinstitusikan
Kita harus mengakui bahwa anak hasil perkawinan paksa dan pemerkosaan adalah korban dari sistem kekerasan yang dilembagakan. Mereka bukan hanya “lahir dari kekerasan,” tetapi juga “hidup dalam kekerasan.” Keluarga yang dibentuk atas dasar pemaksaan tidak menjamin kehadiran lingkungan yang suportif dan penuh kasih. Sebaliknya, mereka berpotensi besar hidup dalam ketegangan relasional, penolakan emosional, bahkan stigma sosial yang tidak mereka pilih.
Penelitian UNICEF (2021) menunjukkan bahwa anak-anak yang lahir dari relasi seksual yang dipaksakan memiliki kemungkinan lebih besar mengalami kekerasan dalam rumah tangga, gangguan emosional, dan kesulitan perkembangan sosial. Dalam banyak kasus, ibu yang dipaksa menikah dengan pemerkosanya mengalami depresi kronis yang berpengaruh langsung pada kualitas pengasuhan terhadap anak.
Seringkali dinyatakan bahwa “anak tidak berdosa” dan karenanya harus diterima dengan lapang dada oleh masyarakat. Namun, ini adalah argumen moral yang melupakan struktur sosial yang masih diskriminatif. Negara dan masyarakat belum menyediakan ekosistem aman dan suportif bagi anak-anak ini. Alih-alih diterima, mereka kerap distigmatisasi sebagai “anak haram,” “anak kecelakaan,” atau “anak beban.”
Dengan kata lain, mereka secara tidak langsung dihukum oleh masyarakat atas dosa yang tidak pernah mereka lakukan.
Negara terbukti gagal melindungi anak-anak ini. Dalam banyak sistem hukum, keabsahan pernikahan lebih diutamakan daripada keadilan bagi korban kekerasan seksual. UU Perkawinan di beberapa negara, termasuk Indonesia sebelum revisi 2019, membolehkan perkawinan anak atas dasar dispensasi, membuka jalan bagi legalisasi kekerasan.
Menurut Komnas Perempuan (2020), dalam banyak kasus, pelaku pemerkosaan menikahi korbannya untuk “menutup aib,” dan anak yang lahir dari pernikahan ini menjadi “penyegel dosa.” Ini adalah bentuk kekerasan berlapis, dimana terdapat kekerasan seksual terhadap ibu, kekerasan simbolik terhadap anak, dan kekerasan struktural oleh negara yang gagal membela yang lemah.
Sebagian kalangan berargumen bahwa menikahkan pelaku dengan korban adalah solusi pragmatis demi masa depan anak. Namun, ini adalah bentuk pembiaran terhadap impunitas pelaku dan pengabaian terhadap hak anak untuk tumbuh dalam lingkungan bebas kekerasan. Penelitian dari UNFPA (2017) menegaskan bahwa anak-anak hasil perkawinan paksa lebih berisiko mengalami kekerasan, eksploitasi, dan gangguan psikologis daripada anak-anak dari pernikahan yang sehat.
Lahir dari kekerasan, terperangkap dalam trauma sosial
Anak yang lahir dari konteks pemaksaan cenderung tumbuh dalam kondisi sosial yang tidak adil dan rentan terhadap pengucilan. Mereka adalah produk dari narasi yang dianggap “memalukan” atau “tidak pantas.” Dalam banyak komunitas, anak-anak ini dicap, dipertanyakan asal-usulnya, dan tidak jarang dijadikan objek gunjingan atau diskriminasi, bahkan di lingkungan pendidikan.
Psikolog perkembangan seperti Urie Bronfenbrenner (1979) menyatakan bahwa konteks sosial memainkan peran besar dalam pembentukan kepribadian anak. Jika anak tumbuh dalam masyarakat yang menstigma, maka potensi mereka akan terkubur oleh rasa malu, rasa tidak pantas, dan rendah diri. Ini adalah bentuk kekerasan psikososial yang tidak terlihat namun sangat nyata.
