beritabernas.com – Jaringan GUSDURian menolak kebijakan pemerintah untuk memberi izin tambang kepada ormas keagamaan karena bertentangan dengan Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang menyatakan bahwa izin hanya dapat diberikan kepada badan usaha, koperasi atau
perusahaan perseorangan melalui cara lelang.
Karena itu, Jaringan GUSDURian meminta pemerintah untuk meninjau ulang pemberian izin usaha tambang kepada ormas keagamaan karena berpotensi memunculkan penyalahgunaan kewenangan karena tidak melalui prosedur yang sesuai dengan Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral
dan Batu Bara.
Selain itu, Jaringan GUSDURian juga meminta pemerintah untuk meninjau ulang izin tambang pada ormas keagamaan karena berpotensi menciptakan ketegangan sosial dan konflik horizontal apabila terjadi persoalan di tingkat lokal. Jariangan GUSDURian pun mengajak ormas keagamaan untuk tetap menjadi kekuatan penjaga moral, nilai dan etika bangsa serta terus menjadi pendamping umat demi kemaslahatan dan kesejahteraan bersama.
“Jaringan GUSDURian meminta pemerintah tegas melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan
lingkungan yang selama ini terjadi dan melakukan pemulihan dampak sosial ekologis akibat perampasan lahan, penggusuran, deforestasi dan eksploitasi sumber daya alam,” tulis Inayah Wahid, Pokja Keadilan Ekologi Jaringan GUSDURian, dalam Pernyataan Sikap Jaringan GUSDURian tertanggal 11 Juni 2024 yang diterima beritabernas.com pada Selasa 11 Juni 2024.
Jaringan GUSDURian pun mengajak warga masyarakat untuk terus mengkritisi kebijakan pemerintah dan
memastikan bahwa penyelenggaraan negara tetap sesuai dengan konstitusi dan diperuntukkan untuk kemaslahatan rakyat.
BACA JUGA:
- Sentra Spiritualitas Tarekat MSC Jawa-Kalsel Menandatangani Kerjasama dengan Gerakan Laudato Si’ Indonesia
- Komunitas Pecinta Alam SMA BOPKRI 1 Yogyakarta Melakukan Susur Gua Cerme
Menurut Inayah Wahid, Peraturan Pemerintah (PP) untuk memberi izin tambang kepada ormas keagamaan bertentangan dengan Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang di
dalamnya mengatur tentang pemberian izin usaha tambang, di mana penerima izin usaha
tambang adalah badan usaha, koperasi, atau perusahaan perseorangan dengan cara lelang.
Berbagai liputan media massa juga menengarai adanya proses pengambilan keputusan penyelenggara negara yang berpotensi penyalahgunaan kewenangan. Industri pertambangan di Indonesia penuh dengan tantangan lingkungan dan etika, termasuk degradasi lahan, penggundulan hutan, dan penggusuran masyarakat lokal. Jaringan GUSDURian telah mendampingi berbagai kasus semacam ini, seperti kasus Wadas, Kendeng, Tumpang Pitu, Gorontalo, Pandak Bantul, Banjarnegara, Mojokerto dan lain-lain.
Dikatakan, pelibatan organisasi keagamaan sebagai entitas penerima ‘hadiah’ izin pertambangan oleh
Presiden memunculkan diskursus tentang peran organisasi kemasyarakatan selama ini sebagai penjaga moral etika bangsa, termasuk dalam hidup bermasyarakat dan penyelenggaraan negara, termasuk di dalamnya kebijakan industri ekstraktif. Idealnya, organisasi keagamaan terus mengingatkan pemerintah untuk mengambil setiap kebijakan berbasis prinsip etik.
Selain itu, keterlibatan organisasi keagamaan dalam sektor pertambangan menimbulkan banyak risiko turunan. Watak organisasi keagamaan yang memiliki banyak pengikut di akar rumput, sementara industri pertambangan memiliki watak seperti di atas, membuat keterlibatan organisasi keagamaan berpotensi menciptakan ketegangan sosial apabila terjadi persoalan di tingkat lokal. Ditambah lagi jumlah organisasi keagamaan yang jumlahnya sangat banyak, termasuk di daerah-daerah, sehingga sangat mungkin terjadi kerumitan pada tingkat pelaksanaan yang bisa berujung kepada makin besarnya penyalahgunaan wewenang pengambil kebijakan.
Di sisi lain, saat ini banyak negara di dunia yang mulai mencari energi alternatif agar ketergantungan pada batu bara bisa dihentikan dalam beberapa tahun ke depan. Aktivitas tambang batu bara secara global sudah dikategorikan sebagai bahan bakar kotor dikarenakan prosesnya yang merusak alam dan menghasilkan polutan berbahaya. Bisnis ini merupakan bagian dari industri ekstraktif yang mengolah dan menguras sumber daya alam yang bisa menimbulkan penghancuran habitat, mengakibatkan polusi, dan penipisan sumber daya, serta bencana alam lainnya.
Jaringan GUSDURian sebagai organisasi yang berupaya melanjutkan nilai, pemikiran, dan keteladanan Gus Dur mengkritisi peraturan tersebut. Rekam jejak Gus Dur menunjukkan konsistensinya menolak industri ekstraktif yang merusak sumber daya alam dan mengeksklusi rakyat dari ruang hidupnya. Bahkan tercatat dalam sejarah bahwa Gus Dur adalah satu-satunya presiden Indonesia yang tidak pernah memberikan konsesi tambang serta melakukan moratorium penebangan hutan untuk keberlanjutan kelestarian ekosistem. (*/lip)