Oleh: Ben Senang Galus, Pemerhati Pendidikan, tinggal di Yogyakarta
beritabernas.com – Kondisi ekonomi nasional dan global yang menurun membayangi peningkatan pengangguran di kalangan generasi muda.
Berdasarkan Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik, jumlah pengangguran Indonesia selama setahun terakhir bertambah sekitar 83.000 orang menjadi 7,28 juta per Februari 2025. Dilihat dari sisi pendidikan, pengangguran dengan pendidikan diploma IV, S-1, S-2, S-3 mencapai 13,89 persen. Angka ini naik dibanding Februari 2024 yang 12,13 persen.
Sementara laporan Quacquarelli Symonds (QS) Insights Magazine edisi Juli 2025 menyoroti gelar universitas yang selama beberapa dekade menjadi indikator kemampuan, ambisi dan potensi yang cukup andal. Namun kini situasinya jauh berbeda. Meskipun masih berharga, gelar tidak lagi menjamin pekerjaan.
Di Inggris, lowongan kerja untuk lulusan perguruan tinggi turun 33 persen dari tahun ke tahun, menempati level terendah dalam tujuh tahun menurut Indeed, situs pencarian kerja. Di Amerika Serikat, tingkat pengangguran lulusan perguruann tinggi berusia 22-27 tahun naik lebih dari 5,8 persen antara Januari dan Maret 2025, menurut Federal Reserve Bank of New York.
Membaca kondisi tersebut, pertanyaan yang mesti dijawab ialah, apakah pendidikan dengan demikian dapat menjamin kesejahreran masyarakat? Menjamin tingginya pendapatan per kapita dan pengurangan problem sosial di masyarakat?
Riset dan inovasi
Menjawab pertanyaan tersebut, jelas bahwa pendidikan memiliki kaitan yang sangat erat dalam pencapaian empat indikator berikut: pendapatan per kapita yang tinggi, pengurangan angka kemiskinan, pengurangan ketimpangan, kepemimpinan dan pengaruh dunia internasional meningkat.
Kemiskinan dapat diatasi ketika ada akses pendidikan bagi keluarga miskin sehingga mereka memiliki kesempatan yang lebih luas untuk memperoleh pekerjaan. Daya saing SDM juga akan semakin meningkat melalui tenaga kerja yang terdidik dan kompeten. Pendapatan per kapita akan meningkat ketika produktivitas manusia Indonesia secara agregat mengalami peningkatan seiring dengan naiknya daya saing SDM.
BACA JUGA:
Mengutip Brian Yuliarto (2025), ada poin lain yang memiliki peran penting dalam mempercepat Indonesia mencapai derajad sebagai negara maju dan hal-hal yang terkait dengan out put pendidikan tinggi, yakni hasil riset dan inovasi. Sebab, tidak ada bangsa di dunia ini yang dapat makmur tanpa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebuah negara dengan dasar sains dan teknologi yang kuat akan memiliki tulang punggung yang kuat.
Bukan sebuah kebetulan ketika sepuluh negara yang tergolong high income economy juga menduduki sepuluh besar Global Innovation Index (GII). Indeks yang mengukur tingkat inovasi suatu bangsa ini menempatkan negara seperti Swiss, Swedia, Amerika Serikat, Singapura, Britania Raya, Korea Selatan, Finlandia, Belanda, Jerman, dan Denmark sebagai negara dengan pemasukan tertinggi sekaligus juga memiliki GII terbaik.
Menurut Brian Yuliarto, posisi Indonesia dalam GII tahun 2024 menunjukkan kemajuaan yang menggembirakan. Dalam laporan GII tersebut Indonesia Indonesia tergolong dalam kelompok negara yang mampu mengalami peningkatan signifikan selama tiga tahun terakhir. Indonesia saat ini berada pada peringkat 54 dari 133. Peringkat Indonesia ini mengalami peningkatan drasti dari posisi 88 di tahun 2019. Akan tetapi untuk skala Asia Tenggara Indonesia masih tertinggal dari Singapura (peringkat 44), Malaysia (33), Thailand (41), Vietnam (44) dan Filipina (53).
Indonesia menurut laporan GII masih tertinggal dalam aspek sumber daya manusia (SDM) yang kurang dalam melakukan riset. Pelaku usaha di Indonesia juga dinilai masih belum menerapkan model bisnis yang menggunakan teknologi canggih. Mayoritas pelaku usaha tanah air merupakan industri komoditas hasil bumi yang langsung diekspor tanpa diolah lebih lanjut melalui industri hilir.
Masih rendahnya SDM Tanah Air yang melakukan riset terkonfirmasi dalam data UNESCO Institute for Statistics. Pada tahun 2025, peneliti Indonesia memproduksi 10.000 publikasi ilmiah. Hal ini jauh tertinggal dari negara lain seperti Korea Selatan yang menghasilkan 200.000 paper per tahun, Jepang (300.000), Amerika Serikat dan Eropa di atas satu juta per tahun. Tiongkok (1,5 juta).
World Develoment Report (WDR) tahun 2024 yang dikeluarkan oleh Bank Dunia mengatakatan bahwa kunci sukses negara ekonomi menengah menembus negara berpenghasilan tinggi terletak pada kemampuannya melakukan inovasi. Pada tahun ini, negara tidak hanya melakukan adopsi teknologi dari luar, namun juga mengembangkan teknologinya sendiri. Indeks Teknologi Indonesia masih dikisaran nol koma yang berarti perusahaan di Indonesia tidak menggunakan teknologi tinggi. Sementara itu negara-negaa yang berpenghasilan memiliki indeks teknologi rata-rata 8,4. Artinya negara berpenghasilan menengah harus menaikkan kapasitas indeks teknologinya sebanyak 12,14 kali lipat. Jumlah peneliti Indonesia pun 336 peneliti per sejuta penduduk, perlu mendorong hingga setidaknya lima kali lipat agar sejajar dengan nega maju berpenghasilan tinggi.
Menurut Brian Yuliarto, agar mampu melakukan akselerasi dalam hal inovasi, pemerintah perlu mendorong kuantitas dan kualitas riset. Dan Breznits dan Michael Murphree dalam bukunya Run of The Red Queen : Government, Innovation, Globalization, and Economic Growth in China Paperback – May 31, 2012, membedah upaya Tiongkok dalam mendorong peningkatan anggaran riset. Upaya ini terbukti mampu mendorong pengembangan tekologi baru dan peningkatan kapasitas inovasi domestik secara masif. Pemerintah melalui kampus-kampus yang ada perlu bergandengan tangan dengan industri agar pihak industri mulai melakukan riset dan inovasi dengan memanfaatkan sumber daya unggul yang ada di kampus-kampus.
University 4.0
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi menyadari bahwa pemerintah tidak bisa bergerak sendirian dalam mendorong peningkatan anggaran riset. Untuk itu Kemendiktisainstek sudah waktunya terus mendorong transformasi perguruan tinggi Indonesia menuju University 4.0 atau Perguruan Tinggi Generasi Keempat (PT Gen 4.0).
BACA JUGA:
PT Gen 4.0 menekankan pada dampak ekonomi dan inovasi menjadi PT yang berperan dalam transformasi sosial-ekonomi serta pembangunan berkelanjutan. Pengelola PT Gen 4.0 perlu memiliki Innopreneurial Mindset yang terdiri dari pola pikir entrepreneurial, inovatif, serta kewirausahan berbasis nilai. Berbagai riset yang ada di PT harus terus didorong menjadi produk-produk unggulan. Sebaliknya berbagai permasalahan di sekitar kampus baik dari pemerintah setempat, industri maupun masyarakat dijadikan sebagai bahan penelitian dan inovasi sehingga akan terkait.
Menurut Brian Yuliarto, kolaborasi menjadi kata kunci yang harus diterapkan. PT Gen 4.0 menambhkan elemen masyarakat dalam sistem kolaborasi quadruple helix yang meliputi akademisi, industri, pemerintah, dan masyarakat. Beberapa skema tersebut diantaranya:
Pertama, kolaborasi PTN/PTS dengan kemampuan tinggi yang diarahkan menjadi mentor bagi PTN/PTS di daerah. Skema mentorship meliputi peluang double degree, pertukaran pengajar, riset kolaboratif serta konsorsium pengabdian masyarakat.
Kedua, PTN/PTS perlu berkolaborasi dengan Pemda memecahkan persoalan di daerah. Dengan dukungan Pemda, beragam inovasi daerah bisa diciptakan oleh PTN/PTS setempat. Kehadiran PTN/PTS juga akan lebih memiliki dampak bagi masyarakat sekitar.
Ketiga, kolaborasi antara PTN/PTS dengan industri strategis. Industri strategis dilibatkan dalam membiayai riset strategis seperti teknologi pangan, energi, transportase, pertahanan. Hasil dari riset tersebut dapat digunakan oleh industri dalam mengembangkan produk yang kompetitif dan memiliki daya saing.
Upaya kolaborasi antarberbagai elemen diharapkan dapat menghindarkan riset di perguruan tinggi terjebak dalam apa yang disebut, Grossman, P Wineburg S & Woolworth S dalam buku mereka: Toward a Theory of Teacher Community. The Teachers College Record (2001), sebagai death valley (lembah kematian) dalam inovasi.
Di sinilah pentingnya peran industri untuk menjadi lokomotif bagi riset dan inovasi yang sudah berada di hilir. Penguasaan dan pemahaman pasar yang baik oleh industri sejatinya dapat menarik dan mengarahkan produk riset inovasi menjadi lebih sesuai dan sukses di pasar komersial.
Melalui kolaborasi yang dirajut melalui PT Gen 4.0 riset di perguruan tinggi dapat didorong secara nyata. Sebaliknya PT juga harus produktif menjalin jejaring dan berbagai kerjasama dengan pemerintah sekitar PT, industri, serta masyarakat dengan misi menyeleikan berbagai permasalahan yang ada melalui berbagai kajian, riset dan inovasi oleh sumber daya yang ada di setiap PT.
Kehadiran PT makin dirasakan manfaatnya di masyarakat karena riset yang dibuat memang dibutuhkan dalam memecahkan problem masyarkat. Paradigma pendidikan dan riset berkualitas untuk menjawab permasalahan inilah yang sejatinya dapat membawa PT menjadi bermakna. Tidak berlebihan jika PT dapat menjadi lokomotif pertumbuhan wilayah dan ekonomi di kawasan.
Modernisasi kurikulum
Direktur Jenderal UNESCO Stefania Giannnini (Kompas, 19/7/2025) menyatakan saat menyempitnya peluang kerja generasi muda, ada 450 juta anak muda di seluruh dunia kekurangan keterampilan yang memadai untuk berhasil di pasar tenaga kerja. Satu dari lima individu berusian 15-34 tahun belum berada di jalur forma yang menuju pengembangan keterampilan.
Menutut Stefania, untuk memberdayakan generasi muda di era kecerdasan buatan (AI) pendidikan harus inklusi, siap menghadapi masa depan dan responsif terhadapan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Hal tersebut perlu direspons, dengan memodernisasi kurikulum agar mencakup keterrampilan digital dan ramah lingkungan. Selain itu, perlu dibangun kemitraan yang lebih kuat dengan para pemberia kerja untuk menciptakan lebih banyak peluang pembelajaran berbasis kerja.
Pendidikan bukan hanya tentang beradaptasi dengan perubahan, tetapi tentang memberi generasi muda kekuatan untuk membentuknya. Sebab hampir 40 persen keahlian saat ini tidak lagi sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Menurut Forum eEkonomi duna (WEF), sekitar 22 persen pekerjaan diperkirakan akan bertransformasi pada tahun 2030 akibat disrupsi teknologi.
Oleh karena itu, upaya menutup kesejnjangan ini sangat penting, tidak hanya untuk masa depan kaum muda, tetapi juga untuk kemakmuran ekonomi global. Bank Dunia memperkirakan bahwa mengatasi kesenjangan keterampilan di kalangan pemuda dapat membuka nllai ekonomi sebesar 6,5 triliun dollar AS selama tujuh tahun ke depan.
Ketermpilan bukan saja alat, melainkan mesin pemberdayaan dan peluang. Dari pengetahuan tradisional, seni kreatif, sehingga kepemimpinan komunitas, beragam keterampilan memungkinkan kaum muda membentuk masa depan mereka dan membangun masyarakat yang lebih inklusif, damai dan berkelanjutan.
Menurut Brian Yuliarto, kita dapat belajar dari beragam negara yang telah sukses memanfaatkan perguruan tingginya dalam mengakselerasi riset, inovasi, dan teknologi sekaligus berdampak bagi negaranya. Kajian yang dilakukan oleh London Economics menunjukkan bahwa dampak ekonomi Russel Group, asosiasi 24 PT prestisius berbasis riset (Oxford, Cambridge, Imperial College of London mencapi £86,75 billion tahun 2015-2016. Pada periode yang sama, London Economics melaporkan dampak ekonomi Group of Eight University di Australia mencapai $ 66.43 billion.
Tentu tak lengkap tanpa membahas PT Tiongkok yang dalam 20 tahun terakhir mampu menempatkan 7 PT-nya dalam Top 100 THE WUR (Time Higher Education World University Rankings). Secara terstruktur, sistematis, dan masif, Tiongkok mengikuti jejak negara maju lainnya seprti US, UK, Jerman, Jepang, Korsel, mampu menjadikan PT berkelas dunia yang dimiliki berdampak sebagai episentrum inovasi dan teknologi pada level regional agar pembangunan ekonomi terakselerasi secara paralel dan merata.
PT perlu dimanfaatkan sebagai katalisator pertumbuhan ekonomi wiayah dan kawasan di Indonesia. PT Indonesia perlu mentransformasi dirinya mnjadi PT Gen Z 4.0 agar Kampus Berdampak nyata dan menjadi katalis pertumbuhan regional dan secara agregat berkontribusi mewujudkan Indonesia emas 2045. (*)
There is no ads to display, Please add some