Beberapa pihak berkilah bahwa dengan pengasuhan yang baik, anak-anak ini bisa hidup normal. Pernyataan ini mengabaikan bahwa pengasuhan yang baik tidak selalu mungkin bila sang ibu sendiri adalah korban pemerkosaan yang dipaksa menikah dan tidak mendapatkan dukungan emosional atau ekonomi. Kita tidak bisa menaruh beban pemulihan trauma hanya di pundak korban, sementara sistem tetap abai.
Anak-anak ini berisiko tinggi menjadi bagian dari rantai kekerasan intergenerasional. Penelitian oleh WHO (2016) menunjukkan bahwa anak yang tumbuh dalam lingkungan kekerasan cenderung menginternalisasi pola kekerasan itu dalam relasi sosial mereka di masa depan. Artinya, tanpa intervensi struktural dan kultural yang signifikan, kekerasan ini berpotensi diwariskan.
Kondisi ini diperparah ketika negara atau institusi keagamaan membungkam ruang kritik dengan dalih moralitas, budaya, atau agama. Akibatnya, siklus kekerasan tidak pernah diputus, melainkan didiamkan, dinormalkan, bahkan direproduksi dalam bentuk kebijakan. Anak-anak ini, yang seharusnya menjadi korban yang dilindungi, justru diseret ke dalam sistem yang menormalisasi luka mereka.
Dikatakan bahwa semua anak adalah berkah dari Tuhan, terlepas dari cara mereka dilahirkan. Ini bisa jadi benar secara teologis, namun kita tidak bisa menutup mata bahwa “berkah” tanpa keadilan adalah kekejaman yang disamarkan. Jika negara dan masyarakat tidak menjamin hak-hak anak ini secara konkret, maka berkah itu menjadi beban.
BACA JUGA TULISAN LAINNYA:
- Perempuan dan Kesehatan Mental: Mematahkan Stigma di DIY
- Suara bagi Semua Wanita dan Anak Perempuan
- Ibu, Pahlawan Kehidupan
Saya menulis ini tidak dimaksudkan untuk menolak kehidupan atau menyangkal hak anak-anak yang lahir dari konteks kekerasan. Justru sebaliknya. Posisi ini menegaskan bahwa jika kita mengakui keberadaan mereka, maka kita wajib memperjuangkan perlindungan dan keadilan yang setara. Ini berarti negara harus menghentikan praktik legalisasi kekerasan seperti perkawinan paksa. Ini berarti masyarakat harus membongkar stigma terhadap anak-anak yang tidak memilih untuk lahir dalam kekerasan.
Pertanyaannya bukan lagi: “Apakah mereka berhak hidup?” Itu pertanyaan keliru. Pertanyaan yang seharusnya kita ajukan adalah: “Bagaimana kita bisa menciptakan sistem yang memastikan mereka hidup dengan martabat, hak, dan perlindungan yang setara?”
Kekerasan yang dilembagakan tidak akan pernah selesai jika kita terus membiarkan anak-anak menanggung konsekuensi dari dosa orang dewasa. Saatnya kita hentikan warisan kekerasan itu. Bukan dengan menolak anak-anak ini, tetapi dengan memastikan bahwa mereka tidak lagi menjadi korban dari sistem yang membungkam, menormalisasi, dan melegalkan kekerasan sejak dalam kandungan.
Selamat Hari Anak Nasional. Di hari yang seharusnya penuh keceriaan ini, mari kita tidak melupakan mereka yang lahir dari luka yang dipaksakan: anak-anak hasil perkawinan paksa dan pemerkosaan. Mereka bukan kutukan, bukan aib, dan bukan kesalahan, mereka adalah jiwa-jiwa yang layak hidup dengan martabat, cinta, dan perlindungan penuh.
Hari Anak seharusnya menjadi pengingat bahwa setiap anak, tanpa kecuali, berhak atas keadilan, bukan penghakiman. Semoga negara dan masyarakat berhenti membiarkan kekerasan melekat sejak lahir, dan mulai membangun dunia yang benar-benar berpihak pada semua anak. (*)
There is no ads to display, Please add some