beritabernas.com – Rektor UII Prof Fathul Wahid ST MSc PhD mengatakan, saat ini karya akademik tidak lagi dikaitkan dengan pengembangan keilmuan, tetapi sebagai pelengkap tanggung jawab administrasi. Jebakan logika seperti ini saat ini sangat jamak ditemui, ketika kuantitas menjadi raja, karena dipercaya mempengaruhi banyak hal, termasuk pemenuhan kewajiban, akreditasi dan pemeringkatan.
“Kita tidak boleh naif dalam melihat ini. Ini adalah fakta sosial pahit yang kita temukan di lapangan. Sialnya, kita tidak bisa dengan mudah lari dari jebakan tersebut, karena selain dianggap sebagai kelaziman, juga diamplifikasi dengan beragam kebijakan,” kata Rektor UII Prof Fathul Wahid dalam acara penyerahan SK Guru Besar dari Mendikbud Ristek kepada Prof Anas Hidayat PhD, Dosen FEB UII, di Gedung Kuliah Umum Prof Dr Sardjito Kampus Terpadu UII, Selasa 11 Juni 2024.
Menurut Rektor UII, akreditasi dan pemeringkatan, jika tidak dicapai dengan intensi yang benar dan integritas tinggi, akan kehilangan makna. Kualitas menjadi terabaikan. Lebih parah lagi, jika proses tersebut melibatkan pelanggaran etika.
Sialnya, kata Prof Fathul Wahid, mendiskusikan hal ini dengan mereka yang kompas etikanya sudah bermasalah, hanya akan menjadi debat kusir yang tak berkesudahan.
Dikatakan, kompas etika seorang profesor sudah seharusnya lebih sensitif dan siap menjadi penjuru atau contoh. Tentu, ini bukan berarti, yang belum mendapatkan amanah profesor bisa main hantam kromo dengan mengabaikan integritas akademik.
Dampak dari pengabaian integritas akademik dapat sangat akut. Mulai dari maraknya pelacuran akademik sampai dengan budaya baru pelecehan ilmu dan ilmuwan. “Yang paling menakutkan saya adalah ketika semua itu dianggap wajar dan sesuai etika,” kata Prof Fathul Wahid.
Menurut Fathul Wahid, tantangan saat ini semakin berat, ketika tekanan produktivitas tidak bisa direspons dengan baik dan ketika iming-iming penghargaan prestasi disalahpahami. Godaan untuk melewati garis merah pun kadang menjadi pilihan jalan pintas. Termasuk di dalamnya adalah dengan menyewa penulis hantu (ghost writer) atau menjadi penumpang gelap (free rider). Karya akademik yang didakunya pun tanpa kontribusi memadai dari pendakunya.
BACA JUGA:
- Seperempat Guru Besar di LLDikti DIY Dimiliki UII
- Melukis dan Membaca Puisi, Cara UII Menggugah Empati untuk Palestina
“Izinkan saya mengajak hadirin untuk melakukan refleksi kolektif atas isu ini. Ujungnya adalah koreksi kolektif yang dijalankan dan dilantangkan bersama-sama. Tanpa koreksi ini, saya tidak berani membayangkan masa depan dunia akademik di Indonesia, yang bisa jadi semakin suram. Tentu, bukan ini yang kita harapkan,” kata Rektor UII.
Integritas akademik
Pada kesempatan itu, Rektor UII mengajak yang hadir melakukan refleksi terkait dengan integritas akademik. Karena dengan mendiskusikan isu ini juga bagian dari mengasah kompas etika kita.
Menurut Prof Fathul Wahid, seperti halnya pisau, jika teronggok lama di tempat yang kotor, maka akan berkarat, tumpul, dan tidak lagi tajam. Begitu juga kompas etika, ketika saat ini kita hidup di lingkungan yang sering terjebak dalam membenarkan yang biasa meskipun ada pelanggaran etika di sana.
Ia memberikan beberapa ilustrasi sebagai pembuka. Ilustrasi pertama. Beberapa waktu lalu, media dihebohkan dengan berita produktivitas seorang dosen yang sanggup menghasilkan 160 publikasi sejak Januari 2024. Capaian yang tidak wajar, apalagi ditambah dengan isu pencatutan nama dosen lain dari kampus energi jiran tanpa sepengetahuan. Dosen ini sudah diberhentikan oleh kampusnya dari jabatan dekan.
Ilustrasi kedua. Pada sebuah grup WhatsApp yang ia ikuti, ada sebuah iklan jurnal nasional yang membuatnya mengernyitkan dahi adalah narasi yang dibawa. Publikasi yang berbayar semata dimaksudkan sebagai bagian pemenuhan laporan kinerja dosen, yang menjadi syarat perpanjangan tunjangan sertifikasi dosen. Selain itu, iklan tersebut memberikan kalkulasi bahwa biaya yang dikeluarkan masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan akumulasi tunjangan sertifikasi dosen selama setahun.
Ilustrasi ketiga. Dalam beberapa waktu terakhir, berlalu lalang di lini masa media sosial beragam iklan tentang menulis, baik buku maupun artikel jurnal. Yang ditawarkan adalah penggunaan kecerdasan buatan dalam menulis. “Satu hari satu artikel Scopus,” bunyi salah satu iklan. “Menulis buku dengan mudah menggunakan AI,” bunyi iklan lainnya.
“Bagaimana kompas etika kita ketika melihat kenyataan ini? Apakah jarum kompas kita masih sensitif menunjukkan mana arah yang etis dan mana yang tidak?,” tanya Rektor UII. (lip)
There is no ads to display, Please add some