Oleh: Yohanes Robinsius Neno, Mahasiswa Pascasarjana STIE YKPN Yogyakarta
beritabernas.com – Kebijakan fiskal senantiasa menjadi instrumen vital dalam menjaga stabilitas sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi. Di tengah ketidakpastian global, daya beli masyarakat yang melemah dan dinamika sektor keuangan yang semakin kompleks, peran fiskal di Indonesia menjadi semakin krusial.
Baru-baru ini, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengambil langkah besar dengan menyalurkan dana sebesar Rp 200 triliun ke sejumlah bank nasional. Langkah ini dimaksudkan untuk memperkuat likuiditas perbankan. Namun kebijakan tersebut justru menimbulkan perdebatan publik yang tidak sederhana.
Di satu sisi, penguatan likuiditas dianggap penting sebagai dasar untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan mencegah risiko sistemik. Di sisi lain, muncul keraguan yang cukup mendasar: apakah dana sebesar itu benar-benar akan mengalir ke sektor produktif dan menstimulasi ekonomi riil, atau justru berhenti di neraca perbankan dan berputar dalam ruang finansial semata?
Dari sudut pandang teori ekonomi moneter, likuiditas memiliki peranan strategis. Bank sebagai lembaga intermediasi seharusnya berfungsi menyalurkan dana dari pihak yang kelebihan simpanan kepada pihak yang membutuhkan pembiayaan, baik pelaku usaha maupun rumah tangga. Semakin tinggi tingkat likuiditas, semakin besar potensi bank dalam menyalurkan kredit.
Namun teori ini tidak berlaku otomatis. Ketika kondisi ekonomi dianggap penuh risiko, bank cenderung enggan mengambil langkah agresif, dan memilih menempatkan dana pada instrumen aman seperti obligasi pemerintah. Fenomena ini dikenal dengan istilah liquidity trap, sebagaimana dijelaskan oleh salah satu ekonom Inggris John Maynard Keynes, ketika dana berlimpah tetapi tidak mengalir ke sektor produktif. Pemikiran tersebut mau menegaskan bahwa kredit produktiflah yang menjadi motor pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Penyaluran kredit ke bidang inovasi, investasi sektor riil, dan pengembangan usaha akan mampu menghasilkan nilai tambah yang berkelanjutan bagi perekonomian. Sebaliknya, kredit konsumtif maupun kredit spekulatif sering kali hanya menambah kerentanan ekonomi tanpa memberikan kontribusi berarti terhadap Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product).
Karena itu, kebijakan fiskal berupa pengucuran likuiditas ke bank hanya akan efektif bila ada mekanisme yang menjamin dana benar-benar sampai ke tangan sektor produktif. Menjadikan kebijakan ini sekadar mengandalkan logika trickle-down adalah sebuah kesalahan, sebab berbagai riset, mulai dari Stiglitz hingga Piketty, menunjukkan bahwa pertumbuhan yang tidak diarahkan secara inklusif cenderung memperlebar ketimpangan.
Kondisi empiris Indonesia memperlihatkan paradoks serupa. Pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir memang relatif stabil di kisaran lima persen. Data BPS menunjukkan bahwa pada 2020 ekonomi Indonesia terkontraksi sebesar –2,07% (year on year/yoy) akibat pandemi COVID-19 yang membatasi aktivitas ekonomi.
Namun, pemulihan mulai tampak pada 2021 dengan pertumbuhan 3,70% (yoy) seiring pelonggaran pembatasan dan program vaksinasi. Pada 2022, laju pertumbuhan melonjak impresif hingga 5,31% (yoy), melampaui target pemerintah dan menandai kembalinya perekonomian ke level pra-pandemi. Tren positif ini berlanjut dengan pertumbuhan 5,05% (yoy) pada 2023 dan 5,03% (yoy) pada 2024.
Untuk 2025, ekonomi Indonesia diproyeksikan tetap stabil, tercermin dari pertumbuhan triwulan I sebesar 4,87% (yoy) dan triwulan II yang mencapai 5,12% (yoy). Rangkaian capaian tersebut menunjukkan adanya tren positif yang secara gradual mengarah pada akselerasi pertumbuhan ekonomi menuju target pemerintah di kisaran 6–8% dalam beberapa tahun mendatang.
Meski tren pertumbuhan tersebut menunjukkan arah yang positif, realitas di lapangan memperlihatkan bahwa laju ekonomi Indonesia masih menghadapi hambatan struktural yang membuat capaian itu terasa stagnan. Stagnan karena tidak cukup kuat untuk mengatasi jebakan pendapatan menengah dan menciptakan lapangan kerja baru secara signifikan. Ironisnya, kontribusi UMKM yang menopang lebih dari enam puluh persen PDB dan menyerap hampir seluruh tenaga kerja nasional justru tidak diimbangi dengan porsi kredit perbankan yang layak.
Data OJK bahkan mencatat bahwa kredit UMKM masih di bawah dua puluh persen dari total kredit, jauh lebih rendah dibanding negara tetangga. Situasi ini diperburuk oleh kecenderungan perbankan menahan diri dalam menyalurkan kredit. Likuiditas yang melimpah tidak serta-merta mempercepat pertumbuhan pinjaman. Bank lebih nyaman menaruh dana pada surat berharga negara yang dianggap aman, sementara akses pembiayaan sektor riil tetap terbatas.
Sementara itu, daya beli masyarakat terus tergerus oleh inflasi pangan dan energi. Kondisi ini menciptakan lingkaran setan dimana bank enggan menyalurkan kredit karena permintaan melemah, sementara permintaan tidak kunjung pulih karena keterbatasan pembiayaan.
Di sinilah kebijakan Rp 200 triliun menghadapi sejumlah tantangan serius. Risiko terbesar adalah dana hanya akan mengendap dalam sistem perbankan tanpa menetes ke masyarakat. Likuiditas berlebihan akan membuat bank tidak memiliki urgensi memperluas kredit, apalagi jika tidak ada persyaratan yang mengikat.
Lebih jauh lagi, bank cenderung mengutamakan korporasi besar yang dianggap lebih aman ketimbang UMKM, sehingga ketimpangan akses pembiayaan semakin melebar. Potensi moral hazard juga patut diwaspadai. Jika bank merasa negara selalu siap menjadi penyelamat, dorongan untuk memperbaiki manajemen risiko dapat melemah. Persoalan lain yang tak kalah penting adalah minimnya transparansi. Publik tidak tahu persis ke mana dana Rp 200 triliun itu diarahkan, sehingga menimbulkan keraguan atas efektivitasnya dalam mendorong pertumbuhan yang inklusif.
Baca juga:
- IHSG dan Ilusi Kesejahteraan: Ketika Ekonomi Rakyat Disandera oleh Narasi Pasar
- Potensi Pariwisata Kabupaten Malaka: Menjajaki Destinasi Tersembunyi di Ujung Timur Indonesia
- Judi Online Dapat Menjerumuskan Indonesia Menuju Resesi dan Ancaman Nyata bagi Stabilitas Ekonomi
Untuk menghindari jebakan kebijakan setengah hati, strategi optimalisasi harus dirancang secara cermat. Dana Rp200 triliun tersebut seharusnya tidak diberikan tanpa syarat, melainkan disertai kewajiban agar bank menyalurkan sebagian besar kreditnya ke sektor produktif, khususnya UMKM, pertanian, perikanan, industri kreatif, dan manufaktur.
Pemerintah dapat menambahkan insentif berupa subsidi bunga atau, sebaliknya, sanksi berupa pengurangan akses jika kewajiban tidak dipenuhi. Selain itu, sebagian dana dapat diarahkan untuk menanggung risiko kredit melalui skema penjaminan sehingga bunga kredit bisa lebih rendah dan akses pembiayaan semakin inklusif. Model seperti Kredit Usaha Rakyat memang relevan, tetapi perlu diperluas dengan pengawasan ketat agar tidak hanya menjadi formalitas.
Orientasi kebijakan semestinya tidak terbatas pada pertumbuhan sesaat, tetapi berfokus pada pembangunan berkelanjutan yang memberi manfaat nyata bagi masyarakat luas. Karena, dana publik sebesar itu bisa diarahkan untuk proyek hijau, energi terbarukan, pertanian berkelanjutan, serta usaha berbasis desa yang menyentuh akar ekonomi masyarakat.
Pada saat yang sama, momentum ini dapat digunakan untuk memperkuat lembaga keuangan non-bank seperti koperasi modern, Bank Perekonomian Rakyat (BPR), dan fintech yang inklusif, sehingga dominasi bank besar dalam distribusi kredit dapat berkurang. Transparansi juga menjadi syarat mutlak. Pemerintah harus rutin menyampaikan laporan ke publik mengenai distribusi dana, sektor penerima, dan dampak nyata yang dihasilkan. Tanpa keterbukaan, kebijakan ini akan sulit mendapat legitimasi sosial.
Pada akhirnya, pengucuran dana Rp 200 triliun bukan sekadar persoalan teknis perbankan. Ia adalah ujian bagi negara dalam menentukan arah kebijakan. Apakah perbankan akan dijadikan tujuan utama kebijakan fiskal, ataukah sekadar instrumen untuk mencapai kesejahteraan rakyat?
Langkah ini memang bisa memperkuat bantalan sistem keuangan di tengah ketidakpastian global, tetapi tanpa strategi optimalisasi yang berpihak pada sektor produktif dan rakyat kecil, dana jumbo tersebut hanya akan mempertebal neraca bank tanpa menyentuh denyut nadi ekonomi riil seperti pertanian, industry manufaktur, pariwisata, UMKM, barang dan jasa. (*)
There is no ads to display, Please add some