Ibu dan Gudeg Tanpa Nama 

beritabernas.com – Apakah ada yang salah dengan otak dan indera perasa saya: tidak pernah bosan dengan gudeg Yogyakarta? Makanan ini lekat dengan hidup saya dari kecil hingga mendekati setengah abad, saat ini. Pukul berapa pun diminta makan gudeg, saya hayuk saja. Mungkin sesakauw teman-teman di Palembang yang biasa sarapan pempek sambil menghirup cuko.

Saya dibesarkan dengan aroma gudeg yang meletup-letup saat mendidih di panci besar. Sambal goreng krecek yang duh…, ndak bisa diterjemahkan aromanya saat mendidih untuk pertama kali. Sambal goreng krecek jadi sempurna dengan potekan cabai yang ditabur di atasnya. 

Bangun tidur saya bisa mengambil piring yang dialasi daun pisang lalu mencampur bubur dengan gudeg, krecek dan telur areh. Ini ibarat bangun tidur lalu jumpa dengan taman surga. Nikmat tiada tara. Bisa jadi ini comfort food buat saya seperti istilah orang-orang untuk makanan yang begitu menenangkan batin mereka. 

Sepagi itu bisa sarapan bubur gudeg karena memang ibu saya berjualan gudeg. Lebih dari 47 tahun lamanya. Dan, selama itu pula, tidak ada kata bosan dalam kamus saya. 

Hangudeg

Ada beberapa versi munculnya gudeg di Yogyakarta. Salah satu versi menceritakan, saat pembukaan Alas Mentaok untuk mendirikan Kraton Kerajaan Mataram, para prajurit menemukan banyak pohon nangka. Para prajurit yang babat alas kemudian memasak buah nangka itu. Namun, versi lain mengisahkan, gudeg berasal dari gerakan mengaduk nangka yang dimasak dalam kuali besar dan diaduk dengan kayu.

Gudeg di depan SGM Jalan Kusumanegara Yogyakarta. Uti sedang melayani pembeli. Foto: Emmy Kuswandari

Proses mengaduk seperti mendayung perahu ini yang kemudian disebut dengan hangudeg. Lalu menjadi gudeg hingga saat ini. Entahlah mana yang benar.  Tapi yang pasti, kuliner khas Jogja ini tercatat dalam Serat Centhini. 

Jadi jelas, bukan karena masakan ibu, saya suka gudeg sampai mati. Gudeg ini memiliki cerita yang panjang sekali, sejak pendirian Kerajaan Mataram Islam, berlanjut beberapa abad kemudian hingga sepanjang pertemuan Bapak dan Ibu saya, punya tiga anak lalu memiliki empat cucu hingga saat ini. Gudeg buat saya adalah cerita kehidupan. Dari sinilah rumah dibangun, anak-anak disekolahkan, keluarga dimakmurkan dan pelanggan dikenyangkan. 

Keluarga Gudeg

Sekte gudeg basah dan gudeg kering, barangkali baru terdengar beberapa dekade belakangan. Dulu, semua gudeg, galibnya ya basah. Ibu saya mengikuti aliran gudeg basah. Bukan karena tren, tetapi memang inilah keahlian yang diperoleh turun temurun dari keluarga. Paling tidak dari simbok atau nenek dari garis Ibu. 

Dulu, Simbok berjualan di depan gang, depan Puskemas Muja-Muju, Yogyakarta. Khas dengan kebaya dan jarik tentu saja. Dandanan kampung, lengkap dengan rambut yang diukel membentuk gelungan. Simbah saya ini berambut panjang, selalu diminyaki urang-aring hingga klimis. Mungkin karena urang-aring ini maka uban menjauh meski usia senja. Rambut putih hanya muncul saat Simbah sakit hingga ajal menjemputnya.

Dari Simbah, Ibu mencoba berjualan sendiri. Tetap di depan gang, tetapi kali ini di pinggir Jalan Kusumanegara. Ini sebetulnya mulut gang lain untuk mencapai rumah kami. Simbok di sisi selatan, Ibu di sisi Utara. Nenek dan Ibu berjualan hanya di emperen rumah tetangga. Seingat saya, Ibu berpindah tiga kali, sebelum saat ini menetap berjualan di depan Bengkel Kampus di Jalan Kusumanegara. Itupun tidak ada bangunan permanen. Hanya bangku untuk meletakkan panci-panci jualannya dan bangku kecil untuk duduk Ibu dan di sampingnya ditaruh tampah untuk tempat daun pisang, kertas, dan plastik. 

BACA JUGA:

Bukan karena Simbok juga Ibu mencari peruntungan dengan berjualan gudeg. Dulu awal menikah, Ibu tinggal di rumah orangtua angkat Bapak selama satu tahun. Mbah Pudjo, kami memanggil. Mbah Pudjo sangat kaya di mata kami, berjualan gudeg di Pasar Sapi Kuncen. Satu tahun tinggal di sana, Ibu mengajak Bapak untuk mandiri, pulang ke rumah orang tua, lalu berjualan gudeg. “Beberapa tahun berjualan, mulai bisa nyicil bangun rumah,” ujar Ibu. 

Ah, ya, satu bukti Mbah Pudjo kaya yaitu membelikan kami TV, barang mewah yang ada di rumah pada waktu itu. Mereknya Nasional. TV besar yang berada dalam tabung kayu, memiliki pintu geser kiri kanan dan ada kaki panjang untuk menopang. Cukup menggeser pintu ke kiri atau ke kanan, maka TV akan hidup atau mati, tentu setelah ada strum aki. 

Bisa dibilang, kami ini keluarga besar penjual gudeg. Meski gudeg-gudeg tanpa nama di depan gang. Satu dua saudara Simbok juga jualan gudeg. Dari keluarga Simbok, hanya Ibu yang meneruskan usaha ini.  Eh, ada juga satu menantu Simbok yang berjualan di depan Puskesmas, tak jauh dari lokasi jualannya dulu.

Sekte Gudag Basah

Proses memasak gudeg dimulai dari pulang berjualan sebetulnya. Racik-racik dan mempersiapkan ubo rampe gudeg. Tukang tahu, tempe, telur, gula, dan lainnya akan mengirim bahan-bahan itu ke rumah. Pukul 3-4 sore Ibu mulai merebus telur, dan membersihkan ayam. Tepat pukul 6, ayam diungkep sampai subuh menjelang. 

Dulu, saat belum ada penggilingan kelapa, Bapak dan Ibu marut sendiri. Termasuk ngulek cabai dan bumbu-bumbu untuk areh dan sayur sambel krecek. Ketika mesin penggiling sudah jamak, kami tetap belum mampu beli. Jadilah, kelapa, cabai, dan bumbu diparut di pasar, hingga kini. 

Tugas saya, menyobek daun, dilap lalu diikat untuk dibawa ke warung nanti. Kadang membantu berjualan di warung untuk memasukkan belanjaan pembeli plastik atau nyusuki – memberi uang kembalian kepada pembeli.  Oh ya, kalau sore, saya mengupas telur yang direbus, lumayan kadang tiga kilo kadang lebih. Kalau tidak hati-hati, tangan bisa lecet. Anak Ibu tiga, saya yang paling tidak jago masak. Adik tengah pinter masak, terlebih adik ragil yang cowok. 

Pukul tiga dini hari, Bapak akan bangun lebih dulu untuk adhang beras, membuat bubur, dan memanaskan ini itu. Ibu akan bangun pukul 04.30 untuk menata ayam dan telur yang semalaman dimasak. Bapak tidak telaten menata ayam dan telur ini agar gampang diambil dan dicari saat ada pembeli nanti. 

Gudeg lengkap,ada bubur, ayam, krecek,areh, nangka dan lainnya. Foto: Emmy Kuswandari

Gudeg basah ini perlu jurus tersendiri untuk membungkusnya. Terlebih kalau yang dibeli lauk pauk dengan kuah melimpah. Ibu jago sekali membungkus tanpa kuah bocor di mana-mana. Saat belum ada klip, daun disemat dengan lidi. Kalau tak hati-hati, kadang tangan sakit karena tertusuk. Urusan satu ini membuat saya menyerah. Belum lagi kalau harus membungkus bubur yang awet panasnya. Barangkali itu kerumitan gudeg basah. Tetapi percayalah, rasanya enak, selalu baru dan segar. 

Tanpa Nama

Ah, kalau ditanya apa nama warung jualan Ibu saya selalu tak bisa jawab. Warung Ibu tanpa nama, meski sudah lebih 47 tahun melayani tetangga. Tak setenar Gudeg Yu Djum, Gudeg Bu Citro atau Gudeg Sagan. Gudeg Ibu tanpa nama. Orang mungkin suka menyebutnya gudeg SGM, karena memang tepat di depan pabrik susu SGM di Jalan Kusumanegara. Atau kadang juga menyebut Gudeg Mbak Nemuk, nama kecil Ibu saya. Ibu saya kembar, dipanggil Nemuk dan Nemik-adiknya.

Kini, kami saat ini lebih suka menyebut Gudeg Uti, terlebih dengan adanya empat cucu Uti di Bali dan Jakarta. Teman-teman saya yang pernah mencicipi gudeg pun akan menyebut dengan Gudeg Uti. 

Tadinya saya merasa masygul, hingga usia mendekati 50 belum bisa membuatkan warung atau rumah makan permanen untuk Uti. Hingga mendengar aparat desa menyampaikan bahwa gudeg-gudeg depan gang ini merupakan Warisan Budaya Tak Benda Indonesia yang ditetapkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada 26-30 Oktober 2021.

Mongkok rasa batin ini. Pemerintah ternyata memperhatikan para penjual gudeg yang sederhana, termasuk Gudeg Uti. (Emmy Kuswandari, Jakarta)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *