Perguruan Tinggi Bukan Tempat Ritual Mencari Ijasah

Oleh: Ali Mansur Monesa

beritabernas.com – Pendidikan merupakan suatu sarana konkrit untuk menjadikan manusia sebagai individu yang merdeka secara berkehendak, berpikir secara logis dan menjadikan individu-individu berpikir rasional (animal rational).

Model pendidikan untuk menghasilkan individu yang berpikir merdeka tidak menggunakan cara berpikir awam, yaitu berpikir yang dilakukan oleh orang kebanyakan, tanpa menggunakan kerangka teori atau ilmu tertentu, melainkan menggunakan cara berpikir ilmiah yaitu berpikir secara keilmuan. 

Dengan ungkapan lain, berpikir hingga ke akar-akarnya dan secara mendalam sehingga dapat ditemukan hal-hal yang esensial, substansial dan menyentuh hakikat yang dipikirkan. Inilah bentuk dari intrumen dialektis transformasi esensi pendidikan. Sehingga kehidupan ilmu pengetahuan selalu terjaga sebagai obat penyembuh penyeimbang kerakusan dan keserakahan.

Lebih dari itu pendidikan tidak sekadar mengarahkan tetapi merupakan suatu proses pembebasan secara rasional kepada manusia sebagaimana kehendaknya untuk bebas secara merdeka sesuai hak asasinya.  

Tujuan pendidikan ialah mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Tugas mencerdaskan kehidupan bangsa memang bukan hanya tanggungjawab negara, melainkan tugas semua warga negara atau institusi pendidikan sebagai amanat konstitusi. Maka dari itu setiap institusi pendidikan memiliki tugas penting dalam menjalankan dan menghidupkan kultur akademis sesuai aturan-aturan yang ada sebagai syarat akademis.

Fenomena kontenporer, patut disayangkan jika pendidikan hanya dipandang sebagai pertarungan status sosial dan antrian mencari tiket kerja. Pendidikan tidak selucu dan tidak semudah itu, pendidikan sebagai suatu ruang alternatif penggodokan karakter, mentalitas ketajaman berpikir, serta upaya memperhalus perasaan, dengan menanamkan nilai-nilai budi pekerti.

BACA JUGA:

Dengan kata lain pendidikan tidak sakadar transfer sejumlah ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), melainkan lebih dari itu, yakni proses hominisasi dan humanisasi. Kedua istilah ini mengandung makna imperatif kategoris yaitu keharusan. Hominisasi yakni keharusan memanusiakan manusia muda, yang mengarahkan pada proses kesadaran untuk memanusiakan manusia, sekaligus humanisasi .atau proses pemanusiawian manusia.

Searah dengan pemikiran di atas, Tan Malaka, mengatakan pendidikan adalah mempertajam kecerdasan memperkokoh kemauan memperhalus pemerasan. Sebab melalui pendidikanlah manusia dapat  mengoptimalkan kecenderungannya sebagai manusia, sesuai kodratnya.

Proses belajar mengajar sebagai sarana dialektis transfirmasi peserta didik dapat di ajak berpikir secara radikal sistematis dan universal, sebagai upaya mempertajam kecerdasan atau cara menganalisis dengan memberi pertanyaan atau pernyataan oleh pendidik, berserta adagium-adagium yang memancing lalu membiarkan perdebatan berlangsung.

Ini menjadi metode pembebasan argumen untuk menjelajahi kemampuan peserta didik. Atau semacam memberikan alegori-alegori sesuai konteks lingkungan dan situasi sosial yang ada agar peserta didik peka dan merasa bertanggunjawab, dengan memberi informasi sesuai kondisi lingkungannya.

Suasana ruang kelas, tergantung pada kemampuan pendidik dalam memainkan perannya. Sebab sutradara utama pembelajaran adalah pendidik. Sementara peserta didik sebagai pemain harus mampu didesain agar pembelajaran dapat berlangsung secara efektif.

Kemudian belajar bukan sebagai suatu proses transmisi atau transfer of knowledge semata, melainkan proses dialektis. Artinya kebebasan berpendapat setiap orang yang punya pendapat berhak untuk disampaikan, tanpa harus dibatasi kecuali waktu kontrak  belajar selesai. Pola seperti ini yang pernah dilakukan filsuf Yunani, Plato, pada suatu simposium di akademianya.

Bukan sebaliknya, peserta didik bukan sebagai objek, semacam botol kosong yang harus dijejali sejumlah informasi, tapi sebagai subjek. Sebab di dalam ruang kelas  antara peserta didik dan pendidik sama-sama sebagai subjek. Inilah kultur akademis yang harus dirawat sebagai sarana produksi hominisasi dan humanisasi. Seorang pendidik harus berperan seperti seorang seniman yang harus mampu menciptakan motif bagi peserta didik. Pendidikan ibaratnya sebagai mode of change.

