beritabernas.com – Dosen Fakultas Hukum (FH) UII Dr Ridwan SH M.Hum menerima SK Profesor dari Mendikbud RI, Senin 6 November 2023. Penyerahan SK jabatan akademik tertinggi di lingkungan perguruan tinggi itu dilakukan oleh Kepala LLDikti Wilayah V DIY Prof drh Aris Junaidi kepada Rektor UII Prof Fathul Wahid ST MSc PhD untuk kemudian diteruskan kepada Dr Ridwan SH M.Hum.
Menurut Rektor UII Prof Fathul Wahid, Prof Ridwan SH M.Hum merupakan Guru Besar ke-38 yang lahir dari rahim UII dan merupakan Guru Besar ke-11 di Fakultas Hukum (FH) UII. Pada 6 Oktober 2023, dua Dosen UII juga menerima SK Guru Besar atau Profesor dari Mendikbud RI yakni Prof Zaenal Arifin dan Prof Ilya Fadjar Maharika.
Dikatakan, sampai hari ini, UII mempunyai 38 profesor aktif yang lahir dari rahim sendiri. Ini menjadikan proporsi Dosen UII dengan jabatan akademik profesor mencapai 4,7 persen atau 38 dari 800 orang Dosen UII. Dari 38 tersebut, proporsi terbesar atau sebanyak 11 (atau 28,9 persen) berada di Fakultas Hukum UII.
Sementara itu, menurut Rektor UII, saat ini ada 263 Dosen UII yang berpendidikan doktoral, 69 berjabatan lektor kepala dan 118 lektor. Mereka semua (187 orang) tinggal selangkah lagi mencapai jabatan akademik profesor.
Menurut Prof Fathul Wahid, selain karena sekarang adalah masa panen dari benih yang sudah ditanam pada waktu lampau, beberapa program percepatan yang didesain dengan mempertimbangkan etika tinggi, alhamdulillah membuahkan hasil. “Capaian jabatan profesor bukan hanya merupakan prestasi personal, tetapi juga meningkatkan profil institusi,” kata Rektor UII Prof Fathul Wahid dalam sambutan pada acara penyerahan SK Profesor untuk Dr Ridwan di Ruang Datar GKU Dr Sardjito Kampus Terpadu UII, Senin 6 November 2023.
Sementara Kepala LLDikti Prof Aris Junaidi mengatakan, penyerahan SK Guru Besar merupakan bentuk pengakuan pemerintah atas kontribusi seseorang terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Hal ini juga merupakan awal kehidupan baru bagi seseorang di bidang akademik dan tanggung jawab baru dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Kerendahan hati intelektual
Rektor UII Prof Fathul Wahid dalam sambutannya mengatakan, salah satu isu yang dibahas dalam buku
Misbelief karya Dan Ariely, seorang profesor psikologi dan ekonomika perilaku dari Universitas Duke, adalah kerendahhatian intelektual atau tawaduk intelektual (intellectual humility). Sikap kerendahhatian atau tawaduk yang merupakan titik tengah antara kesombongan, di satu sisi dan di sisi lain sikap mencela diri sendiri atau minder.
BACA JUGA:
- Tambah 2 Guru Besar Baru, UII Kini Miliki 37 Dosen Bergelar Profesor
- Pidato Pengukuhan Guru Besar UII, Prof Widodo: Iptek Lingkungan Berkontribusi pada Pencapaian SDGs
Menurut Prof Fathul Wahid, orang yang tawaduk tidak menghargai dirinya sendiri terlalu berlebihan alias tidak menjadi sombong dan juga tidak terlalu merendahkan diri sendiri yang memunculkan rasa malu atau minder.
Begitu juga untuk konteks tawaduk intelektual. Ketika tawaduk intelektual hilang, maka orang dapat terjebak dua ekstrem. Di sisi ekstrem yang satu ada kekeraskepalaan (stubbornness) yang tidak mau
berubah karena merasa semua pengetahuan yang dimilikinya sempurna dan tanpa cacat. Sikap ini akan melahirkan arogansi intelektual (intellectual arrogance) (Church & Barrett, 2016).
Sementara di sisi ekstrem lainnya, ada kenaifan (gullibility) yang mudah percaya informasi apapun yang memaparnya. Sikap ini membuat orang terjebak pada keminderan intelektual (intellectual diffidence) (Church & Barrett, 2016). Hal ini menjadi salah satu penjelas mengapa orang rasional dapat percaya hal-hal yang tidak rasional (Ariely, 2023).
“Kenaifan ini yang menjadikan seseorang mudah percaya dengan beragam informasi. Inilah juga yang menjadikan misinformasi atau hoaks bisa cepat menyebar luas,” kata Prof Fathul.
Dikatakan, tawaduk intelektual adalah pilihan wasatiah antara dua esktrem tersebut. Ini mirip dengan mengambil sikap berani yang merupakan wasatiah antara takut dan nekat. Jika tawaduk intelektual dijaga, maka kita terbuka untuk menerima hal baru selama ada dukungan oleh bukti atau argumen. Kita pun tidak pernah mengklaim jika semua pengetahuan yang kita percaya atau produksi bersifat final.
Dalam dunia saintifik, kebenaran selalu bersifat nisbi. Ketika ada bukti baru yang tidak mendukung, maka
kebenaran tersebut ditantang: dibatalkan atau diperbaiki. Inilah yang oleh Popper (1963) disebut dengan falsifikasi. Elemen tawaduk intelektual termasuk asesmen yang akurat terhadap kecakapan dan prestasi, kemampuan untuk mengakui kesalahan, kesenjangan dalam pengetahuan, dan juga keterbatasan-keterbatasan yang terkait dengan diri sendiri.
Elemen lainnya adalah keterbukaan terhadap ide baru dan informasi yang mengandung kontradiksi
(Whitcomb et al., 2017). Mereka yang mempunyai tawaduk intelektual biasanya tidak berfokus pada diri
sendiri, dan di saat yang sama mengakui bahwa dirinya adalah bagian dari semesta yang lebih luas. Karenanya, dia akan mengapresiasi manfaat atau nilai dari segala sesuatu dan percaya bahwa setiap orang dalam berkontribusi dengan caranya yang berbeda-beda (Whitcomb et al., 2017).
“Menjalankan sikap tawaduk intelektual ini akan membantu membentengi kita dari kecenderungan arogan, otoriter, dogmatis dan sekaligus dari bias (Porter et al., 2022; Church & Barrett, 2016),” kata Prof Fathul.
Ia menjelaskan, ada beragam dampak personal lain. Pengamal tawaduk intelektual biasanya mempunyai kepuasan hidup yang lebih baik dibandingkan yang tidak (Grossmann et al.,2020). Mereka juga cenderung lebih aktif mencari pengetahuan baru (Krumrei- Mancuso et al., 2020).
Selain itu, tawaduk intelektual juga akan membantu dalam pengambilan keputusan berdasar informasi yang baik (Leary et al., 2017). Selain dampak personal, tawaduk intelektual juga mempunyai dampak sosial. Penganutnya cenderung mempunyai sikap toleransi terhadap pandangan berbeda, dan tidak memusuhi kelompok yang berbeda (Krumrei-Mancuso, 2017).
Mereka juga mau mempertanyakan diri sendiri dan mempertimbangan pendapat tandingan (Colombo et al., 2021). Karena tawaduk intelektual mendukung kohesi interpersonal dan mengurangi kecenderungan untuk menghina orang ketika beradu argumen, pengamalnya bisa berkawan dengan orang di luar kelompoknya (Porter & Schumann, 2018). (lip)
There is no ads to display, Please add some