Universitas Sebagai Kota Terlarang

Oleh: Ben Senang Galus

beritabernas.com – Universitas atau perguruan tinggi saat ini tengah mengalami dilema. Di satu sisi masih mempertahankan ideologi tradisionalnya, yakni “pendidikan demi pendidikan”, sementara di sisi lain berhadapan dengan sebuah era yang disebut era turbulence-suatu era yang penuh tantangan, perubahan, yakni menuju universitas kelas dunia (world class university), siap dalam kompetisi global.

Untuk menuju universitas kelas dunia, setiap universitas menyusun konsep Total Quality Education (TQE), yaitu perencanaan sistem kualitas, proses sistem kualitas, pengendalian sistem kualitas, peningkatan sistem kualitas dan evaluasi sistem kualitas, pengembangan kurikulum berbasis kompetensi global, proses pembelajaran yang interaktif, sampai kepada ikut bertanggungjawab untuk memuaskan pengguna lulusan itu.

Manajemen sistem kualitas pendidikan tinggi ini apabila dioperasionalkan, akan terdiri atas empat komponen utama, yaitu riset pasar tenaga kerja, desain universitas berbasis kompetensi global, operasional proses universitas yang interaktif dan bertanggungjawab menghasilkan lulusan yang kompetitif dan berkualitas ke pasar tenaga kerja.

Dalam operasionalnya universitas tidak saja mempersiapkan kompetisi global, namun juga menghidupkan kembali tradisi budaya budi dalam lingkungan universitas berdasarkan ukuran kemanusiaan yang berbudaya sedang tercekik oleh tekanan spesialisasi dan pemanfaatan praktis.

Namun perlu kita sadari bahwa penghidupan kembali itu berhadapan dengan kesulitan-kesulitan yang besar. Secara tradisional universitas memang justeru tidak mau menghasilkan orang-orang yang “siap pakai.”  Dalam hal ini diandaikan bahwa seseorang yang mendalam budaya budinya mudah akan memperoleh keterampilan-keterampilan spesifik yang diperlukan kemudian dalam profesinya.

Namun keadaan itu sudah lewat jauh. Universitas sekarang lebih mirip dengan sebuah pabrik yang menghasilkan barang konsumsi massal. Oleh karena itu segala apa yang tak perlu untuk ujian atau demi keterampilan profesional yang dicari, semakin tersingkir. Dulu kehidupan akademis dapat saja berjalan  dengan lebih santai karena yang masuk universitas biasanya anak kelas-kelas atas yang tidak berada di bawah tekanan uang dan waktu.

Memboroskan dua sampai empat semester dengan kesenangan kehidupan khas mahasiswa dianggap biasa, bahkan baik bagi peluasan cakrawala mereka (bahwa di Indonesia sekarang masih ada mahasiswa  yang sekali-kali menyanyikan lagu kuno gaudeamus igitur iuvenes dum sumus (mari kita bersenang-senang selagi kita masih muda, mari kita bersukaria, berfoya-foya selagi kita masih punya uang), merupakan suatu ironi besar yang tak disengaja mengingat mereka berada di bawah tekanan sistem SKS dan UKT, dan sekian banyak peraturan lain, belajar merdeka, merdeka belajar. Saking merdekanya, mereka sungguh-sungguh merdeka tidak belajar, tidak membaca buku.

BACA JUGA:

Kesantaian adalah prasyarat untuk berfilsafat, bersastra, dan berseni. Sedangkan sekarang suasana di universitas tidak banyak berbeda dari SMA dan dituntut segala macam tugas dan prestasi. Apalagi itu merupakan suatu “pembalasan dari local genius”, semacam efektif dan efisien sudah menjadi mantra ajaib yang diucapkan oleh siapa pun pada kesempatan apa pun, kiranya dalam harapan alim asal mantra itu diulang-ulang dengan tekun.

Tiga Metafora

Dalam mengungkap peran dan kontribusi universitas dalam strategi pembangunan bangsa, tiga metafora berikut menjadi rujukan penting, yakni: kota terlarang, kuburan,  dan batu nisan.  

“Kota Terlarang” (Forbiden City) adalah sebuah kota yang kini menjadi salah satu obyek wisata terkemuka di tengah kota Beijing. Kota ini didirikan abad ke 13 sampai abad 15 dengan luas 72 hektar. Di area ini berdiri bangunan kerajaan Dinasti Yuan, Dinasti Ming, Dinasti Ming, dan Dinasti Qing. Tempat ini terlarang untuk dikunjungi, kecuali atas ijin raja atau keluarganya.

Ada kisah unik tentang kehidupan para raja di kota terlarang. Konon, setiap kali seorang raja baru akan dilantik, hal pertama yang harus dilakukan adalah membangun makamnya, tempat dia kelak dikuburkan. Sebelum raja yang baru itu memerintah, dia diminta merenung berhari-hari di makamnya. Dia kelak ingin dikenang sebagai apa? Apakah seorang raja yang bijaksana, cinta ilmu pengetahuan cinta akan kebijaksanaan, cinta akan kebenaran? Raja yang cinta keadilan? Raja yang cinta perdamaian? Raja yang menjalin persehabatan dengan musuhnya?

Dari makam ini, dia menyusun roadmap, program kerja (yang realalistis, bukan program bohong) yang kelak dia laksanakan dalam pemerintahan yang akan dijalankannya. Setiap raja baru memiliki preferensi pilihan yang berbeda. Demikian pula kebijakan utama sang raja.    

Konsep perguruan tinggi sebagai “kota terlarang” mengandung arti masa pendidikan di perguruan tinggi menjadi sebuah fase pendidikan penting yang menyiapkan para pemimpin (mahasiswa) untuk menyusun roadmap masa depannya sendiri maupun masa depan bangsanya. Masa pendidikan di universitas menjadi kesempatan emas, sebuah momen konsekrasi, ruang formasi diskursif, seperti sang raja di atas makamnya sendiri, untuk menyusun masa depan yang diinginkannya beserta jalan  yang harus ditempuhnya.

Universitas di Indonesia sudahkah melaksanakan konsep perguruan tinggi sebagi kota terlarang ini? Sejak mahasiswa memasuki kampus, mereka sudah semestinya diperkenalkan dengan The 7 Habits of Highly Effective Teens karya Sean Covey (1998). Kebiasaan ke-2-Begin with the End in Mind melatih mahasiswa menggambarkan secara sungguh-sungguh masa depan yang ingin dibangunnya. Dengan prinsip utama: control your own destiny or someone else will, mahasiswa menyusun roadmap masa depan yang diinginkannya (membangun makamnya).

Kreativitas mahasiswa akan diperlihatkan  dalam proses “merenung di makam ini”. Roadmap itu akan menjadi mimpi dan obsesi yang akan mereka wujudkan. Jika akan menjadi guru atau pastor, guru atau pastor seperti apakah mereka? Ahli psikologi, hukum, ekonom, teknik, farmasi, dan lain-lain yang seperti apakah mereka di masa depan?

Dengan menyusun roadmap masa depannya dan masa depan bangsanya, mahasiswa terlibat dalam gerak pembangunan bangsanya. Tidak mungkin bangsa Amerika Serikat berubah menjadi bangsa yang menghargai keragaman rasial jika tidak diawali dengan pidato I Have a Dream. Mustahil bangsa Tiongkok mencapai kemajuan peradaban yang tinggi di abad pertengahan  tanpa “makam” tempat para raja menyusun strategi kebudayaan bangsa.

Batu nisan merupakan monumen perjalanan hidup manusia, sebuah tempat di mana tidak ada lagi  yang mau kita lakukan. Karena itu, batu nisan dapat menjadi penanda bagi kita menata perjalan dan masa depan kehidupan. Di atas batu nisa Martin Luther King Jr tertulis sebuah kalimat penting yang terus dienang dunia dan menggambarkan sosok tokoh ini. Free at Last. Free at Last. Thank God Almighty. I am Free at Last.

Kalimat itu diambil dari bagian penutup pidato monumental Martin Luther King Jr berjudul I Have a Dream, sebuah pidato yang dipandang ikut mengubah peradaban dan arah pembangunan bangsa Amerika Serikat.

Agar perguruan tinggi benar-benar menjadi tempat persemaian bagi setiap anak muda dalam belajar merumuskan dan mewujudkan passion-nya, maka universitas pun harus menjadi sekolah kepemimpinan. Sekolah kepemimpinan adalah sekolah yang terus menghidupkan  api kegelisahan intelektual  dan membing mahasiswa  menyusun roadmap masa depan bangsa dan umat manusia di atas makamnya (Y Yapi Taum, 2019).

Pengikisan Integritas

Universitas berarti lembaga pendidikan tinggi. Kata universitas berasal dari bahasa Latin, unus (satu) dan verto, vertera, versi, versum  yang berarti “memalingkan, menghadapkan”. Dengan kata lain, “universitas” memuat pengertian “menghadapkan pikiran ke satu arah dengan tanya jawab pada diri sendiri.”

Pengertian universitas dewasa ini lebih dekat dengan istilah academia, yaitu sekolah di Athena yang didirikan oleh Plato (427-347SM). Academia adalah sekumpulan orang  yang memuja dewa Musa (bukan Nabi Musa) yang ada adalah dewa nyanyian, sajak dan sastra. Plato berkumpul dengan murid-muridnya di sebuah “taman” yang letaknya jauh dari kota Athena, untuk menghormati pahlawan Yunani dalam Perang Troia (1250SM) bernama academos.

Kalau segala sesuatu diselidiki dengan akal sehat hingga terbentuklah ilmu yang dijadikan dalam satu wadah, itulah universitas. Pertanyaannya, sudahkah universitas kita membangun makam para mahasiswanya?

Menjawab pertanyaan ini, Indonesia sedang membangun peradaban ilmu pengetahuan justeru dilanda oleh praktik-praktik penelitian fiktif. Sebuah keanehan, seorang guru besar di sebuah universitas bisa (menghasilkan 140 jurnal yang dimuat di jurnal internasional bergengsi (Januari sampai dengan April 2024). Ini namanya penelitian bim salabim. Seperti ini sering terjadi, karena itu berarti sebuah bentuk pengikisan integritas intelektual serta sebuah bentuk pengingkaran kebenaran. Sesungguhnya, hal demikian erat hubungannya dengan kondisi obyektif sebuah universitas, yang tidak pernah memperdulikan segi-segi penalaran atau kualitas mahasiswa.

Hampir setiap bulan saya berdikusi dengan beberapa mahasiswa, mulai dari strata satu sampai mahasiswa calon doktor. Banyak hal yang didiskusikan, mulai dari hal yang sederhana sampai dengan tugas mereka sebagai mahasiswa. Singkatnya, membaca beberapa paper, skripsi atau bahkan disertasi mahasiswa, saya menjadi sadar bahwa ketikmampuan untuk menguasai bahasanya sendiri adalah identik dengan ketidakmampuan untuk menguasai pikiran. Bicara dan menulis dalam bahasa buruk adalah sama dengan kemampuan berpikir buruk. Itu bagian dari pengingkaran kebenaran ilmu pengetahuan.

Dalam terminologi Julien Benda (La Trahison des Clercs 1927), mengatakan, para cendekiawan atau ilmuwan yang mengingkari kebenaran dan keadilan demi kepentingan primordial dan politik bisa disebut sebagai pengkianat moral. Pada hakekatnya cendekiawan atau ilmuwan tidaklah memiliki tujuan-tujuan praktis. Motif kegairahan mereka adalah berbakti kepada kebenaran atau bukan untuk memperoleh keuntungan sosial, politik, dan kebenaran. “Kerajaanku bukanlah di dunia ini”, itulah seharusnya kata hati setiap cendekiawan atau ilmuwan, demikian tulis Benda.

La Trahison des Clercs memang sebuah kritik terhadap kecenderungan dan kegairahan para intelektua atau cendekiwan Perancis awal abad XX untuk masuk dalam kancah politik. Kritik itu masih relevan untuk kita hubungkan kepada mahasiswa kita di saat ini. Kebanyakan mahasiswa kita saat ini sudah keluar dari dasar profesi keilmuan dan menyerahkan diri pada golongan yang berkuasa demi pemenuhan kepentingan sosial dan kebendaan semata. Maka mahasiswa seperti ini bisa diklasifikasikan, meminjam Grigori sebagai “cendekiawan pengecut”. Mereka hanya mau menciptakan sesuatu yang serba gampang, tanpa melalui suatu kerja keras.

Entah besar atau kecil, bahwa kultur akademis mahasiswa telah kehilangan semangat yang dipengaruhi oleh satu kondisi obyektif sebuah universitas, yang terwujud dalam beberapa gejala dominan atau berupa komitmen yang diemban atau karakteristik masalah yang dihadapi oleh sebuah universitas yang digerogoti banyak penyakit, seperti miskin dana, kompetensi dan kapabilitas dosen masih rendah serta fasilitas kampus yang serba minim.

Oleh karena itu tradisi-tradisi seperti berikut ini sudah saat dikembangkan oleh universitas. Pertama, kembalikan jati diri universitas ke “habitusnya”, yakni sebagai musafir pencerahan intelektual, mengembangkan kejujuran intelektual, mengembangkan tradisi keilmuan.    

Kedua, membangun privat habit  untuk menumbuhkan  kehidupan akademis, yang pada gilirannya akan memberi sumbangan bagi public habit, mahasiswa sudah dibiasakan belajar dalam paradigma perspektif. Maksudnya ialah mahasiswa tak cukup belajar sebatas ilmunya atau bidangnya sendiri. Mahasiswa dituntut oleh perubahan yang tak menentu untuk belajar berbagai hal lain sebagai tindakan antisipatif untuk menyongsong perubahan tadi. Hal inipun dilandasi oleh satu kenyataan bahwa selepas belajar di universitas, mahasiswa akan menghadapi satu masa transisi, bahkan masa krisis yang tak kalah sulitnya dengan belajar. Keterampilan di luar bidang ilmu sendiri, dapat menciptakan pekerjaan sementara, sebelum mencapai pekerjaan permanen.

Ketiga, sejak masuk di universitas, para pengelola kampus harus menyiapak lahan untuk membangunkan makam para mahasiswanya. Di atas makan itu mereka akan merenung, mau menjadi apa mereka dikemudian hari, mau bawa ke mana bangsa ini nanti, jika kelak mereka menjadi pemimpin. (Ben Senang Galus, pengamat pendidikan, tinggal di Yogyakarta)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *