Perampasan Aset, Perlu Terobosan Hukum Progresif

Oleh: Ben Senang Galus, Penulis/Esais, Alumni FH UAJY

beritabernas.com – Korupsi yang berasal dari bahasa Latin corruptio atau menurut Webster Student Dictionary adalah corruptus, sesungguhnya berasal dari suatu kata Latin yang lebih tua yakni corrumpere. Corrumpere dapat diartikan sebagai kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.

Dalam studi kejahatan, korupsi bersama-sama dengan prostitusi adalah kejahatan tertua di dunia. Diperkirakan kejahatan korupsi dan prostitusi akan tetap berlangsung selama ada kehidupan di dunia.
Eddy O.S Hiariej dalam United Nations Convention Against Corruption dalam Sistem Hukum Indonesia (2019) paling tidak ada 9 tipe korupsi.

Pertama, political bribery adalah termasuk kekuasaan di bidang legislatif sebagai badan pembentuk undang-undang. Secara politis badan tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering berkaitan dengan aktivitas perusahaan tertentu.

Kedua, political kickbacks, yaitu kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang memberi peluang untuk mendatangkan banyak uang bagi pihakpihak yang bersangkutan. Ketiga, election fraud adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan pemilihan umum. Keempat, corrupt campaign practice adalah praktek kampanye dengan menggunakan fasilitas negara.

Kelima, discretionery corruption yaitu, korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan dalam menentukan kebijakan. Keenam, illegal corruption yakni korupsi yang dilakukan dengan mengacaukan bahasa hukum atau interpretasi hukum. Ketujuh, ideological corruption ialah perpaduan antara discretionery corruption dan illegal corruption yang dilakukan untuk tujuan kelompok. Kedelapan, political corruption adalah penyelewengan kekuasaan atau kewenagan yang dipercayakan kepadanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok yang berkaitan dengan kekuasaan. Kesembilan, mercenary corruption yaitu menyalahgunakan kekuasaan semata-mata untuk kepentingan pribadi.

Kejahatan korupsi di Indonesia hingga kini masih tetap menjadi persoalan penegakan hukum yang belum beranjak pada titik yang memuaskan. Dalam catatan Transparancy International (Desember 2024), yang dirilis Feberuari 2025, Indonesia berada dalam rangking 96 dari 180 negara dengan nilai Corruption Perceptions Index 37/100. Skor CPI 37 masih menempatkan Indonesia dipersepsikan sebagai negara dengan tingkat korupsi yang buruk di dunia. Jika dibandingkan dengan 10 negara ASEAN lainnya, Indonesia berada di peringkat ke-5 di bawah Singapura, Malaysia, Timor Leste dan Vietnam. 

Menariknya, dari hari ke hari jumlah koruptor yang tertangkap tangan semakin meningkat. Padahal, sejak proses penyidikan/penyelidikan dilakukan aparat penegak hukum (APH) dari tingkat awal juga semakin tegas dan tanpa kompromi. Berbagai upaya dilakukan APH sejak mulai penyelidikan dan penyidikan tampak semakin berat. Penjatuhan sanksi sosial di mana tersangka harus memakai rompi oranye dan tangan diborgol menunjukkan penanganan kejahatan korupsi sama derajatnya dengan kejahatan laiNnya, seperti: pembunuhan, narkotika, terorisme dan sejenisnya.

BACA JUGA:

Beberapa bulan terakhir, pejabat negara dan keluarganya mendapatkan perhatian dari masyarakat luas. Hal ini melihat aktivitas mereka di media sosial yang menunjukan hedonisme yang mengindikasikan adanya harta tidak wajar yang dimiliki pejabat negara tersebut.

Dalam istilah hukum, fenomena ini disebut sebagai Illicit enrichment atau kekayaan yang diperoleh secara tidak wajar. Karena seluruh kekayaan yang diperoleh pejabat negara harus berkaitan dengan pekerjaan sebagai pejabat publik, baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif, termasuk sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) mulai dari desa sampai pusat, termasuk presiden sekalipun atau .

Dalam praktiknya belum sepenuhnya semua pejabat yang diduga memiliki harta tidak wajar dapat dipidanakan, sebab Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) di Indonesia belum mengkategorikan kekayaan tidak wajar sebagai sebuah kejahatan.

Walupun Analis Transaksi Keuangan Bidang Hukum pada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah memberikan dua rekomendasi terkait harta tidak wajar bagi pejabat negara. Pertama, mendorong agar UU Tipikor mengintrodusir beberapa kejahatan yang masuk kategori kejahatan tipikor dalam perspektif global seperti harta tidak wajar pejabat negara, agar dimasukan sebagai kategori kejahatan tipikor.

Kedua, memasukan masalah harta tidak wajar pada Rancangan Undang-undang Perampasan Aset (Asset forfeiture) yang saat ini masih berproses di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).  Di dalam naskah RUU Perampasan Aset  per November 2022, ada satu objek aset yang bisa dilakukan perampasan, tetapi aset ini tidak murni dikategorikan sebagai perbuatan pidana.

Di pasal 5 ayat 2 huruf a di RUU perampasan aset, dinyatakan bahwa salah satu objek yang bisa dijadikan sebagai objek perampasan aset yaitu peningkatan harta kekayaan dari setiap orang.

Artinya, di dalam RUU Perampasan Aset yang akan disahkan DPR nanti, bagi siapapun yang hartanya meningkat tetapi tidak bisa dijelaskan dan dipertanggungjawabkan asal usulnya serta keabsahannya dapat dianggap sebagai objek dalam perampasan aset. Meskipun, mekanisme dari RUU ini masih mengalami perdebatan yang cukup alot.

Pendekatan In Rem

Mekanismenya ini menjadi perdebatan karena di satu sisi pemicu awalnya adalah pemicu pidana  tapi karena pendekatannya pendekatan inrem,  suatu upaya hukum yang dilakukan oleh aparatur negara, dalam hal ini kejaksaan, untuk menuntut harta benda dari si terdakwa, keluarga atau kroni-kroninya yang diperoleh dari hasil kejahatan yang belum tersentuh dalam perkara pidana.

Pendekatan in rem ini identik dengan perdata maka akhirnya diintrodusir bahwa ketika penyidik memberikan berkas perkara, maka dia akan paralel kepada penuntut umum dan jaksa pengacara  negara yang nantinya persidangan juga parallel.

Yang menjadi persoalan adalah Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK hanya menindak transaksi keuangan yang memiliki perbuatan melawan hukum. Sementara Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuanagan atau kewenangannya hanya pada aspek melihat dan menganalisis transaksi keuangan pejabat negara. Jika terjadi seperti maka solusi awal ialah bahwa penyelenggara negara atau public official kalau uangnya tiba-tiba bertambah, tak sesuai dengan profilnya. Maka, PPATK mendorong agar penggunaan mekanisme pemidanaan yang bersifat inpersona, atau perampasan aset yang didahului dengan adanya proses pemidanaan, sebagaimana dimaksud dalam Ketentuan Pasal 18 Undang undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, digeser kepada inrem atau perampasan asset yang tidak didahului oleh proses pemidanaan, disebut sebagai Non Conviction Based (NBC) Asset Forfeiture.

Asset Forfeiture & nbsp atau perampasan/penyitaan aset adalah hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana yang mana asetnya (uang atau properti) dirampas/disita oleh negara tanpa kompensasi sebagai konsekuensi dari pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan. Asset Forfeiture & nbsp(Perampasan Aset) ini juga dapat diartikan sebagai upaya paksa pengambilalihan hak atas kekayaan atau keuntungan yang telah diperoleh, atau mungkin telah diperoleh oleh orang dari tindak pidana yang dilakukannya baik di Indonesia atau di negara asing.

Terobosan Hukum

Instrumen kebijakan kriminal yang eksisting berlaku saat ini nyatanya amat terbatas dalam mendukung proses penelusuran dan pelacakan aset terduga pelaku kejahatan, terutama tindak pidana korupsi. UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan UU Tindak Pidana Korupsi nyatanya masih menyimpan kompleksitas dalam proses pembuktian, seperti masih harus dibuktikannya upaya menyembunyikan asal-usul kekayaan. Sayangnya, hukum Indonesia belum mengenal pengaturan tentang kekayaan gelap (illicit enrichment) sebagaimana mandat Pasal 20 Konvensi Anti-Korupsi (UNCAC). Oleh karena itu perlu ada terobosan hukum yang progresif untuk mencegah korupsi, melalui RUU Perampasan Aset.

Meski diatur sebagai non- mandatory offences, keberadaan instrumen hukum yang mampu merespons pelanggaran berupa peningkatan atau kepemilikan harta kekayaan dari seseorang yang tidak dapat dijelaskan hubungannya dengan sumber pendapatan yang sah secara hukum, bisa jadi pintu masuk penelusuran pencucian uang.

Sebagai sebuah instrumen pelacakan, LHKPN belum mumpuni menelusuri kekayaan tertentu yang tak dilaporkan, apalagi aset dan liabilitas lain yang disamarkan dengan menggunakan skema nominee dan/atau transaksi melalui korporasi bodong untuk menutupi aliran sumber dananya dalam berbagai kasus lain.

Saat ini banyak negara di dunia sudah mengatur delik ini secara khusus karena modus dan medium tindak pidana korupsi dan pencucian uang kian canggih. Banyak negara bahkan telah memperluas spektrum pengaturannya di luar pakem tradisional. Pasal 20 UNCAC, yakni tak selalu harus berupa peningkatan kekayaan yang memiliki unsur “disengaja”, “signifikan”, atau hanya dapat dilakukan oleh “pejabat publik”.

Definisi dan batasan mengenai harta kekayaan itu sendiri pun menyesuaikan dengan kebutuhan, selama tetap mengatur periode waktu peningkatan kekayaan yang signifikan itu, baik sebelum, selama maupun setelah menjabat. Pendekatan ini memungkinkan ruang interpretasi yang luas ketika mengukur total kekayaan seseorang.

Beberapa negara mengambil pendekatan illicit enrichment, yang cenderung di bawah skema pidana menargetkan harta kekayaan aktual yang telah diperoleh atau dikendalikan oleh seseorang seperti tertuang di UU Antikorupsi Bangladesh.

Julio Bacio Terracino, dalam The International Legal Framework Against Corruption, States’ Obligations to Prevent and Repress Corruption, (Cambridge: Intersentia, 2012, 19), menegaskan, mayoritas negara lain memberlakukan kategori kekayaan yang jauh lebih luas dengan konsepsi unexplained wealth atau harta kekayaan yang tidak bisa dijelaskan asal usulnya. Artinya, yang diatur bukan hanya terkait harta kekayaan dibawah kendali seseorang, namun juga mempertimbangkan apakah seseorang itu telah mendapat manfaat atau tidak, yang mungkin berkontribusi terhadap “gaya hidup” atau “standar hidup” dirinya, seperti yang terlihat dalam legislasi Hong Kong atau Pakistan.

Peluang pengaturan

Di Indonesia, sepertinya dibutuhkan pengaturan pidana illicit enrichment di UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan UU Tipikor, dan RUU Perampasan Aset agar tetap menjamin efek jera di satu sisi, serta perluasan pengaturan menggunakan konsep unexplained wealth sebagai basis di dalam RUU Perampasan Aset di sisi yang lain. Kombinasi norma ini bisa saling mengisi kekurangan dalam mendukung rezim anti pencucian uang di Indonesia. Pengaturan ini sebagai terobosan hukum progresif agar Indonesia bebas dari korupsi.

Selain itu, adopsi unexplained wealth dalam rezim perampasan aset juga mendesak karena subyeknya adalah setiap orang, dan tak hanya terbatas pada pejabat atau pegawai publik. Perluasan tafsir ini juga akan mampu menjerat mereka yang berasal dari sektor swasta seperti pemilik manfaat dari korporasi yang selama ini juga banyak menikmati kekayaan dengan cara-cara ilegal.

Pembuktian Terbalik

Perampasan aset berbasis unexplained wealth juga akan menyentuh entitas Politically-exposed Person(s) (PEPs) atau orang yang terpapar secara politik. Kedudukan PEPs sebagai fokus utama amat krusial karena mayoritas perkara korupsi melibatkan mulai dari pejabat publik, fungsionaris partai, keluarga dan kerabat serta rekan bisnis PEPs, hingga mantan PEPs. PPATK bahkan merilis ada triliunan rupiah ‘dana kotor’ yang mengalir sebagai modal pemilu.

Pada realitasnya, model perampasan aset yang tradisional cenderung belum mampu menjawab hambatan dalam proses pidana, terutama dalam hal ketidakcukupan alat bukti, meski telah memenuhi kriteria illicit enrichment seperti halnya temuan rekening gendut pejabat kepolisian di waktu silam. Terobosan hukum berupa mekanisme pembalikan beban pembuktian pada pihak termohon dalam pendekatan unexplained wealth dapat membantu memudahkan proses pembuktian.

Jika pendekatan ini diadopsi, beban pembuktian beralih pada termohon atau tergugat untuk dapat menjustifikasi asal-usul harta kekayaannya. Di titik itulah, penting untuk segera mengevaluasi sistem pengawasan profil pejabat publik, yang diikuti perbaikan mekanisme audit kewajaran harta kekayaan di dalam instrumen LHKPN. Secara gradual, ada baiknya segera mengatur delik illicit enrichment di dalam UU Tipikor, dan penguatan perampasan aset, yang diatur secara bersama lewat instrumen Unexplained Wealth Order (UWO).

