Mengenal Maestro Bubur Pethak 

beritabernas.com – Sebelum kenangan memudar, saya coba merangkum ingatan-ingatan tentang bapak Sutono, maestro bubur pethak. Dua tahun lalu bapak pergi alias meninggal dunia. Jelas dia tidak akan kembali. Karena bapak diminta yang empunya hidup: Gusti. 

Beberapa hari yang lalu, anak saya hatinya muram. “Bun, punya foto-foto Kakung?” tanyanya. “Ada, Nak,” jawab saya. “Yang aku pegang tangan kakung,” ujarnya. 

Doa dan foto jadi obat rindu Bhumy, anak saya, agar tetap terkoneksi. Satu lagi, bubur. Ya makan bubur juga tombo kangen pada Kakung. Bukan bubur yang dijual di sembarang tempat. Tapi bubur yang puluhan tahun dibuat oleh Kakung. Untung sekarang, adik cowok saya sudah bisa menduplikasinya. Rasanya pas, sempurna. 

BACA JUGA:

Sutono itulah Kakung atau bapak saya, yang bekerja sebagai pegawai negeri. Saya ingat benar, gaji pegawai negeri kala saya masih kecil, sedikit sekali. Terutama karena bapak tak punya jabatan. Tapi sukanya, uang yang diterima Kakung jauh lebih tinggi saat sudah pensiun. Itu karena kebijakan Gus Dur waktu menjabat sebagai presiden pada waktu itu. 

Kakung berangkat kerja pukul 06.30 atau maksimal pukul 07.00. Itu artinya, tidak ada istirahat cukup usai bangun pukul 02.30, memasak hingga subuh tiba. Usai semua masakan siap, ia akan mengantar gudeg dagangan Uti- Ibu saya-ke tepi jalan raya.  Oh, ya, Ibu dulu jualan gudeg untuk menambah pundi-pundi keluarga.

Bubur gudeg olahan maestro Bapak Sutono. Foto: Emmy Kuswandari

Eh, kalau aku bilang pundi-pundi, seolah uang hasil jualan hanya disimpan untuk menambah kekayaan ya. Padahal, dari berjualan gudeglah kami hidup, sekolah, membangun rumah dan untuk keperluan mendadak lainnya. Tidak akan cukup gaji pegawai negeri untuk menghidupi tiga anak yang semuanya sekolah di swasta. 

Dulu kami belum berlangganan becak untuk membawa gudeg dan kelengkapannya yang sudah siap. Tahu sepeda onthel? Ya, sepeda yang dipasangi keronjot jadi moda pengantar dari rumah ke tempat Uti dasaran. 

Entah dulu bagaimana caranya, bubur dalam panci besar di sisi kiri keronjot, lalu nasi dalam tenggok di sisi kanan. Berat keduanya bisa belasan kilogram. Belum lagi di atasnya ditumpangi areh, ayam dan jangan krecek. Dituntun tentu saja untuk sampai ke jalan raya. Harus hati-hati bawanya, terlebih kalau jumpa polisi tidur. Leyeh-leyeh sebentar, lalu Kakung akan bergegas mandi dan mancal kendaraan ke kantor. 

Bubur pulen, gurih dan tahan lama

Nah, bubur ini yang ingin saya ceritakan. Entah bagaimana ceritanya Kakung bisa membuat bubur yang pulen, gurih dan tahan lama. Beras yang sudah dipususi malamnya, direndam semalaman supaya mudah pecah ketika diaduk dalam air panas. Diaduk terus tanpa henti. Percayalah, mengaduk ini bukan perkara mudah. Makin lama diaduk, makin berat gerakannya. Tak perlu angkat beban di gym, tangan sudah pasti methekhol dibuatnya. Entah mana yang lebih besar, lengan kanan atau kiri. 

Saat beras sudah pecah jadi lebih lembut, Kakung menyiapkan santan perasan yang kelapanya ia parut sendiri. Santan disaring dua kali. Diaduk lagi hingga kental dan tanak. Santan dan garam yang membuat bubur buatan Kakung enak luar biasa. Iya saya memujinya. Kalau tak gurih, mana mau bayi-bayi minta jatah tiap pagi. Kalau tidak pulen, mana mau manula nitip anaknya untuk selalu beli. 

Bubur gudeg pulen dan tahan sampai siang hari dengan aroma khas daun pisang sebagai bantalan hasil olahan maestro bubur gudeg Sutono yang kini diteruskan oleh anak bungsunya. Foto: Emmy Kuswandari

Baik bayi atau manula pesanannya hampir sama. Bubur pethak-bubur putih-tanpa dicampur kuah atau telur. Tujuannya satu: supaya bisa dimakan pagi dan siang. Sebungkus terlalu mengenyangkan kalau langsung dihabiskan bayi dan manula. Selama itu juga bubur buatan kakung tidak akan berair dan tidak berubah rasa. Apalagi, Uti-ibuku-mengalasi bubur itu dengan daun pisang. Wangi daun pisang yang tertimpa bubur panas, akan tetap menyisakan aroma hingga siang hari. Ambri wangi yang selalu memanggil di sepanjang usiamu nanti. 

Zaman dulu, kalau beli bubur masih boleh dengan separuh telur. Harganya pun masih sangat murah. Meskipun menurutku, murahnya masih bertahan hingga saat ini. Gudeg bubur depan gang seperti lapak Uti, selalu tak pernah mahal harganya. Kini Ibu tak lagi memotong telur jadi dua, bubur ya dengan satu butir telur. Bukan pelit, tetapi yakin bahwa satu telur tak lagi perlu di bagi empat atau delapan untuk keluarga di Indonesia. 

Jadi, sekarang tahu kan, kalau aku pagi-pagi makan bubur gudeg di rumah Yogya, bisa jadi pertanda rindu Kakung atau memang lapar melanda. (Emmy Kuswandari, Jakarta)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *