beritabernas.com – Meski menolak, namun 3 pusat studi milik UII menilai revisi UU TNI adalah keniscayaan, mengingat perkembangan teknologi dan globalisasi yang perlu direspons dengan dinamis, salah satunya melalui perubahan UU TNI.
Namun, ketiga pusat studi di UII yakni PUSHAM UII, PSAD UII dan PSHK FH UII mengimbau agar arah perubahan dan materi muatan UU TNI fokus pada problem internal TNI yang tertuju pada penguatan pertahanan negara, kesejahteraan prajurit, keorganisasian TNI dan berbagai aspek lain menyangkut profesionalisme TNI.
“Revisi UU TNI sejatinya menguatkan kelembagaan dan keorganisasian TNI untuk tidak masuk pada ranah politik, terutama yang berkelindan dengan jabatan sipil,” demikian pendapat ketiga pusat studi milik UII tersebut dalam pernyataan sikap yang disampaikan dalam Aksi UII di Ruang Teatrikal Gedung Kuliah Umum Dr Sardjito Kampus Terpadu UII, Rabu 19 Maret 2025.
Dalam pernyataan yang ditandatangani Eko Riyadi (Direktur PUSHAM), Masduki (Direktur PSAD UII) dan Dian Kus Pratiwi (Direktur PSHK FH UII), ketiga pusat studi di UII ini mengingatkan agar Indonesia harus tetap menjaga dan meneguhkan kembali komitmen dan amanat reformasi 1998, termasuk penghapusan Dwi Fungsi ABRI.

Prajurit militer aktif adalah jantung sekaligus tembok pertahanan Republik Indonesia, sehingga seharusnya tidak ikut terkontaminasi dengan politik praktis pengisian jabatan sipil.
Pengaturan 10 jabatan sipil dalam UU TNI dan mengacu draf revisi RUU TNI yang beredar, jumlah jabatan yang akan ditambah menjadi 16 instansi dan lembaga kenegaraan, termasuk Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung, menurut ketiga pusat studi di UII, telah menodai amanat reformasi.
“Sejarah kelam bangsa Indonesia menunjukkan bahwa keberadaan prajurit TNI di instansi penegak hukum, yaitu Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung, telah meruntuhkan penegakan hukum di Indonesia. Hukum menjadi alat yang tunduk pada perintah atasan dan loyal pada keinginan komandan, bukan pada kebenaran dan keadilan. Penegakan hukum tidak boleh diintervensi oleh siapapun, dibiarkan mengikuti fitrahnya yang hanya tunduk pada keadilan, kemanfaatan, dan kepastian,” tegas ketiga pusat studi milik UII ini.
BACA JUGA:
- Civitas Akademika UII dan UGM Kompak Tolak Revisi UU TNI, Rektor: Indonesia Punya Sejarah Kelam
- Civitas Akademika UGM Menuntut Pemerintah dan DPR Batalkan Revisi UU TNI
Ketiga pusat studi ini juga mengingatkan bahwa sejarah telah membuktikan bahwa kebijakan dwifungsi TNI menyebabkan pelbagai represi dan pembungkaman terhadap suara kritis. Jika kebijakan yang sama dihidupkan kembali, sama saja dengan menghidupkan kembali ketakutan akan ancaman-ancaman dari intervensi militer yang kuat.
Hal ini secara nyata bertentangan dengan jaminan Pasal 9 ayat (2), Pasal 30 dan Pasal 35 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menegaskan hak setiap orang untuk terbebas dari ancaman ketakutan dan hak setiap orang atas tatanan masyarakat dan kenegaraan yang tenteram. Kebijakan tersebut juga secara nyata bertentangan dengan jaminan Pasal 9 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights, yang menegaskan hak setiap orang atas rasa aman (security).
Mengutip hasil survei Indikator yang dirilis pada 2024, tren kepercayaan publik terhadap TNI adalah yang tertinggi dibandingkan instansi negara lainnya. Menurut ketiga pusat studi ini, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sedang menaruh kepercayaan dan simpati yang sangat tinggi atas kerja profesional prajurit TNI yang selama ini ditorehkan. Karena itu, ketiga pusat studi UII ini mengapresiasi setinggi-tingginya berbagai prestasi tersebut dan mengimbau TNI untuk terus menjaga kepercayaan rakyat Indonesia yang begitu besar.

Berdasarkan beberapa catatan tersebut, ketiga pusat studi di UII ini menyatakan, menolak seluruh tahapan pembentukan revisi UU TNI yang abai terhadap partisipasi masyarakat yang memadai (meaningful participation) dan meminta tahapan dibuka kembali dari awal, dimulai dari perumusan naskah akademik yang memenuhi standar minimal.
Kedua, menolak seluruh tambahan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit militer aktif, terutama jabatan sipil dalam hal penegakan hukum. Persoalan yang lebih mendasar justru terletak pada keberadaan Pengadilan Militer yang dikenal tertutup dan terbatas. Karena itu, diperlukan berbagai penyesuaian yang lebih tepat jika diatur dalam UU TNI terbaru.
Ketiga, menolak dengan keras intervensi militer aktif dalam penegakan hukum, baik dari aspek kelembagaan maupun kewenangan. Sejarah Indonesia menunjukkan masuknya militer aktif dalam jabatan instansi penegak hukum berujung pada runtuhnya instansi Mahkamah Agung RI. (*/lip)