Masih Soal Alexis, Garuda Muda di Hari Pendidikan Nasional

 Oleh: Dr KRMT Roy Suryo 

beritabernas.com – Saat saya (sengaja) menulis judul tulisan sebelumnya dengan kata Alexis, rupanya artikel tersebut-dalam pantauan komen di berbagai WAG dan situs online yang memuatnya-relatif jauh lebih “meriah” dibanding artikel-artikel sebelumnya.

Hal ini mirip-mirip ketika saya menulis soal Modus Pencurian dan Penggelembungan Suara beberapa waktu lalu, yang juga mendapat respon cukup banyak dari pembaca. Memang lucunya, komen juga bukan berasal dari pihak-pihak yang selama ini punya konsentrasi terhadap topik-topik kecurangan Pemilu, kejahatan rezim, teknologi dan olahraga yang biasa saya tulis, namun juga dari para “member” bangunan tinggi yang dulu dicat cukup mencolok alias eye catching tersebut.

Mulai dari cerita kendaraannya dulu sering tampak terparkir di sana, suasana lantai 5 sampai lantai 7 tempat “basis” bisnis utama Alexis, hingga nama-nama LC yang masih pada diingatnya, mewarnai berbagai komen tulisan sebelumnya.

Bahkan ada yang sempat menduga apakah kekalahan Indonesia U-23 salah satunya karena “gangguan” para “alumnus” (dari Uzbek?) yang foto-fotonya banyak beredar di berbagai platform social media hari-hari ini. Namun saya sekali lagi percaya Skuad Timnas U-23 kita “bersih” atau bahkan tidak mengenal nama Alexis tersebut sebelum malah namanya viral akhir-akhir ini pasca kekalahan 0-2 dengan tim negara negara yang terletak di Asia Tengah dan berasal dari rumpun Persia tersebut.

Dr KRMT Roy Suryo. Foto: tangkapan layar video

Oleh karenanya Tim Garuda Muda tidak perlu gusar akan berbagai komen sebelumnya, yang terpenting hari ini optimis tatap ke depan untuk pertandingan melawan skuad Irak yang di semifinal dikalahkan Jepang dengan skor sama seperti ketika kita dikalahkan Uzbekistan 0-2 sebelumnya.

Meski Kapten Timnas U-23 Indonesia Rizky Ridho tidak bisa bermain karena terkena kartu merah, namun penyerang andalan yang kemarin tidak turun gara-gara akumulasi kartu kuning, Rafael Struick, dipastikan bisa main. Memang kalau Justin Hubner masih ada dispute karena perbedaan pendapat antara AFC dan Indonesia soal akumulasi kartu kuning.

Perebutan tempat ketiga melawan Irak ini penting kalau Indonesia berniat mengikuti Olimpiade Paris 2024 mendatang, sebagaimana sejarah 68 tahun silam, saat kita bisa bermain di Olimpiade Melbourne 1956 dan sempat bisa menahan imbang Skuad Uni Soviet 0-0, sebelum akhirnya dikalahkan 0-4 dalam pertandingan selanjutnya.

Bahkan saat itu Legenda Sepakbola Indonesia Ramang hampir saja membuat Indonesia unggul pada menit ke-84 andai saja tendangannya tidak ditahan Lev Yasin, Kiper Soviet yang dikenal luas sebagai kiper terhebat dalam sejarah sepak bola.

Jelas beda secara signifikan. Saat itu belum ada VAR (Video Assistant Referee) yang bisa menjadi “musuh” kita sebagaimana pertandingan melawan Uzbekistan, di samping kepemimpinan wasit yang tidak fair, Shen Yinhao.

Masalahnya dalam pertandingan melawan Irak nanti, wasit VAR yang kemarin juga “menggagalkan goal Muhammad Ferrari dan memberikan kartu merah kepada Rizky Ridho” adalah orang yang sama, yakni Sivakorn Pu-udom dari Thailand. Nama terakhir ini sekarang juga vViral di berbagi platform social media sebagai sosok yang dituding paling bertanggungjawab terhadap gagalnya Garuda Muda masuk Final di AFC Asia 2024 ini.

BACA JUGA:

Tapi sebaiknya kita tidak usah mencari kambing hitam dan menyalahkan pihak lain, lebih baik evaluasi diri dan move on untuk bisa tampil lebih baik lagi. Jangan meniru rezim ini yang suka menggunakan modus yang sama apabila program-program2nya banyak yang tidak tercapai, seperti menyalahkan El Nino, akibat perang Israel-Hamas, bencana alam di Eropa jauh, dan sebagainya.

Padahal keterpurukan ekonomi yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi tidak tercapai dan krisis berbagai kebutuhan pangan sebenarnya terjadi akibat adanya salah manajemen, di samping faktor korupsi dan nepotisme yang semakin menjadi-jadi.

Ki Hadjar Dewantara

Hal di atas sangat ironis bila kita kembali mengingat keteladanan Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, yang tanggal lahirnya 2 Mei 1889 di Pakualaman Jogja diabadikan sebagai “Hari Pendidikan Nasional” atau Hardiknas semenjak tahun 1959 bersamaan dengan pemberian gelar beliau sebagai Pahlawan Nasional.

Pendiri Yayasan Perguruan Tamansiswa ini memang dikenal sangat lurus dalam memberikan petuah di dunia belajar-mengajar terutama menerapkan etika dan budi pekerti sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam ilmu pendidikan. Karena jangankan korupsi dan nepotisme, soal-soal etika dan budi pekerti ini sekarang sudah banyak ditinggalkan oleh para oknum yang bertopeng pejabat dan penguasa negeri. Mereka tanpa tedeng aling-aling alias tidak malu mempertontonkan secara vulgar hal-hal yang sangat kontradiktif dengan ajaran Ki Hadjar Dewantara.

Salah satu tulisan beliau yang paling terkenal adalah Als ik een Nederlander was artinya seandainya aku seorang Belanda yang diimuat dalam surat kabar De Expres 13 Juli 1913.

Isi tulisan tersebut adakah “Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya”.

Makna tulisan tersebut sangat mirip dengan yang sekarang sedang terjadi, dimana kondisi ekonomi sedang terpuruk namun ambisi pribadi untuk membangun ibukota negara (IKN) baru Nusantara, tampak sangat dipaksakan. Bahkan yang dibangun pertama adalah istana bersama rumah-rumah pejabatnya, bukan perumahan rakyat yang sebenarnya adalah penyokong terbesar dana anggaran selama ini.

Meski ada UU-nya, namun aturan yang diketok tidak lebih dari 80-an anggota DPR yang hadir secara fisik (meski saat itu memang sedang Covid) terasa sangat dipaksakan mengingat sebenarnya jumlah wakil rakyat kita adalah 575 orang.

Jadi meski sebagai disebut-sebut “hadir secara online”, namun kita tahu semua bahwa yang ” hadir” tersebu bisa jadi hanya TA-nya atau aspri-nya yang menghidupkan komputer dan dianggap kuorum untuk menghasilkan UU yang sangat krusial, mirip-mirip dengan pengesahan UU Cilaka alias Cipta Kerja -yang kini banyak diprotes masyarakat-sebelumnya.

Tidak mudah menjadi pemimpin yang amanah, apalagi kalau kita ingat ajaran Ki Hadjar Dewantara yang sangat legend : Ing ngarsa sung Tulada, Ing madya mangun Karsa, Tut wuri Handayani yakni kalau di depan itu memimpin, di tengah membangun kebersamaan dan di belakang mengikuti.

Bukan ketika contoh kemarin saat ribuan buruh menagih janji untuk diterima secara baik (karena katanya “kangen didemo), malah ngacir alias menghindar jauh ke tempat lain, meski seolah-olah memberikan statemen “mendukung”.

Ini dalam ajaran Jawa disebut lamis, alias hanya lyp-service saja. At last but not least, ayo Shin Tae-yong tidak usah ikut-ikutan lamis, wujudkan saja janji untuk bisa membawa skuad Indonesia U-23 mendunia. Memang masih ada harapan terakhir melawan Guinea di babak play-off jika gagal meraih posisi ketiga, tetapi Insya Allah saya percaya Garuda Muda bisa. Jadi jangan pikirkan lamis apalagi Alexis, tetapi harus optimis. (Dr KRMT Roy Suryo, Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen, sekaligus Menpora ke-11 (2013-2014, Kabinet Indonesia Bersatu II)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *