Terjebak dalam Kekuasaan Rule of Man

Oleh: Ben Senang Galus, Penulis buku Kuasa Kapitals dan Matinya Nalar Demokrasi, tinggal di Yogyakarta

beritabernas.com – Dalam sistem pemerintahan demokrasi yang belum matang selalu menyisakan kekuatan yang tak terakomodasi secara baik. Kekuatan tak terakomodasi itu banyak berada di kelompok oposisi tetapi juga bisa di dalam pemerintahan dalam bentuk faksi-faksi. 

Itulah mengapa dalam konstelasi politik demokrasi dengan kekuatan hampir imbang legitimasi pemerintah sebagai pemegang mandat melalui proses elektoral tidak sepenuhnya mampu mengendalikan kecenderungan khas masing-masing faksi. Yang ada biasanya pemerintah membangun format perimbangan kekuatan yang untuk memperoleh kestabilan relatif hingga akhir masa pemerintahannya.

Oleh sebab yang berebut dan bertikai adalah para pemain elit sebagai sutradara maka banyak melibatkan individu dalam struktur komando informalnya. Sehingga umumnya yang menjadi martir para bidak catur level pion.

Tesis ini sudah terkonfirmasi dalam sejarah pemerintahan. Setidaknya bisa dilihat sejak reformasi bergulir. tahun 1998-1999, publik disuguhi aksi pembunuhan mahasiswa Trisakti dan Semanggi. Lalu masyarakat juga dihantui kasus teror mulai dukun santet, pembantaian para guru ngaji lewat aksi ninja dan lain-lain yang hingga kini masih gelap gulita. Masih banyak lagi kasus pembunuhan dan pemerkosaan yang belum diadili pelakunya.

Kemudian dengan sedikit mengesampingkan pelanggaran-pelanggaran hukum yang tak menjadi headline media beberapa kasus HAM masih saja terjadi di era pemerintahan demokrasi yang sudah relatif stabil dan mapan. Tahun 2005 terjadi pembunuhan sangat terencana atas aktivis HAM terkemuka Munir SH dalam penerbangan pesawat Garuda. Lucunya proses hukum panjang yang menyita perhatian masyarakat dan disorot media internasional itu hanya menghasilkan terpidana seorang pilot tak dikenal Polycarpus. 

Tanpa kepatuhan pada rule of law, demokrasi yang berkualitas tak mungkin bersemi dan politik yang beradab tak dapat dibangun. Tanpa aturan hukum, negara tidak mungkin ada dan kehidupan bersama diwarnai kesewenang-wenangan. Jika kondisi itu dibiarkan berlanjut, tatanan sosial akan berubah menjadi apa yang dilukiskan Thomas Hobbes sebagai kondisi bellum omnium contra omnes-perang semua melawan semua.

Negara tanpa keadilan

Tanpa hukum yang berpijak pada moralitas yang rasional seperti prinsip kebebasan, kesetaraan dan keadilan sosial, komunitas politik tak lebih dari ruang pertarungan perebutan kuasa semata.

Tentang ini, Magnis Suseno (1999), menulis “pada abad ke-5 M, Aurelius Agustinus (354-430) pernah berujar, “Kerajaan-kerajaan tanpa keadilan apa itu selain gerombolan-gerombolan perampok?”. Oleh karena itu, halus dan benar jawaban yang diberikan seorang perampok laut kepada Iskandar Agung, sewaktu sang raja bertanya bagaimana dia itu sampai berani membuat laut menjadi tidak aman. Maka orang itu dengan bangga dan terbuka mengatakan, “Dan bagaimana engkau sampai berani membuat seluruh bumi menjadi tak aman? Memang, aku dengan perahu kecilku disebut perampok, tetapi engkau dengan angkatan laut besar disebut panglima yang jaya”.

BACA JUGA:

Menurut Agustinus, negara tanpa keadilan tak lebih dari kelompok para bandit atau perampok yang mungkin memiliki kedaulatan atas wilayah tertentu, tapi kekuasaannya dipandang sebagai illegitim. Satu-satunya yang mengangkat martabat negara dari gerombolan para bandit ialah sejauh mana negara bertekad untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warganya.

Prinsip keadilan sosial ialah basis legitimasi etis atas pertanyaan tentang alasan mengapa negara yang ada secara konkret itu harus diakui, diterima dan ‘berhak mendapat ketundukan dari para warganya’ (Ignas Kleden, 2004).

Dalam kerangka legitimasi moral tersebut, sejumlah pertanyaan berikut seputar kekuasaan dapat dielaborasi secara rasional. Apakah dasar legitimasi bahwa manusia boleh menguasai manusia lain? Apakah dapat diterima bahwa manusia sebagai pribadi bebas tunduk di bawah paksaan institusi, aturan-aturan abstrak dan birokrasi tanpa jiwa? Apakah demi pragmatisme pembangunan ekonomi orang-orang miskin boleh digusur dari tempat tinggalnya?

Legitimasi moral bermula dari konsep hukum kodrat yang dicetuskan Aristoteles dan para filsuf Stoa dan kemudian dikembangkan Cicero, Agustinus, Thomas Aquinas, Francisco Suarez, Hugo Grotius, dan Christian Wolff. Mereka memandang negara dan tatanan hukumnya sebagai sarana menciptakan keadilan. Sumber legitimasi negara ialah moralitas yang berlaku universal. Negara tidak bisa bertindak sewenang-wenang. Ia hanya ditaati sejauh menjalankan fungsinya dalam batas-batas moral tertentu.

Legitimasi moral penyelenggaraan kekuasaan membatalkan prinsip pertarungan kuasa telanjang Hobbesian yang berpijak pada adagium hukum: auctoritas, non veritas facit legem-otoritas dan bukan kebenaran yang menciptakan hukum.

Hari-hari ini narasi Hobbesian bertaburan di ruang publik politik Indonesia yang diungkapkan lewat diksi pansus, people power, makar, dan kecurangan pemilu. Sejumlah berita bohong sengaja diproduksi untuk mendelegitimasi proses pemilu yang sudah berjalan baik dan mendapat apresiasi dari dunia internasional.

Kegaduhan itu sesungguhnya hanya terjadi pada level elite politik yang haus kuasa dan telah mengabaikan akal sehat dan nurani bening 150 juta pemilih yang telah menggunakan hak pilihnya secara bertanggung jawab.

Narasi Hobbesian yang mengotori ruang publik politik harus dilawan dengan wacana tentang politik yang sesungguhnya. Menurut Hannah Arendt (1906-1975), politik ialah ungkapan kebebasan dan kebebasan mengandaikan kehadiran dan pengakuan yang lain sebagai pribadi unik. Keunikan setiap pribadi merupakan dasar pluralitas sebagai titik tolak politik.

Pluralitas sebagai syarat politik terungkap lewat proses persetujuan, kritik, penolakan, dan kerja sama. Keseluruhan proses itu terjadi dalam komunikasi. Maka dari itu, politik ialah wicara atau diskursus rasional bebas represi.

Ketika politik menjadi lahan mata pencarian, wicara macet dan politik pun dikuburkan sebab di sana terjadi dominasi ‘orientasi kebutuhan hidup dan obsesi akan siklus produksi-konsumsi’ (Haryatmoko, 2003).

Politik sebagai sumber mata pencarian memperlakukan ruang publik sebagai pasar yang marak KKN, propaganda, kebohongan, iklan politik dengan penekanan pada penampilan luar, manipulasi, pengerahan massa, dan politik partisan.

Bagi Arendt, ruang publik yang sudah direduksi kepada sistem pasar ialah bukti bahwa politik sudah kehilangan esensinya, yakni kebebasan. Dalam kondisi ini, warga negara direduksi menjadi konsumen yang tunduk pada imperatif kerja dan karya. Kerja merupakan jawaban manusia atas tuntutan hidup. Pada tataran ini manusia sama dengan binatang (animal laborans). Ia memusatkan diri pada hidupnya sendiri, tubuh, dan kodrat biologisnya.