Kondisi Pembelajaran

Ketidakkeseimbangnya pembelajaran itu tergantung pada pendidik, bisa lahir dari pola yang terbalik, dari yang idealnya tidak ada dialektis, yang ada hanya transformasi satu arah dan sikap guru atau dosen yang arogan. Ini merupakan proses pencacatan yang menyebabkan kemunduran dan kegagalan suatu proses pembelajaran.

Pendidikan merupakan penyadaran kolektif kepada generasi, yang sistematis dan terstruktur jika dijalankan secara ideal. Sebab sejatinya pendidikan merupakan suatu proses pengarahan kepada subjek- subjek yang didik, agar mereka sadar sebagai manusia untuk menjalankan tugas-tugas kemanusiaan, sebagaimana kodrat sebagai manusia. Agar kelak mereka dapat berpikir secara merdeka, mengambil keputusan sesuai akal budi luhur serta mampu mempertimbangkan segala tindakannya, yang dapat merusak dan merugikan manusia lain yakni alam semesta dan seisinya.

Kondisi Objektif Perguruan Tinggi

Setiap penerimaan mahasiswa baru, generasi-generasi muda dengan harapan keinginan tinggi polos dan cukup sederhana. Dengan polosnya mereka dari sekolah menengah dengan berbagai latar belakang sosio kultural berbeda, kemudian mendaftarkan diri di berbagai lembaga PT maupun swasta.

Mereka dijemput dengan berbagai tarian marketing kampus, dengan promosi-promosi cemerlang, dengan memberikan slogan-slogan yang seakan-akan memiliki jaminan absolut, sehingga mereka terpukau atau bergejolak menggebu-gebu hasrat untuk kuliah bahkan berkuasa dengan jaminan satu kertas bertinta hitam, yang bernama ijazah. Aturan demi aturan formalitas atas power yang dipegang berupa komersialisasi kecil-kecilan berbagai aturan-aturan muncul dengan berbagai dalil wajib.

Maka dengan polosnya, mahasiswa yang baru masuk atau yang sudah lama pun harus patuh karena harus memiliki izasah, sebagai jaminan masa depan dan peningkatan status sosial sesuai hegemoni yang sudah menjadi virus, sehingga mahasiswa hanya berusaha untuk cepat selesai dalam waktu minimal 4 tahun dan maksimal 7 tahun untuk segera mendapatkan kerja yang belum pasti.

Memang semudah dan selucu itukah pendidikan kita? Untuk menjadi manusia seutuhnya begitu gampang, padahal tidak cukup harus pintar, tapi harus cerdas dan bijak. Kalau dengan orientasi pendidikan seperti ini, apalagi ditambahkan dengan proses pembelajaran seperti memberi makan kepada bayi (dengan cara menyuap atau banking system), alias model satu arah, seperti antrian panjang untuk menunggu tiket kerja, janganlah bermimpi melahirkan generasi cerdas dan kritis.

Semakin panjang pola seperti ini dengan kekuatan hegemoni pasar yang kuat, mau menjadi apa kehidupan bangsa kita kelak? Jika generasi di didik dengan pola seperti ini. Kalau pola pendidikan seperti ini maka bersiaplah kerusakan pola pikir dan kemauan generasi untuk melanjutkan pendidikan sangat berkurang.

Dari perspektif di atas, sekilas tentang kondisi objektif pendidikan kita di tanah air. Kalau ditelusuri lebih jauh yang melanjutkan kuliah ke PT terutama bagi yang mampu saja, lalu muncul pertanyaan kita, bagaimana dengan yang tidak mampu, kalau yang mampu saja bisa antri mencari ijazah untuk tetap bisa bekerja apalagi yang tidak mampu, harus berhutang ke tetangga atau kios atau pinjam di bank. Hanya buat melanjutkan kuliah di PT untuk mendapatkan ijazah.

Kalau model pendidikan (pendidikan toko kelontong) seperti ini kita pertahankan terus menerus, tanpa sedikit pun diubah bentuknya, jangan harap generasi muda mendapatkan kecerdasan yang mumpuni. Maka mimpi mereka pun segera dikuburkan.

Dengan membaca kondisi demikian mestinya pemerintah lebih ketat untuk menganalisis, mencari solusi terbaik dan mencegah praktek-praktek pendidikan yang seperti toko kelontong alias lembaga produksi massal (produk ijazah massal).

Demikian pula praktik pendidikan pragmatis sudah saatnya pemerintah bersikap tegas. Jika tidak generasi muda kita akan mengalami kemunduran kognisi. Untuk menjawab tantangan zaman dan bersaing sehat secara global di kancah internasional, mau tidak mau PT kita harus berpacu diri bersaing dengan PT di negara maju dengan mengembalikan kultur akademis yang serius, tidak asal jadi atau tidak sekadar asal meluluskan  mahasiswanya.

Untuk itu kampus sebagai rahim lahirnya para patriot pencipta pengabdi berdasarkan nila-nilai yang terkandung di dalam Pancasila, PT harus redefinisi dan reaktualisasi fungsi dan misi sejatinya. (Ali Mansur Monesa, Mahasiswa UPY Yogyakarta)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *