beritabernas.com – Antonius Fokki Ardiyanto S.IP, Relawan Perjuangan Demokrasi yang juga Aktivis 98 Djogja secara tegas menolak revisi UU TNI. Sebab, revisi UU TNI merupakan jalan kembali ke era Orde Baru dengan menghidupkan kembali dwifungsi ABRI (kini TNI, red).
“Ini bukan isapan jempol, ini ancaman serius. RUU TNI mau kasih jalan tentara aktif duduk di jabatan sipil, urus kementerian, lembaga, BUMN bahkan sekolah. Lalu mereka juga mau dikasih hak cari duit sendiri di luar APBN tanpa pengawasan rakyat,” kata Antonius Fokki Ardiyanto, Relawan Perjuangan Demokrasi yang juga Aktivis 98, kepada beritabernas.com, Senin 17 Maret 2025.
Menurut Fokki-sapaan Antonius Fokki Ardiyanto-konsep dwifungsi ABRI pertama kali dicetuskan oleh Jenderal TNI AH Nasution tahun 1958 dan diterapkan penuh di era Orde Baru oleh Presiden Soeharto. Saat itu, militer bukan cuma jaga negara, tapi masuk politik, duduk di kursi DPR/MPR tanpa mengikuti pemilu, atur bisnis negara bahkan ikut urus kampus. “Saat itu rakyat yang berani kritik dicap musuh negara, dibungkam, bahkan hilang,” kata Fokki.

Reformasi 1998 lahir dan menghentikan semua itu. Rakyat berjuang agar militer balik ke barak biar kekuasaan dijalankan sipil yang dipilih rakyat, bukan militer bersenjata. “Tapi sekarang, RUU TNI mau ajak kita mundur 25 tahun. Kita wajib menolak,” tegas mantan Anggota DPRD Kota Yogyakarta ini.
Dalam RUU TNI yang tengah dibahas di DPR RI itu, menurut Fokki, mengandung potensi pelanggaran supremasi sipil dalam negara demokrasi. Pertama, militer aktif duduk di jabatan sipil. Menurut Fokki, kalau tentara aktif bisa urus pemerintahan, maka kontrol rakyat hilang. Urusan rakyat diputuskan lewat kekuatan, bukan hukum. Demokrasi jadi formalitas. Ini bertentangan dengan semangat reformasi 1998 dan UU TNI Nomor 34 tahun 2004, yang telah membatasi peran TNI hanya pada bidang pertahanan.
Kedua, TNI boleh cari duit sendiri di luar APBN.Siapa yang mengawasi? Tidak ada. Potensi penyalahgunaan kekuasaan sangat besar. Militer bisa masuk bisnis gelap, seperti di era Orde Baru dulu. “Rakyat jadi korban, negara jadi ladang cuan,” kata Fokki.
BACA JUGA:
- Anggota DPR RI Yulius Setiarto: Hormati Undang-Undang dan Kode Etik Advokat
- Dakwaan KPK Tidak Konsisten, Saiful Huda Ems: Ini Bukti Kasus Hasto Kristiyanto Sarat Kepentingan Politik
Ketiga, militer sulit dikritik, rakyat dibungkam. Di bawah supremasi sipil, rakyat bebas bersuara. Tapi kalau militer pegang kekuasaan sipil, kebebasan rakyat bisa ditekan. “Kritik dikit, bisa dianggap ancaman,” tegas Fokki.
Menurut Fokki, RUU ini bukan sekadar revisi, namun ini jalan balik ke masa gelap Orde Baru. Rakyat dibungkam, militer berkuasa. “Negara ini milik rakyat, bukan milik militer. TNI itu penting, tapi perannya jaga negara, bukan ngurus pemerintahan. RUU ini jelas mau geser posisi militer dari barak ke pusat kekuasaan. Kalau kita diam, besok lusa rakyat bisa dikendalikan lewat kekuatan, bukan keadilan,” kata Fokki, Aktivis Reformasi 1998.
Fokki menilai RUU ini bisa membuka jalan bagi kembalinya pengaruh militer dalam politik dan pemerintahan, yang justru mengancam kehidupan demokrasi dan hak-hak sipil. “Kita gak boleh mundur ke masa di mana militer bebas berpolitik dan mengintervensi urusan sipil. TNI harus tetap menjadi kekuatan profesional, netral dan tunduk pada kendali sipil,” kata Fokki. (*)