Lewat karya (herstellen) manusia menciptakan alat-alat yang membuatnya mampu menguasai alam sehingga ia bebas dari ketergantungan binatang. Manusia bekerja dan mulai mengubah dunia menjadi habitatnya (homofaber). Di sini manusia membutuhkan orang lain, tapi hanya sebagai alat yang membantu kelancaran kerjanya.

Politik perlu dikembalikan ke kodratnya, yakni dialog langsung antarmanusia. Politik terwujud dalam komunikasi antarwarga yang bebas dan egaliter. Akan tetapi, sebuah komunikasi hanya mungkin jika ada macam-macam manusia.

Jika hanya ada satu manusia di puncak piramida kekuasaan dan yang lain tidak lebih dari massa yang tidak tahu apa-apa, di sana tidak ada politik. ‘Sang manusia itu apolitis. Politik berlangsung di antara manusia-manusia, politik berada di luar manusia. Karena itu, tak ada substansi politis’ (Arendt, 2003).

Politik dibangun ketika manusia berbicara, berkomunikasi, dan membangun wacana. Komunikasi mengandaikan faktum pluralitas manusia. Jika manusia semuanya seragam, tidak terjadi dialog dan tidak ada politik.

Komunikasi berujung pada terbentuknya komunitas politik. Karena itu, Aristoteles benar ketika ia mendefinisikan manusia sebagai zoon politicon atau makhluk sosial. Secara kodrati manusia ialah makhluk berpolitik. Artinya, perwujudan diri manusia hanya mungkin dilakukan dalam polis atau komunitas politik. ‘Sebagaimana setiap kemungkinan mencapai pemenuhannya ketika mencapai tujuannya. Demikian pun dengan manusia, ia hanya dapat mewujudkan kemungkinan-kemungkinan yang dimilikinya secara kodrati dalam polis. Polis ialah aktualisasi dari potensi khusus manusia’ (Aristotelse, 1994).

Minus kesejahteraan

Tujuan negara ialah merealisasikan kebaikan, kebahagiaan tertinggi (bonum commune) dan hidup bahagia untuk semua warga yang bebas. Polis sebagai komunitas warga yang bebas dan egaliter melayani kepentingan semua. Bagi bangsa Indonesia, tujuan mulia ini hanya dapat dicapai jika seluruh proses politik berjalan atas dasar etika Pancasila.

Proses demokratisasi yang ditapaki bangsa Indonesia sejak masa reformasi cenderung terperangkap dalam demokrasi prosedural minus kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Pancasila dapat menjadi basis normatif dan identitas kolektif dalam membangun Indonesia sebagai sebuah tatanan politis yang demokratis.

Narasi di atas jika dihubungkan dengan berbagai kasus korupsi di Indonesia merupakan kemenangan gerombolan politik yang tidak bermoral. Kasus hakim jual beli palu dan kasus mafia Migas yang ditangkap Kejaksaan Agung, publik tampaknya masih belum puas karena lagi-lagi kasus tersebut tidak menyentuh aktor intelektualnya.

Demikian pula nalar publik hingga kini mengatakan bahwa penahanan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto melalui skenario rumit yang hanya bisa dilakukan oleh tangan-tangan kuat elit penguasa. Sehingga bila kesimpulan pemeriksaan dan pengolahan bukti-bukti di lapangan diturunkan kastanya hanya sebatas dendam pribadi.  

Semua bentuk kriminalitas sesungguhnya masuk ranah pidana. Tergantung klasifikasinya masuk pidana biasa atau pidana khusus. Belakangan ini terkait perkembangan nomenklatur hukum disepakati adanya kejahatan luar biasa seperti korupsi, narkoba, dan terorisme. Barangkali ke depan kejahatan siber akan digolongkan menjadi kejahatan luar biasa mengingat pengalaman dampak luas dan mendalaminya dampak sosial dan politik yang ditimbulkannya.

Berbagai kasus korupsi di tanah air mengingatkan kita pada kisah orang-orang Yunani Kuno mengenal Themis dan anaknya, Dike, sebagai dua sosok dewi keadilan. Sementara orang-orang Romawi kemudian menyebutnya sebagai Iustitia alias Lady Justice – Dewi Keadilan, meminjam Plato Knowledge without justice ought to be called cunning rather than wisdom.

Sosok Iustitia digambarkan sebagai perempuan dengan mata tertutup kain, sementara ia memegang timbangan di tangan yang satu dan pedang di tangan yang lain. Sosok Iustitia ini populer saat Kaisar Augustus (63 SM-14 M) berkuasa. Kaisar pertama Roma ini oleh Karl Galinsky – penulis dan peneliti dari Princeton University yang banyak meneliti tentang peradaban Romawi-disebut menggunakan Iustitia sebagai simbol kekuasaan hukum atas negara.

Mata Iustitia yang ditutup kain menegaskan bahwa hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Ia juga menjadi simpul kekuasaan negara berdasarkan hukum yang bisa memberi sanksi – hal yang disimbolkan dengan pedang di tangannya.

Hingga kini, simbol Iustitia masih digunakan sebagai penegas kekuasaan hukum yang berkeadilan–konteks yang mungkin sedang dicari oleh pencari keadilan (iusticiabelen).

Menguti Chazim Maksalina (2022), betapa mahalnya dan sulitnya para pencari keadilan di negara yang menyatakan diri sebagai negara hukum. Sebagai negara hukum sudah saat terus menerus memperjuangkan the rule of law not the rule of man.

Konsep yang dikemukakan oleh seorang Albert Venn Dicey pada tahun 1885 yang dituangkan dalam sebuah buku berjudul Introduction to the Study of the Law of Constitution (2007). Decey mengatakan, “membangun sistem modern tidak bisa keluar dari konsep ini. Ketika organisasi, institusi atau lembaga berjalan on this track maka pergantian atau suksesi pimpinan dari manapun ia berasal, maka tidak akan menimbulkan masalah. Sebaliknya ketika organisasi dipimpin karena rule of a man maka kepemimpinannya akan menampakkan one man show, otorian dan anti kritik”. 

Kemudian dia menambahkan, “aturan manusia di mana   jenis aturan pribadi dalam masyarakat yang tidak bertanggung jawab  di mana aturan berubah dari satu penguasa ke penguasa lainnya. Ini adalah masyarakat di mana satu orang, rezim, atau sekelompok orang, memerintah secara sewenang-wenang. Sementara aturan manusia dapat dijelaskan sebagai tidak adanya aturan hukum, pemahaman teoritis ini menghasilkan sebuah paradoks”. 

Saat ini, hampir di segala lini kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif) terjebak dalam struktur rule of a man. Bagaimana melanggengkan kekuasaan dan jabatan turun temurun. Sehingga mencerminkan sistem monarch kerajaan. Kondisi ini menahbiskan rule of the law hanya sebatas slogan.

Oleh karena itu hakim, jaksa, polisi, advokad sebagai individu yang diberi amanah dan kepercayaan oleh negara hendaknya membuang jauh sikap otorianisme dan one man show.

Perlu ditekankan di antara aparat penegak hukum dengan mengajukan pertanyaan pada diri sendiri, apakah sebagai top leader lebih mengedepankan dan menerima aspirasi dari bawahan atau selalu menuntut bawahan mengikuti atasan. Semoga mampu menjawab dengan bijak. Oleh karena itu, jargon   ‘the rule of law, not of man’, adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.

Oleh karena itu siapa pun yang berkuasa di Republik Indonesia ini harus melawan kekuasaan rule of man, dan selalu mengutamakan rule of law. Dengan cara demkian kesejahteraan rakyat akan semakin baik di negara yang menyatakan diri sebagai negara hukum. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *