beritabernas.com – Setara Institute menilai hari-hari ini publik disuguhi hasil survei tentang elektabilitas capres dan cawapres yang semakin tidak masuk akal. Sebab, kita tidak pernah tahu posis lembaga survei, apakah juga merangkap sebagai konsultan politik, juru kampanye yang berlindung di balik kebebasan akademik survei atau agitator yang ditugasi untuk menggiring opini tentang hal-hal yang dikehendaki oleh pihak yang menugasi.
Dalam situasi yang demikian, Setara Institute menyayangkan materi-materi yang seharusnya tidak dipromosikan karena bertentangan dengan Konstitusi RI, seperti survei jabatan tiga periode tahun lalu, survei afirmasi atas politik dinasti yang merusak demokrasi, survei afirmasi putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Putusan MKMK dan lainnya.
“Di tengah keterbatasan pengetahuan publik atas term-term tersebut, pengambilan sampel secara acak, hanya akan menghasilkan afirmasi atas berbagai kehendak inkonstitusional, niretika dan merusak demokrasi,” kata Ismail Hasani, Ketua Badan Pengurus Setara Institute yang juga Dosen Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dalam siaran pers yang tersebar luas di berbagai grup whatsapp, Selasa 21 November 2023.
Dalam siaran pers berjudul Mengetuk Hati Lembaga Survei dan Memaknai Seruan Pemilu Damai tertanggal 20 November 2023 itu, Setara Istitute mengatakan bahwa survei adalah instrumen pengetahuan dan teknologi penyerap aspirasi masyarakat yang sudah sejak lama dipraktikkan dalam negara demokratis, termasuk di Indonesia.
Survei juga telah menghubungkan aspirasi publik yang tersumbat dengan para pengambil kebijakan negara, yang selama ini seringkali barjarak. Karena itu, survei adalah bentuk kebebasan berekspresi, berpendapat dan kebebasan akademik. Bahkan jika hasil survei menjadi kontroversi, maka bukan hasil survei yang dikritik.
Dikatakan, kritik hanya pantas ditujukan pada metodologi survei termasuk soal etika. Baik etika pengambilan data, etika menjauhkan diri dari konflik kepentingan, termasuk etika publikasi, yang seringkali berhubungan erat dan menjadi bagian yang paling berbenturan dengan posisi lembaga survei.
Menurut Ismail Hasani, agitasi agenda satu putaran oleh kandidat Pilpres tentu sahih sebagai bagian dari injeksi energi bagi tim kampanye dan pendukung. Namun, menjadi persoalan serius ketika agitasi itu didukung dengan survei dan publikasi survei, yang sebenarnya adalah mangkampanyekan pasangan capres dan cawapres tertentu.
Dikatakan, ada dua tujuan tidak etis yang hendak dicapai dari agenda ini, yakni pertama, bandwagon effect agar pemilih mengikuti langkah mayoritas publik yang sudah menentukan pilihan dan kedua, menyediakan justifikasi akademik-populis, atas kemungkinan tindakan tidak jujur dan segala cara memenangi kontestasi, yang bisa saja dilakukan oleh pihak-pihak tertentu pada semua kandidat.
Sejalan dengan sajian aneka survei, kampanye pemilu damai dan teduh terus disuarakan tetapi dengan nada suara yang menakutkan. Ajakan damai menjadi isu demokrasi dan keadilan Pemilu, karena mengkritik kandidat dianggap bikin gaduh, mendorong netralitas berpotensi berhadapan dengan hukum, mengoreksi dan menjadikan isu pelanggaran konstitusi dan politik dinasti dianggap bikin gaduh dan menebar hoax. Lalu situasi damai dan teduh itu ditujukan untuk apa?
Kegelisahan publik
Menurut Ismail Hasani, berbagai keprihatinan ini menjadi kegelisahan publik dan terus akan mewarnai Pilpres dan Pemilu 2024. Keprihatinan ini kini bertransformasi menjadi ketakutan dan teror demokrasi yang mengancam kebebasan sipil. Transformasi destruktif ini akan semakin kencang karena posisi benturan kepentingan penguasa dengan kandidat tertentu, sehingga akan sulit menjadi wasit yang netral, sulit menjadi tuan rumah pertandingan yang ramah, meski berulang kali menjamu makan bersama.
Karena itu, menurut Hasani, Setara Institute, sebagai salah satu lembaga yang juga sering melakukan survei, mengetuk hati para kolega untuk mengembalikan posisi survei sebagaimana tujuan asalnya. Bukan hanya standar etik yang dipedomani tetapi juga ada nilai kebajikan yang dipromosikan.
Demi keadilan Pemilu, Setara Institute juga mendorong netralitas genuine yang didukung oleh sistem, standar operasi dan penyikapan atas dugaan pelanggaran alat-alat negara secara transparan dan berkeadilan. Langkah ini akan efektif hanya jika dimulai dari Presiden Jokowi. (*/lip)
There is no ads to display, Please add some