Oleh: Ben Senang Galus, Pemerhati masalah pendidikan, tinggal di Yogyakarta
beritabernas.com – Pembangunan pendidikan (manusia) Indonesia dengan peta jalan yang jelas dan terukur dan dilakukan secara masif, sangat diperlukan guna menjawab tantangan pembangunan dan memastikan konstribusinya terhadap pencapaian visi Indonesia ke depan.
Peta jalan pendidikan Indonesia adalah pengembangan ekosistem talenta nasional dan global perlu terus ditumbuhkembangkan pada berbagai tatanan.
Untuk mewujudkan hal tersebut melalui penataan kelembagaan yang ada berdasarkan kebutuhan konkrit Indonesia yaitu pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, pertukangan, UMKM, tata boga yang dapat bergerak cepat dan didukung oleh kepemimpinan berintegritas guna memastikan berkembangnya talenta unggul dengan inovasi dan kreativitasnya, program dan kegiatan dan penganggaran yang dikembangkan dipastikan tidak lagi business as usual.
Revolusi Industri 4.0 yang diperkenalkan pertama kali pada tahun 2011 di Jerman (Hanover Fair) maupun Society 5.0 yang diperkenalkan pertama kali di Jepang, sama-sama menuntut kompetensi Sumber Daya Manusia yang berkaitan dengan keterampilan Problem Solving, penciptaan nilai, imajinasi, kreativitas dan inovasi.
Keterampilan utama (top skills) untuk kompetensi tenaga kerja ke depan yang diidentifikasi oleh World Economic Forum (2024), dibagi atas dua bagian yaitu pertama hard skill, (usage and programing) atau sering disebut kemampuan teknologi. Kemampuan ini bisa digantikan dengan mesin.
Kedua, soft skill, meliputi: 1) Problem Solving, 2) Crtical Thinking, 3) Creativity, 4) People Management, 5) Coordinating With Others, 6) Emotional Intellingence, 7) Judgment and Decition Making, 8) Servie Orientation, 9) Negotiation, 10) Cognitve Flexibility, 11) complex communication, 12) leadership, dan 13) expert thinking, 14) analitical skill, 15) social skill, 16) ability to learn, and writing and reading, tetap berlaku dan relevan untuk menjadi persyaratan kualifikasi SDM dalam Era Revolusi Industri 4.0 maupun Society 5.0.
Society 5.0 menciptakan masyarakat imajinasi (imagination/super smart society), di mana transformasi digital akan mengkombinasikan imajinasi, kreativitas, dan inovasi dari setiap orang dalam dunia fisik (Physical Space) untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial agar menciptakan nilai, dengan dibantu oleh AI (Artificial Intelligence), IoT (Internet of Things), digitalisasi.
Peranan manusia dalam Society 5.0 harus memiliki kompetensi global agar mampu mengendalikan peranan robot dalam membantu semua pekerjaan yang dilakukan oleh Artificial Intellegence (Kecerdasan Buatan) yang dimiliki oleh robot-robot pintar itu.
Pemahaman tentang Lean Six Sigma, di mana Lean untuk meningkatkan nilai (value) dan menghilangkan pemborosan (Waste), serta Six Sigma untuk meningkatkan akurasi (Accuracy) dan menghilangkan/ menurunkan variasi (variation) secara dramatik akan menjadi landasan kuat dan sangat relevan dalam Industri 4.0 maupun Society 5.0.
BACA JUGA:
- Mengenai Hijrahnya Kaum Intelektual Kampus
- Refleksi Kritis tentang Kebiasaan Membaca di Sekolah
- Strategi Cerdas atau Pembodohan dalam Kebijakan Pendidikan?
Akan terjadi disrupsi besar-besaran dalam sistem pendidikan (tinggi) Indonesia, seperti banyak mata kuliah yang diajarkan akan cepat menjadi usang. Sistem pendidikan tinggi Malaysia (MyHE 4) lebih cerdas dan strategik dalam menghadapi Era Revolusi Industri 4.0 yang berfokus pada pengembangan kompetensi sumber daya manusia sebagai fondasi atau landasan untuk menopang aplikasi Industri 4.0, yang sekaligus kita melihat bahwa Malaysia juga siap memasuki Society 5.0.
Sedangkan Sistem pendidikan tinggi Indonesia hanya “berkutat” dengan perbaikan sistem seleksi masuk perguruan tinggi (negeri), pembukaan program studi baru, distance learning, tanpa roadmap yang jelas dalam membangun kompetensi SDM sesuai persyaratan pasar tenaga kerja lokal maupun global (Vincent Gaspersz, 2019).
