Pemuda Katolik Menyoroti RUU Penyiaran yang Tidak Partisipatif Bahkan Destruktif

beritabernas.com – Sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) kepemudaan yang kini genap berusia 78 tahun, Pemuda Katolik menilai substansi yang hendak diatur dalam RUU Penyiaran dikhawatirkan dapat mengganggu mekanisme jurnalisme yang sudah berjalan baik selam ini.

Karena itu, proses perumusan RUU Penyiaran harus melibatkan banyak pihak dan adaptif terhadap beragam perspektif. Sebab substansi yang kini beredar di publik relatif memuat pengaturan yang destruktif.

Ketua Umum PP Pemuda Katolik Stefanus Gusma berpendapat bahwa proses kerja penyusunan RUU Penyiaran harus partisipatif dan deliberatif, terutama harus melibatkan insan pers. Dewan Pers hingga komunitas-komunitas pers seperti AJI, PWI, AMSI dan IJTI satu suara menolak RUU Penyiaran yang dinilai akan mengancam kebebasan pers hingga ruang digital.

“Negara tidak boleh terlalu mengatur bahkan melarang genre jurnalisme yang kini berkembang apalagi ada sensor atas jurnalisme dan ekspresi publik. Negara tidak perlu melarang genre jurnalistik apapun, misalnya jurnalisme investigatif yang diperbincangkan orang banyak. Berbagai produk jurnalistik seperti jurnalisme investigasi yang dihadirkan insan pers adalah bukti demokrasi Indonesia semakin maju dan matang. Banyak contoh jurnalistik investigasi berhasil mengubah keadaan menjadi lebih baik,” ujar Gusma dalam siaran pers yang diterima beritabernas.com, Jumat 17 Mei 2024.

BACA JUGA:

Menurut Gusma, selain membatasi liputan investigasi, poin RUU Penyiaran yang disorot ialah peralihan penanganan permasalahan jurnalisitk yang sebelumnya ditangani Dewan Pers diberikan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

“Bagaimana pun selama ini pihak yang punya kuasa atas karya jurnalistik di Indonesia adalah Dewan Pers dan kinerja mereka sejauh ini sangat optimal dengan konstruksi kelembagaan dan kewenangan yang ada,” tegas Gusma.

Gusma menilai proses politik RUU Penyiaran oleh DPR menggambarkan indikasi jelas terkait upaya parlemen untuk mengekang media. Parlemen sebagai wakil rakyat semestinya tidak mengekang jurnalisme melalui substansi yang ada dalam RUU.

“Jangan lupa, berkat kerja keras pers, kerja-kerja baik parlemen juga dapat diketahui publik. Skandal yang merugikan anggaran negara pun dapat diketahui publik sehingga bisa menjadi pembelajaran bersama. Pers adalah bagian dari rakyat, yang berhak menjalankan fungsi check and balance,” kata Gusma.

Gusma berharap penataan kewenangan dalam RUU ini tidak menimbulkan tumpang tindih antar lembaga. Dibutuhkan keterlibatan banyak lembaga dalam memproses RUU tersebut.

“Konstruksi tata kelola pers Indonesia harus dibangun dalam pola kerja kolaboratif, partisipatif, transparan, dan akuntabel. Pers sebagai pilar keempat demokrasi harus tetap kuat dan independen, namun bebas dari pengaruh dan kepentingan kelompok tertentu,” tegas Gusma. (lip)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *