beritabernas.com – Prof Dr.rer.soc Masduki S.Ag MSi, Guru Besar Ilmu Media dan Jurnalisme serta Dekan Fakultas Ilmu Sosial Budaya UII, mengajukan judicial review (JR) terhadap Pasal 65 UU Nomor 27/2022 tentang Perlindungan Data Pribadi ke Mahkamah Konstitusi (MK) RI.
Sebab, meski UU PDP yang dinilai cukup progresif sejak 2022, namun sejumlah pasal dalam UU tersebut yang masih berpotensi-jika interpretasi dilakukan sepihak-justru mengganggu norma dasar yakni kebebasan akdemik, karya seni, jurnalisme sebagai pilar kehidupan sosial yang beradab. The Indonesian law reflects political value of the transition from autocracy to democracy.
“Pada hari Kamis 31 Juli 2025, secara resmi saya (selaku pribadi) bersama wakil seniman, jurnalis dan organisasi jurnalis Aliansi Jurnalis Independen, lembaga advokasi hak hak digital SAFEnet tergabung dalam Tim SIKAP (advokasi kebebasan informasi dan data pribadi) mengajukan hak judicial review (JR) terkait UU PDP pasal 65 ke Mahkamah Konstitusi, di Jakarta. Pendaftaran JR dilakukan oleh para advokat publik dari LBH Pers Jakarta dan Elsam pada pukul 10 Wib pagi, dikomando Mas Mustafa dan Mbak Gema Gita dilanjutkan dengan konferensi pers di lobi gedung MK,” kata Prof Masduki dalam rilis yang diterima beritabernas.com, Rabu 6 Agustus 2025.
Mengapa harus judicial review (JR)? dan mengapa pasal 65? Catatan kecil ini mencoba menjelaskan. UU PDP yang lahir tahun 2021 bukan menjadi produk hukum yang sempurna, terutama jika dikaitkan dengan tiga amanat konstitusi: kebebasan berekspresi, kebebasan pers dan kebebasan akademik.
BACA JUGA:
- Prof Masduki: Laporan ke Polisi karena Kritik Mengancam Kemerdekaan Berbicara dan Pers
- Prof Masduki Dilantik Menjadi Dekan Fakultas Ilmu Sosial Budaya UII
Spirit PDP adalah data protection dan ini lumarah, namun tidak otomatis menghambat aksi pengungkapan data terkait koruptor (kerja jurnalistik), data informan kasus untuk tujuan ilmiah dalam kerja akademik dan ekspresi seni yang ditujukan untuk watchdog terhadap kinerja state aparatus. Jika ini yang terjadi, maka UU PDP justru mendukung otoriterisme politik.
Indikasi pemaknaan yang mengarah pada otoriterisme atas beberapa pasal dalam UU PDP masih tinggi terutama pada pasal yang mengatur sangsi pidana. Misalnya pasal 65 yang berbunyi: Setiap orang dilarang secara melawan hukum menggunakan data pribadi yang bukan miliknya. Pasal 67 menyebutkan ancaman pidana 5 tahun atau denda 5 M. Jika pasal 65 ini diterapkan serampangan, jurnalis, seniman, dosen bisa masuk penjara.
Pasal ini berbeda dengan norma pasal 15 ayat 3 yang mengecualikan kepentingan statistik dan penelitian ilmiah. Pasal 15 ayat 3 hanya mengatur pengecualian terhadap hak subjek data secara umum. Dan hak subjek data yang diatur UU di pasal 3 sampai 8 bisa sewaktu waktu dicabut dengan ketentuan yang ada di pasal 15. Pasal 65 yang kami JR mengatur tentang larangan dan pidananya, terutama berkait pengungkapan data pribadi.
“JR yang dimohonkan ke MK adalah untuk memastikan interpretasi/pemaknaan yang menjamin kerja-kerja jurnalis, penelitian akademik, kesenian dan sastra serta seluruh hal yang kaitannya hak publik atas informasi agar tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindakan yang melawan hukum sebagaimana telah diatur di pasal 65 UU PDP sekarang. Dengan demikian, kerja kerja jurnalisme investigasi, kerja akademik yang menyasar data data sensitif serta karya seni kritis yang kerapkali diklaim subversif bisa dilakukan. Seniman, dosen, jurnalis adalah aktivis sosial dan pilar utama kebebasan berekspresi,” kata Masduki yang juga mantan wartawa ini.
“Hormat saya dan apresiasi tinggi atas segala ide, pencerahan, diskusi panjang dan tentu drafting naskah JR untuk tim LBH Pers dan ELSAM. Langkah ini menjadi ikhtiar kecil menjaga kebebasan berpikir, tradisi riset isu isu kritis seperti peristiwa pembantaian tahun 1965, menjaga keberlanjutan siniar Bocor Alus atau karya seni publik untuk advokasi. Ia juga sekaligus ikut memitigasi kredibilitas akademik yang tercemar oleh kasus represi hukum di satu sisi dan budaya malpraktek riset di sisi lain,” kata Masduki.
Menurut Prof Masduki, penyebutan data pribadi tertentu di acara podcast Bocor Alus Tempo, liputan soal data diri koruptor/ pelanggar HAM oleh media alternatif sekelas Project Multatuli hingga menulis identitas diri informan riset secara terbuka demi menguatkan kredebilitas data riset ilmiah bisa dianggap pelanggaran hak privacy. Peneliti rawan aksi gugatan hukum bukan semata pemcemaran nama baik yang mengacu rezim UU KUHP dan UU ITE. Riset ilmiah untuk membongkar peristiwa 65 misal, akan terus terhambat seperti zaman Orba. (*/lip)
There is no ads to display, Please add some