beritabernas.com – Guru Besar Ilmu Komunikasi UII Prof Dr.rer.soc Masduki S.Ag MSi dilantik menjadi Dekan Fakultas Ilmu Sosial Budaya periode 2025-2026 di GKU Prof Sardjito Kampus Terpadu UII, Senin 2 Juni 2025.
Prof Masduki yang juga mantan wartawan ini juga menjabat sebagai Kepala Pusat Studi Agam dan Demokrasi (PSAD) dan sebelumnya menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian UII.
Pada waktu dan tempat yang sama juga dilantik Dekan Fakultas Psikologi UII Dr Phil Qurotul Uyun S.Psi MSi periode 2025-2026. Selain Dekan, juga dilantik Wakil Dekan Fakultas Psikologi bidang Sumber Daya
Resnia Novitasari S.Psi MA dan Wakil Dekan bidang Keagamaan, Kemahasiswaan dan Alumni
Sonny Andrianto S.Psi MSi PhD.
Selain itu, juga dilantik Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial Budaya bidang Sumber Daya Irawan Jati S.IP M.Hum M.SS PhD dan Wakil Dekan bidang Keagamaan, Kemahasiswaan dan Alumni Nizamuddin Sadiq S.Pd M.Hum PhD.
Fakultas Psikologi dan Fakultas Ilmu Sosial Budaya UII merupakan pemekaran dari Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya atau satu fakultas dan kini dimekarkan menjadi dua fakultas yang terpisah. Pelantikan Dekan dan Wakil Dekan kedua fakultas tersebut dilakukan oleh Rektor UII Prof Fathul Wahid ST MSc PhD disaksikan oleh Ketua Umum Yayasan Badan Wakaf UII Dr Suparman Marzuki dam para pejabat UII mulai dari Wakil Rektor hingga ketua/sekretaris program studi.

Rektor UII Prof Fathul Wahid ST MSc PhD mengatakan, pemekaran Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya menjadi Fakultas Psikologi dan Fakultas Ilmu Sosial Budaya dilakukan melalui diskusi panjang. Apa yang disaksikan hari ini merupakan manifestasi kesadaran dan kesepakatan bersama. Banyak keindahan selama mengawal proses diskusi yang tidak selalu kalis dari ketegangan, namun semuanya masih dalam tingkat yang dapat dikelola dan justru mendinamisasi proses.
Menurut Fathul Wahid, dalam organisasi ada kontrak sosial, yang jika berubah harus dirembuk kembali dan disepakati ulang. Proses seperti ini harus dilakukan untuk mengawal perubahan jika tidak disertai banyak drama. Secara pribadi, ia menganut manhaj ini dan bisa jadi sebagian yang lain memilih jalan yang berbeda.
Mengapa jalan rembukan dipilih? Menurut Fathul Wahid, paling tidak ada tiga alasan. Pertama, karena ia belajar sosiologi organisasi meski sedikit. Ada beragam kacamata untuk memandang organisasi. Demikian pulan untuk melihat perubahan dalam institusi.
BACA JUGA:
- FTI UII Buka Program Studi Manajemen Rekayasa
- Kuliah Umum Program Pascasarjana FTI UII Hadirkan Narasumber dari PT Pelni
“Ada beragam kerja institusional yang dapat kita pilih untuk mendisrupsi sebuah institusi. Pun demikian untuk membentuk institusi baru, dan juga untuk memeliharanya,” kata Fathul Wahid.
Kedua, salah satu semangat dalam dunia akademik yang sudah mulai memudar adalah kolegialitas. Banyak literatur mutakhir dengan kacamata kritis mendokumentasikan kecenderungan ini. Paham neoliberalisme yang masuk ke dalam dunia pendidikan, yang mewujud dalam beragam bentuk, termasuk korporatisasi, telah menggerus semangat kolegialitas. Prinsip new public management yang mengedepankan indikator materialistik pun mendominasi untuk mengukur kesuksesan. Posisi nilai-nilai pun mulai terpinggirkan.
“Saya tidak ingin hal ini terjadi di UII. Meski demikian, saya sepenuhnya sadar, tidak semua bersepakat dengan pendapat ini. Atas nama kolegialitas, kita harus terus memastikan jika kampus tetap menjamin kebebasan berpendapat,” katanya.
Sementara yang ketiga adalah sebuah institusi tidak hanya terdiri dari pilar regulasi yang penting untuk menjamin tata kelola. Tetapi di sana ada pilar norma dan juga budaya. Meski ketiganya bekerja dengan cara yang berbeda, namun ketiganya saling melengkapi. Tak ada satu pun institusi yang kuat dan sehat yang hanya berfokus pada salah satunya.
Pilar regulasi menguat dengan pendekatan koersif, pemaksaan. Ini terjadi di beragam tingkat, mulai level global sampai organisasi. Pilar norma menjadi kokoh karena semangat belajar dan memahami konteks. Di sini ada warga organisasi terdidik yang paham posisi dan perannya. Pilar budaya penting untuk menjamin adanya konsensus antarwarga organisasi yang akan memastikan kohesivitas dan di saat yang sama, menghemat energi yang mungkin bocor karena beragam ketegangan yang dipastikan mewarnai perjalanan sebuah institusi.

“Ada banyak pekerjaan rumah yang menunggu dituntaskan segera dalam proses pemekaran ini. Kerja-kerja institusional diperlukan untuk memastikan bahwa secara institusional kedua fakultas berada dalam posisi yang kokoh untuk terus bertumbuh. Kontrak-kontrak sosial baru pun dapat dirembuk,” kata Fahul Wahid.
Ia memberi contoh, bagaimana institusi harus dikembangkan, bagaimana budaya organisasi baru dibentuk, bagaimana integritas akademik dipastikan dan bagaimana iklim riset dikembangkan, bagaimana internasionalisasi dibingkai serta masih banyak lagi.
Dikatakan, untuk mengawal proses transisi, sebuah tim lintasfakultas dan juga melibatkan universitas dibentu. Tim ini bukan sebagai penendang bola, tetapi sebagai tempat pertemuan antar pemangku kepentingan yang bertugas mencari jalan keluar untuk beragam isu yang muncul dalam proses transisi.
Proses transisi sendiri sudah disepakati durasinya. Untuk isu-isu penting akan diselesaikan dalam dua bulan pertama, dan secara keseluruhan akan selesai dalam enam bulan ke depan. (lip)
There is no ads to display, Please add some