Tantangan bagi dunia pendidikan
Penguasaan kemampuan utama (top skills) yang dibutuhkan masa depan menjadi tanggung jawab dunia pendidikan. Anak yang sekarang yang duduk di bangku sekolah maupun saat sedang kuliah merupakan pemilik masa depan. Masa depan dengan konstruksi Masyarakat 5.0, tapi sekaligus berada pada era Volatility, Uncertainty, Complexity and Ambiguity (VUCA): penuh gejolak, tidak pasti, rumit, dan serba kabur.
Dunia pendidikan pun menjadi tulang punggung sebab dunia pendidikan mampu mencetak sumber daya manusia yang berdaya saing. Ada beberapa hal yang perlu disiapkan dalam menghadapi VUCA. Yaitu volatility, perubahan yang cepat, tak terduga, dan tidak terprediksi. Volatility dapat kita atasi dengan cara didik yang tegas. Lembaga pendidikan perlu menerapkan visi yang jelas. Artinya, jadwalkan semua hal dengan terprogram. Perlu menetapkan materi secara kontekstual serta memastikan semua materi telah mengikuti perkembangan zaman.
Uncertainty adalah masa kini yang tidak jelas dan masa depan yang tidak pasti. Semua hal menjadi sulit diprediksi. Oleh karena itu, untuk mengatasinya, dunia pendidikan memerlukan pengajar yang mampu menjadi fasilitator yang mampu menjadi pendengar yang baik. Lembaga pendidikan juga diharapkan mampu melihat perspektif yang berbeda dari para siswa-siswi dan mahasiswa.
Melakukan pembelajaran berdiferensiasi adalah keharusan. Complexity adalah lingkungan yang dinamis dengan banyak ketergantungan antara satu sama lain menyebabkan kekacauan dan kebingungan. Guru sebaiknya lebih banyak memberikan respon, tidak reaktif, dan siap klarifikasi terhadap setiap permasalahan yang ada. Hal ini bertujuan agar tercipta kejelasan dalam mengambil keputusan.
Ambiguity adalah kurangnya kejelasan sudut pandang yang banyak sehingga menimbulkan kebingungan. Guru perlu lebih selektif saat memberikan jalan keluar atau solusi masalah yang sedang dialami siswa. Motivasi guru untuk terus belajar baik secara individu maupun kolaborasi dengan siapa dan di mana, dan kapan saja menjadi salah satu penentu keberhasilan guru untuk mengarahkan siswa.
Pendidikan menjadi salah satu bidang yang dapat menentukan kualitas manusia. Kreatif, cerdas, inovatif, dinamis, dan fleksibel adalah beberapa karakteristik baik yang diharapkan dapat diciptakan oleh dunia pendidikan. Kompetensi tersebut dapat kita pelajari dari dunia akademisi. Sehingga boleh dikatakan bahwa pendidikan adalah ujung tombak penentu kualitas manusia. Karakter peserta didik yang diperlukan dalam menghadapi VUCA adalah berjiwa pembelajar, kreatif dan inovatif, adaptif, resilient, mindset yang dinamis, percaya diri, dan pantang menyerah.
Kehadiran VUCA adalah tantangan bagi dunia pendidikan. Tantangan bagi para guru dan dosen. Guru dan dosen yang dimaksud dalam hal ini tak hanya guru atau dosen di sekolah atau di pergurua tinggi, tetapi juga para orang tua. Tanpa kita sadari VUCA menghadirkan disrupsi. Kekacauan yang secara teknis memengaruhi cara berpikir dan pola hidup manusia. Semua komponen kehidupan tak lagi bisa terus berada di zona nyaman. Anak-anak harus diajarkan untuk lebih fleksibel menghadapi semua perubahan.
VUCA telah menunjukkan taringnya. Hal ini bisa kita lihat dari munculnya berbagai jenis lapangan pekerjaan baru. Muncul jenis pekerjaan yang sebelumnya tidak pernah kita bayangkan, seperti social media manager, UI/UX designer, content creator, SEO specialist, dan data scientist. Munculnya bisnis rintisan berbasis digital juga menjadi penanda bahwa VUCA telah mendominasi kehidupan.
Fenomena VUCA telah memasuki ranah pendidikan. Dunia pendidikan sedang menghadapi jurang teknologi informasi. Hal ini terjadi karena guru berada dalam posisi pembelajar teknologi sedang siswa berada dalam posisi pemakai teknologi secara aktif. Keadaan menjadi kurang menguntungkan karena beberapa guru cenderung mengalami gagap teknologi. Beberapa guru berada dalam zona nyaman. Sulit menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada. Sudah tua dan menjelang pensiun seringkali menjadi senjata. Dan ini tak hanya terjadi pada guru. Orang tua juga mengalami hal yang sama.
Namun pola pikir semacam ini harus segera diubah. Sebab perubahan itu pasti terjadi. Pendidikan (mendidik) di era VUCA harus diikuti dengan pola pikir yang terbuka. Guru atau dosen harus mampu menjadi agent of change. Guru atau harus mampu memberi contoh jiwa pembelajar sejati. Begitupun orang tua. Sebab anak tak hanya belajar di sekolah atau kampus. Anak-anak juga belajar di rumah. Bersama para orang tua. Perubahan yang terjadi karena datangnya VUCA tak perlu ditakuti. Kesulitan yang ditimbulkan, sejatinya akan dapat diselesaikan dengan belajar bersama. Kerja sama banyak pihak.
Intinya semua pihak adalah guru (Ki Hadjar Dewantara). Semua harus mengikuti perkembangan. Semua harus dalam kondisi siap. Termasuk bersiap menghadapi perkembangan terbaru dunia. VUCA adalah salah satu fenomena yang sedang kita hadapi. Bukan tak mungkin, ke depan kita akan menghadapi tantangan lainnya. Oleh sebab itu, tugas kita adalah bersiap dan memfokuskan diri dengan belajar sepanjang hayat.
Demikian pula saat ini kita sudah memasuki era meteverse, adalah sebuah masa di mana muncul komunitas siber dan virtual 3D, tempat berlangsungnya aktivitas digital dengan avatar sebagai representasi user. Sehingga, seluruh kegiatan mulai dari berbelanja, bersosialisasi, bekerja hingga bersekolah, berlangsung dalam dunia fiksi virtual tersebut. Maka para pemegang masa depan tersebut tidak cukup dengan bekal ilmu pengetahuan, tapi juga cara berpikir.
Cara berpikir yang diperkenalkan adalah cara berpikir beradaptasi di masa depan, yang disebut Five Minds of the Future, yakni: The disciplinary of mind, The synthesing mind, Creating mind, The respectfull mind, dan The critical mind.
Berpikir adaptasi adalah bukanlah berpikir biasa-biasa saja, tetapi berpikir secara kompleks, berjenjang, dan sistematis (ala berpikir filsafat- radikal, universal, konseptual, koheren/konsisten, dan sistematis).
Dalam Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 atau era VUCA, diharapkan dalam sistem pendidikan kita menghasilkan seven mandatory abilities (tujuh kemampuan wajib) generasi masa depan, antarlain: Great collaborators and orchestrator, The great synthesizers, The great explainers, The great leveragers, The great adapters, The green people, The great localizers.
Five Minds of the Future dan seven mandatory abilities itu akan diramu dalam sebuah metode yang disebut dengan Disruptive Technology. Pada SMA, seperti 1) Competency-based Education: siswa mempunyai kemampuan berbeda-beda. Bantuan teknologi digunakan untuk memudahkan mahasiswa membentuk kemampuannya. 2).The Internet of Things: Peningkatan konektivitas semua peralatan yang ada akan membuat komunikasi lebih mudah antara siswa dengan guru, 3) Virtual/Augmented Reality:
Virtual reality dapat membuat seolah-olah siswa benar-benar melaksanakan kegiatan pembelajaran praktik/praktikum (terutama untuk praktikum yang membahayakan atau kompleks, 4) Artificial Intelligence (AI): Online learning platform dengan bantuan AI, dapat beradaptasi dengan kebutuhan siswa/mahasiswa.
Untuk mewujudkan konsep pendidikan 4.0 dan Society 5.0, dan menentuk peta jalan pendidikan Indonesia masa depan, hendaknya lembaga pendidikan di tanah air melalui pendidikan dasar dan menengah maupun pendidikan tinggi mengembangkan tiga langkah strategis dan inovasi yang meliputi: pertama, Implementasi menyeluruh Outcome Based Education: mampu menjawab kebutuhan pengguna (graduate employability) dan penerapan pembelajaran berbasis luaran (outcome based education) menjadi sebuah keharusan untuk memberikan ruang dalam merumuskan capaian pembelajaran (learning outcome); desain ulang kurikulum, pengembangan karakter dan kreativitas siswa/mahasiswa, keselarasan yang konstruktif antarkompetensi, metode pembelajaran, hingga sistem penilaian.
Kedua, Pengembangan Motode dan Konten Pembelajaran, antara lain,Student Centered Learning, Blanded Learning, Visual Based Learning, Desiminasi Pengetahuan Melalui Kanal Pengetahuan dan Menara Ilmu. Pemanfaatan produk desiminasi pengetahuan melalui kenal pengetahuan dan menara ilmu berpotensi menjadi pelengkap sumber belajar eksternal.
Kanal pengetahuan harus dikembangkan untuk mewadahi berbagai bentuk desiminasi pengetahuan yang dikemas dalam menara ilmu, video dokumenter, webinar, Massive Open Online Corse (MOOC) dan berbagai bentuk desiminasi lain yang harsu dikembangkan, semisal academic production house, sebagai pusat pengembangan dan produksi konten-konten berbasis audio visual pendukung sember belajar dan desiminasi pengetahuan.
Ketiga, penyediaan Learning Space Pendukung.Karakteristik generasi Y dan Z yang akrab dengan dunia digital memudahkan mereka dalam membangun jaringan sosial (social nerwork), mengeksplorasi sumber belajar, berani menerima tantangan (risk taker), berkolaborasi lintas disiplin (borderless of sciences), dan selalu berambisi menghasilkan sesuatu hal yang baru dan berbeda.
Fasilitas proses dan metode pembelajaran yang fleksibel, kreatif, berbasis capaian, dan berorientasi pada hasil/prestasi dengan menyedikan ruang-ruang terbuka yang saling berjejaring dan kerja bersama (co-working space) menjadi sebuah kebutuhan yang harus disediakan.
Cybernetics dalam pendidikan masa depan
Johanes Eka Priyatma (2019) mengatakan, menghadapi era 4.0. dan sosciety 5.0, sepertinya kita menghadapi masalah. Para guru (daerah terpecil) dan dosen mungkin tidak siap memasuki dunia sibernetika ini dan memaksa menghadapi para mahasiswanya/siswanya untuk menghidupi dunia fisik semata. Bila ini yang terjadi maka akan merugikan semua pihak karena pendidikan akan kehilangan kesempatan menegosiasikan ruang fisiknya menjadi bagian penting dari ruang sibernetika.
Padahal ruang fisik memiliki beberapa kelebihan seperti otensisitas, kepastian, kehangatan otentik serta kepermanenan. Sementara itu, bagi homo connecticus, ruang fisik haruslah semudah dan senyaman ruang maya. Untuk itu ruang fisik harus menjadi alternatif terjadinya relasi yang lebih intim dan hangat dibanding ruang maya. Hal ini membawa banyak konsekeunsi mulai dari penataan ulang kantin, kelas, laboratorium dan perpustakaan. Ruang-ruang tersebut harus kita tata ulang sehingga menjadi ruang sibernetika di mana ketersediaan sarana fisikal sama penting dengan ketersediaan sarana digital.
Secara khusus, kerangka sibernetika ini akan memaksa guru/dosen menggagas ulang tentang konsep kelas kuliah beserta mimbarnya. Kelas bukan lagi menjadi tempat satu-satunya pertemuan. Bahkan, kehadiran secara fisik siswa tidak serta merta menyatakan kehadiran diri sepenuhnya. Sebab, meskipun secara fisik hadir di kelas, siswa dapat secara digital hadir di tempat lain yang ribuan kilometer jauhnya.
Untuk itu, kelas harus menjadi ruang yang sungguh menghadirkan care otentik dan bermakna bagi siswa. Idealnya, care tersebut bukan hanya semata pengalihan perhatian siswa ke kelas fisik tetapi sebisa mungkin menjadi realitas di ruang sibernetika. Artinya, care otentik sebaiknya mewujud dan berkembang dalam format dan bahasa ruang sibernetika. Menyaksikan bersama-sama lalu mendiskusikannya di kelas sebuah video dari kanal youtube.com memakai sarana audio berkualitas di kelas akan merupakan salah satu contoh bagaimana cara menghidupi kelas sibernetika.
Pengetahuan dan nilai-nilai yang menjadi hal paling pokok dalam pendidikan akan menjadi hal yang paling sulit untuk digagas ulang dalam ruang sibernetika ini. Perkara ini mejadi semakin pelik manakala pengetahuan dan nilai-nilai kita pahami lebih sebagai perkara otoritas yakni menjadi hak milik, bersumber pada, atau kewenangan dari pendidik. Internet telah lama ‘mengobrak-abrik’ prinsip ini karena informasi dan pengetahuan saat ini telah menjadi bersifat sangat terbuka dan bebas, sangat melimpah, dan sangat murah. (*)
There is no ads to display, Please add some