beritabernas.com – Pada Sabtu-Minggu, 11-12 November 2023, di Yogyakarta, 41 penulis katolik berhimpun. Mereka datang dari berbagai kota di Jawa seperti Jakarta, Purwokerto, Wonosobo, Solo, Salatiga, Bojonegoro dan Malang. Tentu saja, banyak yang dari Yogyakarta. Termasuk saya. Karena saya ada di dalamnya, selanjutnya saya gunakan kata ganti orang pertama jamak “kami”, bukan orang ketiga jamak “mereka”.
Kami terhimpun dalam Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias (KPKDG). Komunitas ini sudah berdiri sejak 10 Oktober 2014. Anggotanya 3.614 orang, termasuk beberapa yang sudah meninggal dan akunnya masih ada di Grup FB KPKDG.
Pertemuan kali ini dilabeli kopdarnas alias kopi darat nasional. Harapannya nasional namun jarak dan waktu hanya memungkinkan sebagian anggota berdomisili di Jawa yang berkumpul. Tak mengapa, toh biasanya sudah dan selalu terhubung secara virtual. Sedangkan kopi bisa bermakna dua. Pertama, betul-betul minum kopi. Kedua, menyalin.
Apa yang disalin? Spirit. Juga teknik. Maka, dalam Kopdarnas KPKDG kali ini, beberapa sahabat penulis diundang untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan seputar kepenulisan dan peluang distribusi produk tulisan.
Eka Budianta, sastrawan, berbagi tentang trilogi kepenulisan: berkat, motivasi dan cara. Kami lalu diundang untuk sharing tentang itu: apa berkat yang kami dapatkan dengan menulis, apa motivasi yang menggerakkan kami menulis dan dengan cara apa saja kami menulis.
St Kartono, Guru SMA Kolese de Britto yang juga kolumnis di media massa, di sesi berikutnya, meneguhkan kami tentang bagaimana setia sebagai penulis. Ia mengenalkan istilah “terminal-terminal rahmat” dalam perjalanan kepenulisannya.
Sebagai penulis yang guru, ia mengawali torehan penanya dengan topik seputar keteladanan. Berlanjut di etape berikutnya ia berkutat di topik pendidikan. Topik yang ia tekuni ini kemudian yang membuatnya dikenal sebagai kolumnis pendidikan yang praktisi.
Terminal ketiga, yang masih menggerakkannya untuk menulis hingga kini adalah esensi perubahan. Profesinya sebagai guru, dalam interaksinya dengan murid di kelas, ia sadari sebagai akar loyalitasnya sebagai penulis. Dari kelas, ia beroleh sumber inspirasi tiada habis untuk dibagikan ke khalayak luas lewat tulisan. Kelas itu terbatas. Ketika menjadi guru, audiensnya terbatas pada murid yang diajar. Lewat tulisanlah ia bisa menjangkau publik tanpa batas.
“Memang, motivasi awal saya menulis supaya dikenal. Saya ingin diperhitungkan karena profesi guru saat itu tidak cukup diperhitungkan di masyarakat. Motivasi berikutnya ingin mendorong perubahan. Sekarang, motivasi saya ingin berbagi ide dan spirit sebagai guru,” ujar penulis 600-an artikel di media massa dan belasan buku pendidikan ini.
HSU Monica, penulis buku, di sesi berikutnya membagikan inspirasi lain yang bisa dikerjakan penulis, yakni bagaimana menjual foto di internet. Ia berangkat dari situasi pandemi. Tak ingin mati kutu karena tak bisa bergerak ke mana-mana, ia belajar fotografi. Ia potret benda-benda dan aktivitas di sekelilingnya. Ia jual karya-karya itu di platform penjualan foto di internet. Rupanya laku.
Materi yang disampaikan HSU Monica ternyata menarik. Alhasil, selesai kopdarnas, forum belajar memotret dan menjual foto dilanjutkan di WAG. HSU Monica dan Yusup Priyasudiarja, penulis buku bahasa Inggris yang juga sudah nyemplung di ceruk ini, memandu peserta. Modalnya hanya kamera ponsel.
BACA JUGA:
- Lustrum XV SMA Kolese De Britto Gelar Seminar Nasional Kurikulum Merdeka
- Buku Karya Warga Binaan Lapas Kelas IIA Yogyakarta Diluncurkan
- Rektor UII Prof Fathul Wahid Dorong Guru Besar untuk Menjadi Intelektual Publik
Dinamika-dinamika selama kopdarnas menegaskan pentingnya berkomunitas bagi penulis. Meski dalam bekerja penulis membutuhkan kesendirian, ditambah “watak gagasan” adalah otonom, berkomunitas memungkinkan penulis bertukar pengalaman dengan pengetahuan dengan penulis-penulis lain. Ada banyak hal bisa dipertukarkan dalam komunitas: cara pandang, sikap mental maupun strategi-strategi.
Itu yang terjadi di Kopdarnas KPKDG kali ini. Selain secara formal di ruang pertemuan, pertukaran pengalaman dan pengetahuan juga berlangsung di ruang makan, di taman hingga ke warung wedangan di seberang Wisma Pojok Indah, tempat berlangsungnya kopdarnas ini. Ada saja yang dibincangkan sedekat saya menyimak. Ujungnya, muncul perasaan saling didukung.
Semangat saling mendukung ini kemudian diikat dalam “Kesepakatan Condongcatur” yang dibacakan Koordinator Nasional KPKDG yang baru Sutriyono Robert, yang menggantikan Anton Marhendro, didampingi Adrian Diarto dan Paulus Muliadi.
Demikian bunyi kesepakatan tersebut:
- Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias mendorong dan mengembangkan penulis dan calon penulis untuk meningkatkan dinamika dalam paguyuban penulis sehingga semakin menjadi garam dan terang.
- Kepengurusan. Dua tahun kepengurusan dipandang sebagai waktu yang memadai untuk masa perencanaan dan pengoordinasian kegiatan.
- Kopdarnas. Bulan Oktober adalah bulan kelahiran KPKDG. Dengan mempertimbangan sebaran asal kota anggota, Kopdarnas dalam rentang 2 tahun dipandang lebih efektif.
- Kegiatan. Kegiatan komunitas dirancang untuk per enam bulan mulai dari penginisiasian sampai closing kegiatan, sehingga dalam masa dua tahun pengoordinasian kegiatan akan dapat menghasilkan empat produk.
Aksi konkret langsung disepakati. Setidaknya ada dua. Satu, menulis bersama dengan topik seputar anak-anak berkebutuhan khusus. Kedua, memfasilitasi penulis-penulis muda untuk menulis artikel, menulis buku atau membuat video dengan mewadahinya di beberapa media.
Baik anak-anak berkebutuhan khusus maupun penulis-penulis muda sama-sama generasi yang perlu perhatian khusus. Perlu diselamatkan. Anak-anak berkebutuhan khusus perlu diberi ruang artikulasi lebih untuk menyatakan keberadaan diri, perasaan, dan harapan-harapannya. Sedangkan penulis-penulis muda juga perlu digelari arena ekspresi yang lebih luas supaya perannya diakui.
Di tengah peperangan informasi digital yang begitu deras dan keras saat ini dan ke depan, mengajak orang-orang muda memasuki kedalaman sebagai penulis menjadi sumbangsih konkret menyelamatkan satu-dua generasi dari kedangkalan hidup
Meninggalkan jejak tulisan
Siapa orang terakhir yang harus diselamatkan dalam peperangan? Penulis. Sebab, sekalipun sesudah itu ia akan mati kehausan, bukan kesepian, ia masih punya waktu untuk meninggalkan jejak berupa tulisan. Tulisan itu benih peradaban berikutnya.
Saya tidak mengutip dari siapa pun. Jika ada kemiripan dengan ungkapan tokoh tertentu, tentu itu pengaruh bacaan. Tiada sekecil apa pun pengetahuan saya yang tak dibentuk oleh bacaan-bacaan. Pada bacaan itu ada penulis. Dan penulis itu kebanyakan sudah mati, bukan oleh perang, kehausan dan kesepian, tapi oleh waktu.
Waktu itu nyawa penulis. Waktu itu melahirkan penulis. Waktu pula yang mematikan penulis. Hidup penulis ada di rentang lahir dan mati itu. Jiwa penulis, lewat karyanya, terus hidup di waktu-waktu sesudah kematiannya. Tanpa penulis bisa menikmatinya.
Selagi ada waktu, karenanya, penulis sebisa-bisa berkarya. Menulis. Apa saja. Sajak, prosa, atau liris. Saat menulis, waktu adalah kemewahan untuk menyendiri.
Selagi ada waktu juga, berikutnya, adalah baik penulis bertemu dengan penulis lain. Berbagi cerita, mencecap inspirasi. (AA Kunto A)
There is no ads to display, Please add some