beritabernas.com – Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSH FH UII) menyatakan perlu upaya yang serius dan sistemik untuk melakukan pembaharuan paradigma sistem pengampuan di Indonesia.
Sebab, Pasal 433 KUH Perdata berimplikasi pada tidak terpenuhinya hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI 1945. Bahkan Pasal 28 I ayat (1) UUD NRI 1945 juga telah menegaskan bahwa hak untuk diakui di hadapan hukum merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Oleh karenanya, seharusnya setiap orang diperlakukan sama dan diakui pribadinya di hadapan hukum.
Selain itu, sterotipe dan stigma terhadap penyandang disabilitas mental harus segera dihentikan. Beragam pendekatan yang sudah tidak relevan seperti pendekatan bahwa penyandang disabilitas mental disebabkan oleh dosa orangtua, ataupun pendekatan belas kasih menjadi sudah tidak relevan. Sehingga diperlukan pendekatan yang berbasis pada hak asasi manusia karena memandang seorang penyandang disabilitas mental sebagai manusia yang setara.
Baca juga: PSHI UII Kaji Kerangka Hukum Perkawinan Beda Agama dan Kepercayaan di Indonesia
Sementara implementasi Pasal 433 KUH Perdata sangat berpotensi menyebabkan “kematian keperdataan” bagi penyandang disabilitas mental sekaligus menyebabkan berbagai kendala bagi penyandang disabilitas mental yang berhadapan dengan hukum. Oleh karena itu, diperlukan sistem pengampuan yang didasarkan pada paradigma supported decesion making bukan justru subtituted decesion making.
“Kebijakan dan hukum yang berkaitan dengan sistem pengampuan di Indonesia masih belum mengakomodir kebutuhan riil penyandang disabilitas mental. Dalam perspektif perkembangan ilmu kesehatan, fakta kondisi tersebut tidaklah permanen perlu didukung dengan pengakuan hukum demi menjamin kepastian, kemanfaatan dan keadilan bagi penyandang disabilitas mental,” kata Anang Zubaidy SH MH, Kepala Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, dalam rilis yang dikirim kepada beritabernaas.com, Minggu 28 Agustus 2022.
Apa yang disampaikan Anang Zubaidy merupakan hasil diskusi/webinar yang diadakan PSH FH UII secara daring, Sabtu 27 Agustus 2022.
Menurut Anang Zubaidy, berdasarkan hal-hal tersebut, PSH FH UII merekomendasikan beberapa hal. Pertama, mengaktualisasikan secara penuh hak-hak konstitusional penyandang disabilitas yang berkaitan dengan asas equality before the law sebagaimana diatur dalam Pasal 28 D ayat (1) serta 28 I ayat (1) UUD NRI 1945. Sehingga tidak memberikan ruang sedikitpun atas tindakan diskriminatif dan tidak berkeadilan bagi penyandang disabilitas mental.
Kedua, mendorong untuk dirumuskannya kembali atau merevisi ketentuan dalam Pasal 433 KUH Perdata berdasarkan pada kebutuhan penyandang disabilitas mental dan perkembangan ilmu kesehatan terkini. Sehingga memberikan ruang paradigma supported decesion making sebagai basis pengampuan yang berkeadilan, berkemanfaatan dan berkepastian di Indonesia.
Sistem pengampuan
Menurut Anang Zubaidy, sistem pengampuan di Indonesia saat ini merujuk kepada ketentuan Pasal 433 KUH Perdata sebagai dasar hukum pengampuan. Pasal tersebut berbunyi: Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan.
Hadirnya pasal tersebut menciptakan suatu kondisi dimana setiap orang yang dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap harus diampu. Dampak dari adanya pengampuan adalah hilangnya kecakapan seseorang untuk melakukan tindakan hukum atas dirinya, khususnya untuk menggunakan hak-hak keperdataannya. Dalam konteks tersebut, salah satu kelompok disabilitas yang kerap luput dalam pertimbangan kebijakan adalah penyandang disabilitas mental.
Dikatakan, ada sejumlah problematika terkait pengaturan sistem pengampuan tersebut. Pertama, dalam praktik, jaminan hak-hak penyandang disabilitas mental tidak dapat dihindarkan dari berbagai problematika yang sistemik dan merugikan hak asasi penyandang disabilitas mental. Mulai dari kerentanan terhadap tindakan-tindakan yang diskriminatif lantaran anggapan ketidakcakapannya yang berada dalam pengampuan. Hal ini berimplikasi secara sistemik manakala penyandang disabilitas mental berhadapan dengan hukum.
Kedua, dalam aspek hukum hak asasi manusia kondisi pengampuan tersebut menyebabkan hilangnya kapasitas legal seorang penyandang disabilitas mental. Dengan dasar penilaian kapasitas mental yang tidak sempurna atau sedang dalam gangguan menjadi sebab seorang penyandang disabilitas mental dianggap tidak memiliki kapasitas hukum yang berujung pada ketidakcakapan serta hilangnya kemampuan untuk menjadi hak dan kewajiban (legal standing) serta menjalankan hak dan kewajiban tersebut (legal agency).
Ketiga, dalam perspektif hukum perdata, jika dilihat dari aspek historis dasar pengaturan yang ada dalam Buku I KUH Perdata, sejatinya sistem pengampuan didasarkan pada tujuannya yang mengarah pada perlindungan harta benda yang bersifat materialistik serta individualistik. Hal tersebut karena sistem hukum keperdataan Indonesia merupakan adopsi dari peninggalan Eropa Kontinental (Belanda).
Dalam pandangan normatif, pengaturan Pasal 433 KUH Perdata sejatinya ditujukan terhadap tindakan mewakili penyandang disabilitas oleh subyek hukum lain dalam konteks pengurusan harta benda. Kendati demikian, memang tidak dapat disangkal bahwa dalam praktiknya seringkali menimbulkan kondisi yang tidak adil khususnya bagi penyandang disabilitas mental.
Keempat, dalam perspektif ilmu kesehatan diakui secara saintifik bahwa berbagai kondisi penyandang disabilitas mental tidaklah bersifat permanen melainkan bersifat episodik manakala diberikan perawatan dan pengobatan yang tepat.
Semakin memburuknya kondisi tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan pihak terdekat seperti keluarga dalam melihat gejala dan fase-fase tertentu dalam kondisi kambuh (relaps). Sedangkan pada kondisi normal, penyandang disabilitas mental dapat beraktivitas hingga mengambil keputusan dengan baik. Oleh karena itu, diperlukan pemeriksaan medis dan penilaian yang jelas dalam menilai kapasitas mental seorang penyandang disabilitas mental.
“Dalam kondisi demikian, paradigma supported decision making dipandang dapat mengakomodir kebutuhan dan perkembangan yang ada daripada paradigma subtituted decesion making yang seolah-olah menggantikan kecakapan dan kapasitas hukum penyandang disablitas mental,” kata Anang Zubaidy. (lip)
There is no ads to display, Please add some