beritabernas.com – Untuk semakin memperkuat jejaring internasional dengan lembaga maupun universitas di berbagai belahan dunia, UII menjalin kerja sama dengan Istanbul Foundation for Science and Culture di Turki.
Penandatanganan kerja sama (MoU) dilakukan Rektor UII Prof Fathul Wahid ST MSc PhD dengan Said Yuce, Presiden Eksekutif Istanbul Foundation for Science and Culture di Ruang Teatrikal Lantai 2 Gedung kuliah Umum (GKU) Prof Dr Sardjito Kampus Terpadu UII, Selasa 26 November 2024. Penandatangan MoU tersebut dilakukan bersamaan dengan seminar internasional bertajuk Post-Islamism: A New Islamic Political Civilization in Indonesia and Turkey.
BACA JUGA:
- Guru Besar FH UII Ikuti Program Visiting Professor ke Fakulti UU Universitas Kebangsaan Malaysia
- Fakultas Hukum UII Menerima Kunjungan dari Delegasi Department of Legal Studies IIUM Malaysia
- 4 Dosen dari Berbagai Fakultas UII Dikirim ke Montenegro, Anggota Konsorsium Proyek ODDEA
Menurut Dr Mukhsin Ahmad SAg M.Ag, Ketua Tim, dengan penandatanganan MoU dengan Istanbul Foundation for Science and Culture di Turki tersebut maka hingga saat ini setidaknya sudah ada 70 mitra kerjasama internasional yang dilakukan oleh UII.
Dikatakan, kemitraan strategis ini dalam rangka memperkuat pelaksanaan catur darma perguruan tinggi UII yakni dalam hal Pendidikan, penelitian, pengabdian dan dakwah Islamiyyah.
Secara spesifik kemitraan ini akan diproyeksikan untuk menjalin kerja sama di bidang penguatan manajemen akademik, kolaboratif riset, pertukaran mahasiswa, fasilitasi mahasiswa internasional dan penguatan bidang administratif lainnya.
Kegiatan ini diinisiasi oleh Fakultas Ilmu Agama Islam UII melalui Program Studi Magister Ilmu Agama Islam, Program Studi Hukum Islam Program Doktor berkolaborasi dengan Fakultas Hukum melalui Program Studi Hukum Program Sarjana dan Fakultas Psikologi dan Ilmu Budaya melalui Prodi Hubungan Internasional.
Menurut Mukhsin Ahmad, sebagai awal bentuk implementasi dari Mou ini diadakan seminar internasional yang bertema Post-Islamism: A New Islamic Political Civilization in Indonesia and Turkey. Tema ini diangkat karena antara Turkey dan Indonesia memiliki kesamaan sekaligus perbedaan. Kesamaan yang dimaksud adalah keduanya sama-sama ingin melakukan politik kebangsaan sebagai kekuatan pemersatu warga negara dari Islamisme yang memiliki potensi kecenderungan disitengrasi dalam berbangsa dan bernegara.
Sementara perbedaannya adalah di Turkey Mustafa Kemal Attatturk mengambil pilihan dari negara Islam menjadi “negara sekuler”, sedangkan di Indonesia dari negara yang mendasarkan dasar negara Pancasila dari sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa dengan menjalankan syariat bagi yang beragama Islam menuju tanpa tujuh kata yakni hanya Ketuhanan yang Maha Esa. Karena 7 kata tersebut berpotensi menimbulkan disintegrasi dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara.
Setelah “Islamisme” menjadi pilihan yang tidak ideal dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara, maka post-Islamisme menjadi arah baru bagaimana Indonesia dan Turkey menemukan bentuk peradaban baru yang lebih cocok untuk mengemas dan mengakomodasi bagaimana kekuatan agama dan negara ini sebagai symbiosis mutualisme yang saling mendukung satu sama lain.
“Agama butuh negara sebagai wadah mewujudkan ekspressi keberagamaan, sedangkan negara butuh agama tentu sebagai basis moral dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara. Untuk itu, seminar nasional ini digelar dengan harapan bisa menemukan arah (trajectory) peradaban baru politik Islam ke depan dalam rangka memperkuat fondasi nalar politik yang lebih humanis dan kosmopolit,” kata Mukhsin Ahmad.
Sementara Rektor UII Prof Fathul Wahid ST MSc PhD mengatakan, tema seminar ini sangat menarik karena persoalan global sangat beragam. Konflik dimana-mana, perubahan iklim yang luar biasa, potensi kekurangan energi terjadi di banyak tempat, kelaparan dan lain-lain.
Pertanyaannya adalah, bagaimana Islam bisa hadir dan menjadi bagian dari solusi masalah tersebut. Dalam dunia politik juga demikian, bagaimana ajaran Islam hadir memberi solusi. Kita menyambut baik apa yang dilakukan di banyak tempat dimana dilakukan kontekstualisasi ajaran Islam.
“Bagaimana pesan agama bisa dikontekstualisasi terlibat aktif dalam memecahkan masalah-masalah kemanusiaan kontemporer. Itu tantangan besar. Sehingga agama tidak lagi hanya sebatas doktrin personal tapi juga menjadi bagian dari solusi masalah riil di lapangan. Tantangannya banyak sekali. Sehingga diperlukan inovasi pemikiran mulai dari bagaimana menterjemahkan dalam konteks yang berbeda sampai dengan kemungkinan mencoba menafsirkan ulang pemikiran klasik untuk dibawa ke masa kini,” kata Prof Fathul Wahid. (lip)
There is no ads to display, Please add some