Oleh: Dr KRMT Roy Suryo
beritabernas.com – Sudah jatuh tertimpa tangga. Begitulah kira-kira gambaran yang dialami Indonesia hari-hari ini. Kekalahan 1-2 dari Irak semalam, meski dalam statistik ball position menunjukkan kita lebih unggul 52% berbanding 48% (catatan: angka ini murni baru didapat setelah pertandingan selesai dan bisa dibuktikan keakurasian alias kejujurannya, bukan diset sejak awal sebagaimana Sirekap yang ditengarai penuh kecurangan dan kejahatan), namun Skuad Timnas U-23 Indonesia binaan Shin Tae-yong tampak tidak kuasa membendung serangan-serangan balik negara yang dulu dikenal dengan nama Mesopotamia (=di antara dua sungai, Tigris & Eiphrates) itu.
Meski sempat unggul terlebih dulu di menit ke-19 melalui gol yang sangat bagus dari Ivar Jenner hasil sepak pojok Witan Sulaeman dan kerjasama dengan Rafael Struick, sayang kemudian di menit ke-28 setelah kemelut di depan gawang Ernando Ari dimanfaatkan oleh kerjasama Nihad Mohamed dan Zaed Tahseen.
Sebenarnya Garuda Muda hampir kebobolan lagi di babak ke-2 saat Nihad Mohammad melepas tembakan ke gawang kita, namun beruntung Nathan Tjoe A On berhasil menyentil bola keluar sebelum masuk diantara dua mistar. Setelah hasil seri inilah pertandingan dilanjut dengan perpanjangan waktu 2x 15 menit dan akhirnya di menit ke-96 Ali Jasim memastikan kemenangan atas Indonesia.
Dengan demikian Skuad Indonesia U-23 untuk sementara harus menunda mimpinya untuk langsung bisa bermain di Olimpiade Paris 2024, karena mesti bermain lagi melawan Skuad Guinea U-23 dalam babak play-off. Apalagi dalam pertandingan yang baru akan dilaksanakan 9 Mei 2024 tersebut, lokasi pertandingan di Perancis dapat dikatakan “rumah kedua” bagi negara Afrika Barat yang memenangkan posisi ke-4 Piala Afrika U-23 tahun 2023 di bawah binaan pelatih Kaba Diawara itu.
Dengan kata lain, skuad dari negara yang bahasa sehari-harinya juga Perancis meski berpenduduk hanya 13.237.832 jiwa ini merupakan lawan yang dimungkinkan lebih berat dibandingkan Irak yang baru saja mengalahkan kita semalam.
Tetapi sebagaimana tulisan saya sebelumnya, apakah kita kemudian harus pesimis dan tidak boleh optimis? Tentu saja tidak, karena harapan kemenangan dan menjadi bagian dari Olimpiade Paris 2024 tetap ada alias terbuka. Hanya saja jangan kebanyakan Lamis (Jawa) sebagaimana yang sering ditampilkan oleh penguasa rezim ini, dimana menganggap semua persoalan baik-baik saja seolah-olah tidak ada masalah samasekali (padahal secara statistik ekonomi dan tingkat kebebasan demokrasi Indonesia saat ini sedang menurun tajam dan berada di titik nadir berdasarkan laporan obyektif berbagai media mainstream internasional yang berusaha ditutup-tutupi di sini, seperti The Economist, New York Times, The Guardians dan sebagainya).
Rezim ini lupa, meski media-media mainstream nasional sudah bisa “dikendalikan” (bahasa halus dari “dibungkam”), namun sekarang bukan lagi seperti zaman penjajahan Jepang dulu dimana radio-radio masyarakat banyak yang dipaku Varco (Variable Condensator)-nya alias penala gelombangnya untuk tidak bisa diputar mencari frekuensi-frekuensi siaran radio.
Djaman dahoeloe saja banyak pejuang yang bisa kreatif membongkar hal tersebut, apalagi sekarang di saat globalisasi komunikasi sudah tidak terbendung, dimana IoT (Internet of Thing) sudah menjadi kehidupan sehari-hari di era Industry 4.0 apalagi Society 5.0. Rezim ini mau menutupi informasi obyektif dari luar atau membelenggu kebebasan berpendapat masyarakat Insya Allah akan mudah dibongkar dan dilawan.
Ini pulalah yang barusan dialami oleh Indonesia. Bak kena prank, belum selesai puja-puji media-media nasional mainstream pro-rezim memberitakan dengan gegap gempita adanya investasi Apple senilai Rp 1,6 trilyun-yang sebenarnya “hanya” 0,6% dari investasi sejenis yang ditanamkannya di Vietnam sebesar Rp 256 trilun-mendadak bak petir di siang hari bolong, diberitakan bahwa investasi yang hanya akan buka lembaga pendidikan (sedangkan di Vietnam membuka pabrik manufaktur) tersebut batal.
Beberapa kalangan mengatakan apakah ini karma akibat pemimpin rezim juga suka nge-prank rakyatnya sendiri? Wallahuallam, karena saya juga tidak mau menduga-duga “siapa” itu yang dimaksud agar tidak disebut suudzon.
BACA JUGA:
- Masih Soal Alexis, Garuda Muda di Hari Pendidikan Nasional
- Antara Alexis, Uzbekistan, Garuda Muda dan Usulan Challenge VAR
Padahal kemarin saat Tim Cook (CEO Apple) datang ke Indonesia sudah diterima dengan karpet merah di Istana Negara oleh Presiden sendiri didampingi beberapa menterinya. Mengapa mendadak bisa seperti ketika ada yang juga sudah repot-repot sowan ke Elon Musk beberapa waktu lalu di USA, namun progres investasi otomotif Tesla-nya (apalagi proyek angkasa luar Space-X) juga tidak terdengar kabarnya lagi di Indonesia alias seperti kabur tertiup angin ke luar angkasa hingga kini?
Menterinya ada yang tampak saling mencari kambing hitam di kasus Apple ini, menyalahkan media yang “terlalu bombastis” katanya, namun dia sendiri akhirnya mengaku tak ikut mendampingi saat itu.
Kalau sekarang faktanya sudah mulai (banyak) investor yang urung atau batal menanamkan investasinya, apakah hal tersebut menunjukkan Indonesia sedang baik-baik saja? Nama-nama besar seperti Elon Musk, Tim Cook tentu bukan nama kecil dalam bisnis raksasa di dunia.
Ini mengingatkan kita juga saat mundurnya SoftBank dari salah satu raksasa bisnis yang diharapkan akan masuk proyek IKN, belum lagi dari dalam negeri muncul nama Djarum dan Wings-meski berusaha berkilah dengan berbagai kata-kata yang lamis dan tetap invest namun kecil-dikabarkan mundur juga utk menanamkan investasi besar di proyek “Bandung Bondowoso” yang menyedot anggaran negara alias uang rakyat. Sudah diakui sendiri beberapa waktu lalu, belum banyak investor asing yang benar-benar sudah masuk ke sana setelah beberapa waktu sebelumnya bilang yang mau invest katanya “antri”(?)
Oleh karena itu sekali lagi kondisi seperti ini sebenarnya sudah bena-benar warning bagi Indonesia, persis seperti artikel Ki Hadjar Dewantara yang sudah saya tulis dan kutipkan secara lengkap kemarin (Als ik een Nederlander was, yang artinya “Seandainya Aku Seorang Belanda”).
Tulisan yang terbit 111 tahun silam tersebut (13/07/1913) seperti sudah bisa “meramal” kondisi Indonesia saat ini, dimana Rezim Belanda-saat itu-hanya sibuk berpesta pora di tengah rakyatnya yang makin menderita, begitulah singkatnya.
Kita memang rindu sosok seperti Ki Hadjar yang benar-benar mengerti filosofi kata “mengajar dengan mendidik” di negara tercinta ini, bukan malah seperti pembantunya yang (mungkin) akibat ikut-ikutan dia, menghilangkan misalnya salah satu warisan kegiatan wajib di sekolah yakni Pramuka.
Meski masih ditawarkan sebagai ekstra kulikuler namun esensi pendidikan Kepramukaan yakni kepanduan sebenarnya sangat baik untuk etika dan budi pekerti anak Indonesia.
Kalah dari Irak masih bisa disebut sebagai kekalahan yang terhormat, apalagi kita tahu semua Skuad Indonesia U-23 memang telah berusaha bermain sekuat tenaga dan sebenarnya sudah mencapai di atas target. Namun kalau diprank oleh berbagai pihak dari luar negeri tersebut harus dimaknai sebagai teguran dari Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT-bahkan tamparan-kepada mereka-mereka yang selama ini jumawa mengelola negara.
Tesla, Apple, SoftBank dan sebaganya baru contoh di awal, tentu kita tidak ingin ada lagi nama-nama lain yang mengikutinya, misalnya Microsoft yang konon mau investasi Rp 27 trilun kemarin. Ada baiknya sebelum terlambat dan makin mengorbankan rakyat, sebaiknya mereka bertobat. (Dr KRMT Roy Suryo, Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen)
There is no ads to display, Please add some