Layaknya pelaksanaan UWO dalam instrumen Proceeds of Crime Act di Inggris, manifestasi UWO dapat berwujud surat perintah pengadilan untuk merampas langsung harta kekayaan yang telah dibekukan, atau pengadilan bisa menjatuhkan perintah terhadap pemohon untuk membayar sejumlah uang yang jumlahnya sama dengan harta kekayaan yang tak bisa dijelaskan oleh termohon.

Jika segera diatur, bukan tak mungkin instrumen-instrumen ini akan amat mendukung semangat pemulihan aset. Perumusan norma yang lebih luas akan memungkinkan pemberantasan korupsi tak hanya berkutat pada pelaku, namun juga mengembalikan aset yang dirampas, dan meningkatkan harmonisasi di antara penegak hukum, Ditjen Pajak, PPATK, dan lembaga pengawas internal.

Salah satu instrument hukum yaitu dibutuhkan untuk memerangi korupsi adalah aturan khusus yang dapat merampas aset atau kekayaan penyelenggara negara yang dianggap tidak wajar (illicit enrichment). Merujuk pada definisi umum, llicit enrichment diartikan sebagai tindakan memperkaya diri sendiri secara tidak sah melalui adanya peningkatan asset atau kekayaan dalam jumlah yang cukup besar dari seorang pejabat publik, dan peningkatan kekayaan tersebut tidak dapat dijelaskan asal-muasalnya atau sumbernya yang sah menurut hokum.

llicit enrichment yaitu tindakan memperkaya diri sendiri secara tidak sah berupa adanya peningkatan aset atau kekayaan dalam jumlah yang cukup besar dari seorang pejabat publik, yang mana peningkatan kekayaan tersebut tidak dapat dijelaskan kalau itu diperoleh dari sumber-sumber penghasilan yang sah menurut hukum.

Banyak sekali aparatur negara yang memiliki harta berlimpah. Nilai kekayaan mereka pun mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah, namun gaji dan berbagai tunjangan yang diterima oleh mereka pun tidak terlalu banyak. Aparatur negara ini sering terindikasi menerima suap, namun sayangnya tidak dapat dibuktikan bahwa kekayaan yang berlimpah itu merupakan hasil perbuatan tindak pidana.

Objek kekayaan yang tidak jelas asal-usulnya dapat dilihat dari indikator jumlah harta kekayaan terdakwa yang tidak sesuai/seimbang dengan sumber pendapatannya yang sah (Illicit Enrichment) berikut terbukti berkali-kalinya menerima gratifikasi. Maka dipandang dari sudut sistem beban pembuktian terbalik, sepanjang terdakwa tidak dapat membuktikan sumber pendapatan harta tersebut secara sah, wajar dianggap juga harta tersebut yang diperoleh dari penyelenggara negara tersebut berasal dari penerimaan gratifikasi.

Sebagai suatu jawaban kebutuhan pengaturan Illicit Enrichment, Satuan Tugas Pemberantasan (Satgas) Mafia Hukum pada tahun 2011 telah melakukan penelitian tentang illicit enrichment. Hasil penelitian tersebut menjelaskan beberapa tujuan dan manfaat yang diharapkan dan telah dirasakan negara-negara yang mengatur norma tersebut, yaitu: 1) Mengembalikan kerugian negara yang telah hilang dari praktik koruptif pejabat publik; 2) Mencegah pejabat publik untuk melakukan korupsi atau setidaknya meminimalisir inisiatif mereka untuk melakukan korupsi dan mendapatkan keuntungan fnancial darinya; 3) Menghukum pejabat publik yang melakukan korupsi; 4) Meminimalisir inisiatif untuk melakukan bisnis atau kegiatan lain yang sarat dengan konflik kepentingan (dengan jabatannya); 5) Meminimalisir kejahatan lain karena menghapus kemampuan financial pelaku untuk melakukan kejahatan tersebut;

Secara tidak langsung, pengaturan illicit enrichment dalam RUU Pemberantasan Aset menjadi terobosan hukum progresif, akan mendorong orang untuk lebih taat dalam membayar pajak, tidak melakukan korups. Karena jika orang memiliki kekayaan sah namun tidak membayar pajak secara benar, maka yang bersangkutan potensial disangka melakukan illicit enrichment. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *