Penyelesaian Konflik Sosial Melalui Penguatan Kearifan Lokal

Oleh: Ben Senang Galus

beritabernas.com – Ketika kuliah membahas tema konflik sosial, seorang mahasiswa di kelas bertanya kepada saya. Motivasi apa yang mendorong berbagai suku bangsa, agama, bahasa menyatakan diri bersatu dan memilih yang dinamakan Indonesia? 

Ikatan kukuh (indisoluble and permanent nation) di antara berbagai suku, agama, bahasa, karena kita mempunyai semangat kebersamaan, semangat persatuan dan tekad yang sama untuk membentuk negara kesatuan yang dinamakan Indonesia. Selain itu, pada awal mula menyatunya berbagai suku bangsa, bahasa, dan agama menjadi satu nation yang dinamakan Indonesia, karena kita menghadapi musuh yang sama (common enemy) yakni penjajah. Itulah yang menjadi motivasi berbagai suku menyatakan dirinya bersatu, memilih Indonesia.

Untuk meyakinkan mahasiswa tadi, agar ia puas (walaupun mungkin hatinya tidak puas dengan jawaban yang diberikan), saya mengutip pendapat Max Weber dalam Esays in Sosiology (1946), yang mengatakan, Each nation has its own of moral phylosopy conforming to is character, artinya setiap bangsa mempunyai falsafah moral masing-masing yang sesuai ciri-ciri khusus bangsa itu.

Selanjutnya ia mengatakan “karena nilai-nilai moral yang kita miliki, sebenarnya adalah nilai-nilai yang diakui bersama oleh kelompok tempat kita berada” (human concience that we must integrally realize is nothing else than the collective concience of the group which we are the part).

Semakin majemuk masyarakat, semakin majemuk fungsi-fungsi di dalamnya, semakin majemuk pula nilai-nilai yang disepakati untuk dijadikan tali pengikat mereka dalam kebersamaan. Jiwa kehidupan sosial suatu masyarakat bersumber dari dua hal yakni adanya pembagian fungsi di antara sesama anggotanya dan adanya kesamaan pandangan tentang nilai-nilai moral.

Pandangan tentang nilai-nilai moral itu akan berkembang sesuai dengan perkembangan kemajemukan dalam masyarakat itu sendiri. Ada yang berubah, ada juga yang dipertahankan. Jika unsur kesamaan hilang dari seseorang, maka ia dilihat sebagai bukan orang kita atau ia berbeda dari kita. Jika kehilangan kesamaan itu terjadi pada sisi yang dianggap sebagai fundamental, maka dapat merusak kelangsungan hidup  itu sendiri.

Weber, menegaskan, It is impossible for offense againts the most fundamental collective sentiments to be tolarable with out the disintegration (tidak mungkin pelanggaran terhadap sentimen kolektif yang paling mendasar dapat ditoleransi tanpa adanya disintegrasi).

Pesatnya perkembangan dalam revolusi teknologi ternyata semakin meniadakan batas bagi masyarakat dunia. Meminjam Kenichi Ohmae dalam The Borderless World: Power and Strategy in the Interlinked Economy (1999), menyatakan, dunia tanpa batas disebabkan oleh keterkaitan ekonomi antar negara dan peranan aktor non-state dalam mempengaruhi kebijakan suatu negara.

BACA JUGA TULISAN LAINNYA:

Dalam dunia tanpa batas, peran pemerintah menjadi berkurang. Pemerintah yang lambat memahami fakta bahwa peran negara telah berkembang dari melindungi masyarakat dan sumber daya alam yang berasal dari ancaman ekonomi luar kepada peran untuk memastikan bahwa masyarakat memiliki jangkauan terluas atas pilihan antara barang dan jasa terbaik dan termurah dari seluruh dunia.

Selain itu, Kenichi Ohmae menyatakan bahwa terjadi pergeseran paradigma yang sangat fundamental yang telah mengubah cara berbisnis yang terjadi di dunia, dimana pergeseran ini akan sangat mempengaruhi ekonomi global masa depan. Faktor inilah yang menjadi salah sebab kemungkinan konflik di berbagai belahan dunia tanpa henti.

Berbagai kemajuan ikut melahirkan konflik primordial (suku, agama, ras) dalam bungkus globalisasi ideologi dan ekonomi. Konflik primordial terasa di berbagai daerah beberapa waktu lalu seperti konflik Poso, Sambas dan Ambon. Termasuk juga konflik pendirian rumah ibadah, konflik ibadah. Semua itu sebenarnya memperlihatkan bagaimana globalisasi ideologi yang menyungkup dunia, juga memperlihatkan  adanya elemen politik di dalamnya.

Kesenjangan ideologi

Terjadinya dislokasi posisi dan disorientasi nilai, baik bagi individu maupun kelompok masyarakat sebenarnya memaknai bahwa dalam kehidupan kini telah terjadi kesenjangan ideologi, akibat kebijaksanaan yang dilakukan oleh negara.

Dan di bidang politik, melahirkan marginalisasi politik yang sebenarnya mencairkan identitas individu atau kelompok dalam masyarakat. Kebutuhan akan identitas itulah yang melahirkan berbagai potensi isu primordialisme dan konflik horisontal di Indonesia. Melalui pengatasnamaan primordialisme sebagai identitas, maka militansi yang tercipta memperlihatkan sebagai passion bagi para pendukungnya.

Pada sisi yang lain, penyeragaman yang terjadi, yang dilakukan oleh negara menolak pluralisme serta berupaya meniadakannya, justru memperlihatkan gambaran yang pedih, sebagaimana yang terlihat pada sejumlah konflik horizontal di beberapa daerah. Kkonflik seperti itu memperlihatkan betapa kuatnya kesetiaan lokal atau kesetiaan terhadap ikatan-ikatan primordial yang antara lain disebabkan oleh faktor hubungan darah, ras, daerah, agama, dan adat istiadat, yang menurut Geertz, dalam The Integrative Revolution: Primordial Sentiments and Civil Politics in the New State (1983), dapat merupakan pemicu bagi ancaman integrasi bangsa.

Konflik-konflik atau ketidakpuasan primordial timbul karena etnis-etnis tertentu merasa tersisih oleh pembangunan sehingga hal itu dapat menimbulkan kecemburuan seperti yang dikatakan oleh Geertz, In first instance primordial discontent arises from a sence of political suffocation; in the second, from a sence of political dismemberment (pertama, ketidakpuasan primordial muncul karena perasaan tercekik secara politik; yang kedua, karena rasa perpecahan politik).

Munculnya berbagai konflik di tanah air sebenarnya merupakan ekses langsung dari praktek otonomi daerah. Gejala tersebut dapat dipahami karena pelaksanaan otonomi daerah yang pertama diberlakukan di tengah-tengah krisis ekonomi yang amat parah. Kedua, otonomi daerah diberlakukan di tengah-tengah euphoria masyarakat, yakni semangat dan rasa percaya diri yang tinggi bahwa masyarakat yang seringkali bersifat kekerasan dan melewati batas-batas kewajaran.

Seperti yang dikatakan oleh Myron Weiner, dalam Problem of Integration  and Modernization Breakdowns, dalam Jason L Finkle and Richard W. Gable, Political Development and Social Change (New York. London, Sydney, John Wiley & Sons. Inc., 1966, masalah hampir semua negara  berkembang adalah bagaimana “menghapus” kesetiaan-kesetiaan lokal menuju kepada ikatan yang tidak sempit untuk menciptakan integrasi bangsa dan membentuk integrasi nasional. Memang nampaknya agak rumit bagi negara-negara yang beragam seperti Indonesia ini untuk menciptakan integrasi yang mantap.

Masalahnya adalah bahwa sentimen-sentimen primordial tidak dapat dihapus. Dalam hal ini yang dapat dilakukan adalah bagaimana mewadahi kesetiaan-kesetian lokal tersebut dalam kerangka negara nasional. Weiner selanjutnya mengatakan bahwa, salah satu cara menciptakan integrasi nasional adalah, The establishment of national loyalties eliminating subordinate cultures-the policy of “unity in diversity” politically characterized by “ethnic arithmetic”. “It remains to be seen whether the ideal of unity and  diversity . that is political unity and cultural diversity can be the foundation for modern states. Perhaps  the most promising prospects are those in which no single ethnic groups dominate.” (pembentukan loyalitas nasional yang menghilangkan budaya subordinat-kebijakan “persatuan dalam keberagaman” yang secara politis bercirikan “aritmatika etnis”. “… Masih harus dilihat apakah cita-cita persatuan dan keberagaman. yaitu kesatuan politik dan keragaman budaya dapat menjadi landasan bagi negara modern. Mungkin prospek yang paling menjanjikan adalah prospek yang tidak didominasi oleh satu kelompok etnis pun).

Apa yang diutarakan  oleh Geertz dan Weiner  tampak mengena bagi Indonesia. Contoh-contoh kasus konflik horizontal di Indonesia adalah merupakan munculnya kesetiaan dan identitas lokal yang menjadi pemicu  dari ketegangan-ketegangan politik maupun sosial. Nampaknya ketegangan-ketegangan itu ditimbulkan karena sentimen primordial sesudah kita memberlakukan desentralisasi melalui Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomo Daerah.

Kekerasan antarkelompok, antaragama yang meledak secara sporadis di akhir tahun 1990-an sampai dengan saat ini di berbagai kawasan di Indonesia menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam negara-bangsa, betapa kentalnya prasangka antara kelompok, antaragama dan betapa rendahnya saling pengertian antarkelompok. Sehingga Colombijn, dalam “Introduction”, in Colombijn and Lindbald (eds) Roots of Violence in Indonesia,Contemporary Violence in Historical Perspective, Leiden: (2002) menyebut Indonesia sebagai “a violent country. Menurutnya, orang-orang Indonesia telah mengalami tingkat kekerasan yang mengerikan.

Paling tidak ada tiga kelompok sudut pandang yang biasa berkembang dalam menyikapi perbedaan identitas kaitannya dengan konflik yang sering muncul di tanah air. Pertama, pandangan primordialis. Kelompok ini menganggap, perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras, agama merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis maupun agama.

Kedua, pandangan kaum instrumentalis. Menurut mereka, suku, agama, dan identitas yang lain dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar, baik dalam bentuk materiil maupun non-materiil. Konsepsi ini lebih banyak digunakan oleh politisi dan para elit untuk mendapatkan dukungan dari kelompok identitas.

Dengan meneriakkan “Islam” misalnya, diharapkan semua orang Islam merapatkan barisan untuk mem-back up kepentingan politiknya. Oleh karena itu, dalam pandangan kaum instrumentalis, selama setiap orang mau mengalah dari preference yang dikehendaki elit, selama itu pula benturan antar kelompok identitas (agama) dapat dihindari bahkan tidak terjadi.

Ketiga, kaum konstruktivis, yang beranggapan bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan kaum primordialis. Etnisitas, bagi kelompok ini, dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial. Karenanya, etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya budaya. Bagi mereka, persamaan adalah anugerah dan perbedaan adalah berkah. 

Klaim Kebenaran

Indonesia sebagai negara multietnis memperlihatkan kecenderungan kurang “bersehabat”, oleh karena struktur masyarakat kita yang organik, yakni hubungan antaretnis nampaknya hanya bersifat semu. Setiap etnis sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri, tanpa adanya kesediaan ruang dialog untuk memecahkan kebuntuan hubungan itu.

Selain itu munculnya pula klaim kebenaran (truth claime) pada setiap etnis tanpa memperlihatkan sifat bersehabat, mendorong munculnya konflik yang mengarah pada perpecahan. Dalam tataran ini Max Weber, mengatakan bahwa orang-orang yang tidak memperlihatkan sifat persahabatan dengan orang lain, berarti tidak mempunyai sifat-sifat solidaritas dengan orang lain yang bisa menimbulkan semacam collective efferrescence atau keadaan yang meluap yang dialami oleh kelompok. Sifat-sifat masyarakat yang selalu mengarah kepembentukan kelompok eksklusif yang mengakibatkan majemuknya kepentingan itu mempunyai konsekuensi dari munculnya konflik terbuka.

Konflik horisontal di Indonesia, bisa mungkin sangat rentan karena kelompok kepentingan yang terdapat dalam masyarakat mempunyai kepentingan sendiri dan ingin supaya kepentingan itu didahulukan dari pada kepentingan kelompok lainnya. Oleh karena itu, perlu dipahami bahwa kalau kita mau membuat masyarakat menjadi  lebih baik, lebih harmonis dari pada sekarang, pengetahuan atau pemahaman kita terhadap etnis lain mutlak diperlukan. Hanya dengan pengetahuan atau pemahaman itu kita dapat mendekati permasalahan pokok yang dihadapi bangsa kita.

Merebaknya konflik horisontal di banyak tempat di Indonesia paska otonomi daerah sampai dengan saat, ini merupakan bagian dari krisis multi dimensi yang dihadapi oleh negara dan bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Konflik horizontal demikian telah menggugah kesadaran baru di antara komponen bangsa Indonesia bahwa kebanggaan akan kehidupan berbangsa satu di atas kebhinekaan adalah suatu yang terbayang,-Komunitas-Komunitas Terbayang, Imagined Communities, menurut Benedict Anderson (2008),-karena para anggota bangsa terkecil sekali pun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka.

Konflik horisontal memberi bukti bahwa kekokohan bangunan supra-struktur negara kebangsaan sangat rapuh. Ada dua faktor penyebab kerapuhan fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara menurut Suparlan (2001). Pertama, doktrin ideologis Bhineka Tunggal Ika telah diselewengkan oleh sebuah kekuatan yang berorientasi pada pemerintahan pusat. Akibatnya daerah-daerah kurang diberi kepercayaan untuk mengurus dirinya sendiri.

Kedua, pembangunan yang dilakukan di atas sebuah komunitas plural lebih memaksakan pola yang berkarakteristik penyeragaman berbagai aspek sistem sosial, politik, dan budaya. Akibatnya, jati diri sistem lokal dikesampingkan. Ada tiga hal yang biasa melatarbelakangi munculnya disinteraksi/konflik antara kelompok mayoritas dan orang-orang yang termasuk dalam kelompok minoritas, menurut Greenstone, dalam Race and Authority in Urban Politics: Community Participation and the War on Poverty (1973) yaitu: (1) prasangka historis, (2) diskriminasi dan (3) perasaan superioritas in-group feeling yang berlebihan dengan menganggap inferior pihak yang lain (out-group).

Munculnya konflik yang benuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) pada beberapa daerah di Indonesia, dari banyak studi yang dilakukan salah satu penyebabnya adalah, akibat dari lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang konsep kearifan budaya. Konflik akan muncul apabila tidak ada distribusi nilai yang adil kepada masyarakat. Terdapat perbedaan ras pada masyarakat menjadi penanda awal yang secara budaya sudah dilabelkan hambatan, yakni prasangka rasial.

Prasangka rasial ini sangat sensitif karena melibatkan sikap seseorang ataupun kelompok ras tertentu terhadap ras lain. Prasangka ini juga bisa muncul oleh situasi sosial, sejarah masa lalu, stereotipe dan etnosentrisme yang menjadi bagian dalam kebudayaan kelompok tertentu. Dengan kata lain dinamika dan perkembangan masyarakat Indonesia ke depan sangat dipengaruhi oleh hubungan-hubungan antar etnis.

Konsep kearifan budaya lokal, dalam konteks kehidupan dan relasi sosial di tengah komunitas yang majemuk memiliki kekuatan (power) dalam menciptakan suasana sosial yang kondusif. Maka dengan memahami dan mengangkat kearifan budaya lokal dalam konteks kehidupan di tengah masyarakat yang pluralis, secara sejatinya dapat memberikan peran bagi tertatanya hubungan sosial yang harmoni dengan semangat saling menghargai dan menghormati.

Adalah suatu kenyataan bahwa masyarakat Indonesia terbagi dalam berbagai kesukuan, keagamaan, dan kedaerahan. Namun, ketika segmentasi horizontal tersebut berubah menjadi kesadaran sejarah, sistem nilai budaya, pengelompokan sosial dan kepentingan kelompok yang saling berbeda, maka masalahnya menjadi lain, lebih dari sekedar untuk dapat disebut sebagai kenyataan, melainkan telah menjadi potensi konflik. Tidak mudah mengatasi konflik horizontal, karena pada dasarnya kesukuan, keagamaan, dan kedaerahan merupakan faktor yang bersifat tetap (fixed) dan kefaktaan yang membatasi (faclicity). 

Indonesia memiliki potensi konflik cukup laten, jika tidak dikelola secara bijak dapat menimbulkan disintegrasi, yaitu potensi konflik antarsuku, agama, ras, golongan, pusat-daerah, sipil-militer, lembaga-lembaga pemerintah atau negara, penguasa-masyarakat, dan lain-lain. Selain itu, terdapat potensi konflik yang mewarnai implementasi otonomi daerah, seperti konflik antarpemerintah lokal (saling berbatasan), konflik antarkekuatan rakyat berbasis lokal melawan aparat pemerintah, konflik antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat, dan sebagainya.

Pola penyelesaian konflik di suatu daerah tak mungkin diterapkan di daerah lain. Oleh karena itu, dalam menentukan langkah penyelesaian berbagai peristiwa konflik perlu dicermati dan dianalisis, tidak saja berdasarkan teori konflik universal, tetapi perlu juga menggunakan paradigma lokal agar objektivitas tetap berada dalam bingkai kondisi, nilai, dan tatanan kehidupan setempat.

Faktor-faktor penting yang menjadi dasar analisis dan pemecahan konflik diantaranya menyangkut: pemangku kepentingan yang terlibat, fase—tingkat konflik, isu dan faktor penyebab, jenis konflik, arah atau kebijakan daerah, potensi—sumber daya, sifat kekerasan, wilayah, kapasitas dan perangkat (tools), dan komunikasi dan jalinan hubungan pihak-pihak yang bertikai. Dalam merespon konflik dibutuhkan penyelesaian lebih tepat dengan menerapkan model penyelesaian yang disesuaikan dengan kondisi wilayah serta budaya setempat, melalui penguatan kearifan lokal. (Ben Senang Galus, penulis buku Postmodernisme dan Sketsa Hibriditas, tinggal di Yogyakarta)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *