Oleh: Yohanes Robinsius Neno, PHPT PMKRI Jogja
beritabernas.com – Dalam setiap siaran pers pemerintah atau pernyataan otoritas keuangan, kita kerap mendengar satu narasi yang terus diulang bak mantra: “IHSG naik, berarti ekonomi Indonesia membaik.”
Padahal bagi mayoritas rakyat, singkatan IHSG saja mungkin terasa asing, apalagi merasakan dampaknya. Di tengah harga kebutuhan pokok yang terus melonjak, akses layanan kesehatan dan pendidikan yang belum merata serta lapangan kerja yang tidak pasti, klaim bahwa ekonomi “sehat” hanya karena indeks saham naik terdengar seperti lelucon yang tidak lucu.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pertumbuhan indeks saham tidak selalu mencerminkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Banyak orang yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka dan kondisi ekonomi yang baik bagi segelintir orang tidak berarti sama bagi semua.
Ketika pemerintah merayakan kenaikan IHSG sebagai indikator keberhasilan, suara rakyat yang menghadapi kesulitan sehari-hari seakan hilang ditelan narasi yang glamor ini. Maka, penting bagi kita untuk mempertanyakan definisi kemajuan ekonomi dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar mencerminkan kebutuhan dan aspirasi seluruh lapisan masyarakat.
IHSG cermin ekonomi siapa?
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) adalah indikator yang menunjukkan performa rata-rata harga saham di Bursa Efek Indonesia. Seringkali, ia dipakai sebagai tolok ukur kondisi ekonomi nasional. Namun, siapa sebenarnya yang tercermin dalam cermin bernama IHSG ini?
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2024 menunjukkan bahwa sekitar 60,5% tenaga kerja Indonesia berada di sektor informal. Artinya, lebih dari separuh penduduk yang bekerja tidak memiliki akses terhadap pasar modal dan tidak terlindungi oleh jaminan sosial.
BACA JUGA:
- Saiful Huda: Badai Ekonomi, Sosial dan Politik Bisa Terjadi, Pemerintah Perlu Beri Perhatian Khusus
- Robby Kusumaharta: Kebijakan Presiden Trump Berdampak pada Harga Produk yang Masuk ke Pasar AS
- Mengurangi Tekanan, OJK Terbitkan Kebijakan Buyback Saham Tanpa Melalui RUPS
Lebih jauh lagi, Laporan World Inequality Database (2023) mencatat bahwa distribusi aset keuangan di Indonesia sangat timpang. Hanya 1% kelompok terkaya menguasai lebih dari 50% aset finansial nasional, termasuk saham dan instrumen pasar modal lainnya.
Kenaikan IHSG sering kali bukan berasal dari kinerja ekonomi riil, melainkan dari arus masuk modal asing jangka pendek dan sentimen global. Gunawan & Santoso (2022), dalam kajiannya mengenai determinan IHSG menyebutkan bahwa faktor seperti pernyataan The Fed, harga komoditas global, dan ekspektasi pasar luar negeri justru memiliki pengaruh lebih besar dibandingkan konsumsi rumah tangga, investasi domestik, atau daya beli masyarakat.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam laporan 2024 juga mencatat bahwa hampir 40% aktivitas perdagangan saham harian di BEI didominasi oleh investor asing. Ketika pemerintah dan media sibuk merayakan rekor IHSG, rakyat dihadapkan pada kenyataan pahit. Harga beras, minyak goreng, dan kebutuhan pokok lainnya terus mengalami kenaikan.
Laporan BPS Maret 2024 mencatat bahwa inflasi pangan tetap tinggi, terutama di wilayah luar Jawa. Survei LPEM FEB UI tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 70% pelaku UMKM tidak pernah merasakan dampak positif langsung dari pertumbuhan pasar modal. Padahal, sektor UMKM menyerap sekitar 97% tenaga kerja nasional dan menyumbang lebih dari 60% terhadap PDB Indonesia.
Mengapa narasi ini terus dipertahankan?
Ada alasan politis dan ideologis mengapa IHSG terus dijadikan alat propaganda. Pertama, angka-angka yang tampak “positif” di layar bursa sangat mudah dijual sebagai pencapaian kepada publik. Kenaikan indeks saham dapat diklaim sebagai bukti keberhasilan kebijakan ekonomi, meskipun kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang sebaliknya. Narasi semacam ini sangat efektif untuk mengangkat citra pemerintah dan elite ekonomi di hadapan media dan investor, baik domestik maupun internasional.
Kedua, narasi ini secara langsung menguntungkan oligarki keuangan yang memiliki kontrol besar atas instrumen investasi dan akses terhadap pusat-pusat kekuasaan. Ketika IHSG naik, keuntungan mereka berlipat ganda. Sementara itu, mereka juga memiliki pengaruh dalam merancang regulasi dan kebijakan yang mengamankan kepentingan mereka. Dengan demikian, IHSG bukan hanya alat ukur ekonomi, tetapi juga instrumen politik dan kekuasaan yang melanggengkan ketimpangan.
IHSG bukanlah satu-satunya indikator ekonomi dan seharusnya bukan pula yang utama. Menggantungkan penilaian terhadap kesehatan ekonomi nasional hanya pada pergerakan indeks saham adalah pendekatan yang sempit dan menyesatkan. Indikator ekonomi sejati seharusnya mencerminkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh: menurunnya tingkat kemiskinan, meningkatnya indeks pembangunan manusia (HDI), naiknya daya beli masyarakat, serta terwujudnya pemerataan pembangunan di berbagai wilayah, dari kota hingga desa.
Dilansir dari Indonesia Stock Exchange (IDX) bahwa pada tahun 2024 pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup dengan mengalami perubahan hanya sebesar 3,25% secara year-to-date pada level 7.036,57, menunjukkan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan dan kesejahteraan masih tinggi. Angka ini mencerminkan bahwa meskipun beberapa sektor menunjukkan pertumbuhan, hasilnya tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat. Ini menjadi bukti nyata bahwa pembangunan ekonomi kita belum sepenuhnya berkeadilan.
Sudah saatnya kita menolak narasi usang yang menjadikan IHSG sebagai simbol utama keberhasilan pembangunan. Kenaikan indeks saham tidak serta-merta mencerminkan kondisi ekonomi rakyat secara keseluruhan. Terlalu banyak realita yang terpinggirkan jika kita hanya terpaku pada angka-angka yang bergerak di layar bursa.
Narasi ini lebih banyak menguntungkan elite ekonomi dan investor besar, bukan rakyat kebanyakan yang menghadapi tantangan hidup nyata setiap hari. Pembangunan ekonomi yang sejati adalah pembangunan yang berakar pada kebutuhan dan aspirasi mayoritas rakyat.
Petani yang mampu menjual hasil panen dengan harga layak, nelayan yang mendapatkan akses pada sarana produksi, buruh yang memperoleh upah yang adil, dan pelaku UMKM yang diberi ruang tumbuh merekalah fondasi ekonomi Indonesia. Tanpa keberpihakan nyata pada mereka, semua kemajuan ekonomi hanya akan menjadi ilusi statistik.
Kita membutuhkan paradigma baru dalam pembangunan yang inklusif, adil, dan berkelanjutan. Negara harus hadir sebagai pengatur yang memastikan distribusi hasil ekonomi berlangsung secara merata. Bukan hanya menstimulasi pertumbuhan, tetapi juga menjamin bahwa pertumbuhan tersebut menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Rakyat tidak boleh lagi dibiarkan sebagai penonton dalam pertunjukan elite pasar modal. Sudah waktunya mereka menjadi aktor utama dalam panggung pembangunan nasional. (Yohanes Robinsius Neno, PHPT PMKRI Jogja)
There is no ads to display, Please add some