Memperkuat Nasionalisme Kalangan Generasi Muda

Oleh: Nur Ismi, Mahasiswa Universitas Cendekia Mitra Indonesia, Yogyakarta

beritabernas.com – Nasionalisme per definisi seringkali dikonotasikn dengan aspek-aspek emosional, kolektif, idola dan syarat memori histories seperti seperasaan, senasib. Faktor memori histories adalah faktor kecenderungan yang dibangun untuk menumbuhkan rasa perasaan bersatu dalam sebuah konsep kebangsaan tertentu.

Menurut Ernest Renan, seorang teoritikus Perancis dalam esai terkenalnya “What is Nation?”, menyebutkan, bahwa nation adalah jiwa dan prinsip spiritual yang menjadi ikatan bersama baik dalam pengorbanan (sacrifice) maupun dalam kebersamaan (solidarity). Sementara menurut Benedict Anderson, nation didefinisikan sebagai “sebuah komunitas politik terbayang” (an imagined political community). Nation pada awalnya lebih dalam bentuk imajinasi pikiran belaka. Namun nation kemudian terbayangkan sebagai komunitas, dan diterima sebagai persahabatan yang kuat dan dalam (deep horizontal comrademship).

Dalam semangat inilah nasionalisme Indonesia muncul sebagai satu ikatan bersama melawan kolonialisme. Di sini, nation dan nasionalisme dipakai sebagai perasaan bersama oleh ketertindasan kolonialisme, dan oleh karena itu, dipakai sebagai senjata ampuh untuk membangun ikatan dan solidaritas kebersamaan melawan kolonialisme.

Nasionalisme saat itu tergolong nasionalisme yang diciptakan. Seperti ditulis Eriksen (Ethnicity and Nationalisme) bangsa adalah sebuah komunitas yang diharapkan terintegasi dalam hal budaya dan identitas diri secara abstrak dan anonim. Semasa Bung Karno, semangat nasionalisme berhasil dijaga dan ditanam, sehingga merasuk ke darah dagang setiap orang Indonesia, tidak peduli di mana dia lahir dan dari suku apa orangtuanya berasal.

Nasionalisme terasa kabur

Bagaimanakah nasionalisme kita Sekarang? Di era reformasi dan otonomi daerah  ini makna nasionalisme justeru terasa kabur. Bahkan sebagai akumulasi dari sejarah perkembangan nasionalisme itu sendiri, nasionalisme tak jarang disebut-sebut sebagai suatu yang usang, ketinggalan zaman.

Baca juga:

Pascareformasi, nasionalisme keindonesiaan hampir tidak pernah digaungkan oleh elite nasional maupun elite lokal. Bahkan beberapa daerah tertentu isu nasionalisme tidak menjadi bahan diskusi penting bagi mereka. Mereka malah cenderung memperjuagkan semangat etnonasionalisme atau nasionalisme primordialisme. Jika pemerintah pusat tidak peka dan memperhatikan hal ini, nasionalisme kebangsaan Indonesia cepat atau lambat akan menjadi kenangan saja.

Pascaotonomi daerah, isu nasionalisme semakin sepi dari diskusi publik. Bahkan di kalangan elte bangsa, isu nasionalisme hampir pasti tidak pernah disinggung, baik dalam kebijakan pembangunan maupun dalam tataran praksi. Justeru yang didengungkan ialah membiarkan setiap daerah merekayasa nasionlismenya menurut tafsiran sendiri.

Di dunia pendidikan, mulai dari Taman Kanak-Kanang sampai perguruan tinggi diskusi nasionalisme keindonesiaan hampir pasti sepi di ruang kelas atau ruang akademik. Pelajar hanya dicekoki pengetahuan artificial intelligence, yang justeru menurut penulis ini akan menjadi berbahaya pendidikan kita masa depan.  Justeru yang sering dipompakan kepada pelajar atau mahasiswa adalah keterampilan-keterampilan teknis seperti penguasaan teknologi. Demikian juga, seperti bagaimana mencuci otak pelajar atau mahasiswa dengan segudang pengetahuan sisa-sisa kolonial. Cata mengkonsumsi makanan, cara memilih pakaian, life style, cara berekonomi. Proses peniruan ini baik saja. Namun tidak mendidik bangsa sendiri menjadi bangsa yang mandiri dari suka kerja keras.

Bagi pelajar atau mahasiswa selalu mempertanyakan, apakah ini paling fundamental dalam membentuk nasonalisme Indonesia. Bukankah model nasionalisme di atas semacam kolonial mimikir? Kolonial mimikri adalah istilah yang merujuk pada peniruan atau pengadopsian elemen kebudayaan kolonial oleh masyarakat terjajah sebagai bentuk perlawanan atau strategi bertahan. Fenomena ini bersifat ambivalen, di mana pada satu sisi peniruan bertujuan untuk membangun identitas yang setara, namun di sisi lain juga mempertahankan perbedaan dan menjadi bentuk perlawanan halus yang tersembunyi. 

Kalau kita mau belajar dari masa lalu, kita pernah memiliki rasa nasionalisme yang begitu tinggi menjelang dan diawal kemerdekaan, sekurang-kurangnya tiga hal:

Pertama, bangsa Indonesia  menghadapi musuh yang sama ( common enemy), penjajahan. Akibat mush yang bersama ini telah membentuk rasa solidaritas yang sangat tinggi untuk menghadapi dan mengusir musuh.

Kedua, berhubungan dengan yang pertama, pada waktu itu bangsa ini memiliki tujuan yang sama yakni ingin mandiri sebagai sebuah bangsa yang merdeka.

Ketiga, karena kedua hal di atas bangsa ini menjadi merasa senasib seperjuangan semua merasa tertindas dan teraniaya oleh bangsa asing. Di sinilah terjadi sinergi dari segenap lapisan masyarakat dengan  kemampuan masing-masing utuk berjuang mengubah nasib bersama.

Perjalanan sejarah Indonesia kemudian telah menyebabkan kesadaran akan nasion itu meluntur. Kenapa? Diantaranya karena ketidakadilan. Berbagai pemberontakan dulu di daerah, karena merasa ditinggalkan oleh pemerintah pusat. Karena itu, kenyataan masa lalu itu hendaknya menjadi tantangan besar bagi kita dalam masyarakat yang plural ini, bagaimana agar kesadaran sebagai nasion itu tetap bisa dijaga, dipertahankan, diperkuat dan dilestarikan. Tetapi dengan adanya Otonomi Daerah terlihat adanya tendensi ke arah disintegrsi  nasion Indonesia. Hampir semua daerah, kecuali yang sudah mapan, melakukan dua hal, pertama, pencarian jati diri dari akar sejarahnya yang paling dalam. Kedua, revitalisasi paham-paham yang menunjukkan primordialisme kedaerahan. Akibatnya, sesudah reformasi muncul konsep putra daerah yang empit.

Kebijakan otonomi daerah yang tidak terkontrol membawa implikasi pada beberapa hal: Pertama, semakin menyurutnya mutual trust di antara berbagaim kelompok dalam masyarakat. Pada saling persaya itu modal utama, maka Francis Fukuyama menyebutnya sebagai social capital. Kedua, Kebanggaan etnik terhadap asal usul keturunan, zaman keemasan, bahasa, budaya yang tak mengabaikan hak-hak budaya minoritas, berpotensi mendorong kehidupan demokratis atau nasionalisme terancam.  Sebaliknya ketidakmampuan menjinakan aspek keetnikan tadi, bisa mengarah pada chauvinisme, rasisme, bahkan fasisme. Kebanggaan etnik semacam itu muncul akibat tiadanya ruang bagi pengungkpan politik perasaan kebangsaan.

Dalam negara-negara yang sedang menghadapi konflik, despotisme (kelaliman) juga berlangsung di tengah-tengah masyarakat dan antarmasyarakat. Konflik semacam ini bukan mustahil akan melahirkan “  Etno-demokrasi” sebagai ancaman terhadap demokrasi yang damai. Demokrasi  etnis, apabila tidak mendapatkan perhatian, justeru potensi menjadi semakin radikal dan ekstrem, lalu mengarah pada etno-nasionalisme.

Nasionalisme Indonesia yang belum terlalu kukuh, mulai terkoyak ketika ciri etnisitas makin menonjol, yang kemudian dibungkam secara represif dengan isu SARA. Ketika itu pemerintah pusat melaksanakan program pembangunan, tetapi dalam kenyataan mengeruk kekayaan dari daerah, tetapi tidak dikembalikan ke daerah. Bahan di pusatpun hanya dinikmati oleh sekelompok keluarga. Ketika Soeharto menonjolkan kejawaannya bahkan dalam memerintah pun gaya feodal Jawa-nya sangat menonjol.

Perasaan bahwa daerah telah diperas oleh “orang-orang pusat”secara berangsur menjadi perasaan bahwa mereka diperas oleh orang-orang Jawa, tanpa menyadari bahwa orang-orang pusat yang korup itu juga berasal dari berbagai suku. Namun karena Soeharto sangat kentara menampilkan kejawaannya, perasaan smeacam itu tidak dapat dihindari. Batas-batas etnis (ethnic boundaries yang semula hanya pada aspek kesenian menjadi batas budaya (cultural boundaries) dalam arti yang lebih luas.

Kemudian hal itu makin menguat dengan batas-batas territorial (territory boundaries) yang setelah Soeharto jatuh perasaan itupun berani muncul dalam isu Aceh Merdeka, Papua Merdeka, Riau Merdeka, Bali Merdeka, yang merupakan bentuk reaksi kemarahan terhadap ketidakadilan. Hati yang terluka itu kemudian mempertebal  ethnic boundaries, yang diikuti territory boundaries berdasarkan etnis, serta perasaan “kami” dan “mereka” yang mengental.  Sikap saling curiga antarsuku, daerah, dan kemudian agama ini jika tidak dikelola dengan baik,  atau bahkan disuburkan oleh beberapa pemimpinnya, akan membawa kehancuran Indonesia (disintegrasi bangsa).

Solusi

Maka penting untuk direnungkan, ketika negara bangsa tidak menampilkan identitas yang kuat atau tidak memberi ruang bagi terciptanya koalisi kepentingan sosial yang dapat memperdayakan diri dalam identitas yang direkonstruksi kembali, suatu kekuatan sosial/politik boleh jadi mengambil alih negara. Dan menjadikan kelompok mereka sebagai ekspresi eksklusif identitas tersebut. Jika ini terjadi terus menerus, jelas merupakan ancaman serius bagi keberlangsungan negara bangsa Indonesia. Demikian pula nasionlisme primordialisme bila tidak dikendalikan, ia pada akhirnya mengancam eksisten negara bangsa Indonesia.

Maka salah satu jalan sebagai solusi adalah memperkuat nasionalisme  di kalangan generasi muda melalui media pendidikan. Tentunya juga media cetak maupun elektronik terus menerus mempromosikan nasionalisme kebangsaan, tanpa mencurigai apalgi membunuh identitas etnis yang saat ini berkembang di beberapa daerah. Yang yang harus dicegah adalah sikap chauvinisme demokrasi, etnonasionalisme, dan etnodemokrasi yang berlebihan yang mengancam demokrasi. Sekali lagi “yang menyatakan diri sebagai orang Indonesia, cintailah Indonesia”, bukan hanya selogan tapi melalui tindakan. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *