Oleh: Sesa Malinda, Mahasiswi Universitas Cendekia Mitra Indonesia
beritabernas.com – Di tanah Gora, Nusa Tenggara Barat (NTB), “musim panjang perkawinan anak” bukanlah metafora romantis, melainkan potret suram realitas yang merenggut masa depan anak-anak. Mirisnya, praktik berbahaya ini bukan sekadar tradisi usang, melainkan pelanggaran telanjang terhadap hak asasi perempuan dan anak perempuan.
Kita dapat menggelengkan kepala, bersimpati pada kisah-kisah mereka yang terpaksa menikah di usia belia, putus sekolah dan hidup dalam lingkaran kemiskinan. Kita dapat bergidik mendengar fakta bahwa NTB menjadi provinsi dengan angka perkawinan anak tertingg, atau bahwa puluhan tahun lalu salah satu anak perempuan tersebut harus menumpang di rumah mertuanya karena suaminya tidak berpenghasilan.
Namun, apakah kesadaran saja cukup? Lantas, jika hanya berhenti pada “oh, kasihan sekali”, bukankah itu hanya basa-basi belaka? Data menunjukkan, ribuan permohonan isbat nikah diajukan setiap tahun, seolah mencari celah agar perkawinan anak dapat “legal” di mata negara.
Bahkan, ada tim pendamping yang sampai dilempari parang saat mencoba mengintervensi tradisi kawin lari. Ini bukan sekadar isu sosial, ini adalah medan perang yang menuntut keberanian, intervensi nyata, dan aksi konkret. Karena kesadaran tanpa aksi, sungguh hanyalah basa-basi.
Berbicara terkait perkawinan anak di Nusa Tenggara Barat itu bukan hanya sekadar “tradisi” yang diwariskan nenek moyang. Ini bukan romansa desa atau kisah cinta di bawah purnama. Ini adalah perampasan hak anak secara brutal. Kita sering dengar dalih “adat”, “budaya” atau “sudah takdir”. Namun cobalah jujur, takdir macam apa yang membuat anak-anak perempuan belia harus putus sekolah, dipaksa menjadi ibu, lalu menanggung beban ekonomi di pundak yang masih ingusan? Ini bukan takdir, ini penghancuran masa depan yang disahkan atas nama kebiasaan.
BACA JUGA:
- Pemicu Pernikahan Dini di Kabupaten Ketapang dan Dampak Sosialnya
- Mengenang ’98, Membela Hari Ini: Pemerkosaan Bukanlah Rumor
Bayangkan, Nara yang baru 17 tahun sudah menjadi ibu bayi 4 bulan, putus sekolah, diceraikan dan bahkan tidak memiliki KTP. Anaknya? Ikut-ikutan “ilegal” tanpa identitas. Miris, bukan? Sara, dinikahkan di usia 16 tahun, bertahun-tahun hidup menumpang, iri melihat teman-teman menggunakan seragam SMA, padahal dia juga ingin bersekolah. Dan Rona, diculik lewat “merarik”, dinikahkan secara adat tetapi tidak diakui negara, tanpa buku nikah, tanpa Kartu Keluarga.
Ini bukan hanya soal pilihan hidup yang salah, tetapi pilihan hidup yang tidak pernah ada bagi mereka. Hak untuk bermain, belajar, bermimpi, bahkan sekadar memiliki identitas resmi, semuanya lenyap digilas “tradisi” yang sebenarnya hanya menjadi bungkus untuk praktik berbahaya.
Bila sudah begini, masihkah kita santai mengatakan ini tradisi? Atau kita akan mulai berteriak bahwa ini adalah bentuk kekerasan struktural yang menghancurkan satu generasi demi satu generasi di NTB? Karena jika bukan kita yang berani bicara dan bertindak, lantas siapa lagi? Jangan sampai nanti kita hanya mampu mengatakan, “duh, kasihan sekali,” padahal kita tahu di depan mata ada masa depan anak-anak yang hancur.
Akar masalah dan ribetnya melawan arus budaya
Berbicara terkait kenapa perkawinan anak begitu susah diberantas di NTB, kita harus melihat ke akarnya. Ini bukan hanya tentang “jatuh cinta” atau “sudah berhubungan intim” seperti yang tercatat di pengadilan agama. Ada alasan yang lebih besar, lebih membumi dan lebih membuat geleng-geleng kepala: budaya dan pandangan masyarakat yang kelewatan kaku.
Coba bayangkan saja. Salah satu pemicu utama itu adalah “kawin lari” alias “merarik”. Tradisi ini, konon katanya, adalah cara laki-laki “menculik” si perempuan untuk dinikahi. Kedengarannya seperti film romantis, tetapi kenyataannya sering menjadi mimpi buruk. Begitu si perempuan “dibawa lari”, terutama jika masih di bawah umur, masyarakat Sasak itu memiliki semacam “hukum tak tertulis” yang mengatakan: perempuan yang sudah “dibawa lari” itu sulit diterima kembali oleh keluarganya. Harga diri keluarga dapat dianggap tercoreng. Oleh karena itu, daripada menjadi “aib”, lebih baik dinikahkan saja, meski si perempuan masih ingusan dan si laki-laki juga belum memiliki pekerjaan jelas.
Yang membuat rumit ialah, tim pendamping seperti Yayasan Tunas Alam Indonesia (Santai) di Lombok Timur, yang mencoba “menyelamatkan” anak-anak dari praktik ini, sering sekali menghadapi tantangan luar biasa. Mereka mencoba proses “pembelasan”, yakni mengembalikan anak perempuan yang diculik dan membatalkan pernikahan.
Kedengarannya gampang. Padahal, mereka bahkan sampai dilempari parang! Ini bukan main-main. Laki-laki yang sudah “mengambil” perempuan itu merasa harga dirinya diserang jika si perempuan ingin diambil kembali. Ini bukan lagi soal cinta, tetapi terkait gengsi dan martabat yang keliru dipahami.
Jadi, jelas bukan? Akar masalahnya itu berlapis-lapis. Dari kehamilan yang tidak direncanakan, romantisme “kawin lari” yang kebablasan, hingga budaya yang begitu kuat menekan agar pernikahan tetap terjadi, bahkan jika itu berarti mengorbankan masa depan seorang anak. Ini bukan perkara sederhana yang dapat diselesaikan dengan ceramah dua tiga kalimat. Ini perlu keberanian luar biasa dan kesabaran tingkat dewa untuk melawan arus budaya yang sudah mengakar dan sering kali reaksioner.
Katanya pemerintah sudah berusaha, bukan? Ada Perda Nomor 5 tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak, lalu Pergub Nomor 34 tahun 2023 tentang Rencana Aksi Daerah, hingga membentuk Satgas Pencegahan Perkawinan Anak (Satgas PPA). Bahkan, PBB melalui UNFPA juga turut dukung, memberikan pelatihan kesehatan reproduksi bagi remaja, dan membantu dashboard untuk monitoring. Kedengarannya keren, semua prinsipnya sudah di atas kertas.
BACA JUGA:
Tapi, kenapa angka perkawinan anak di NTB masih saja “menggila”? Bayangkan, tahun 2023 ada 4.574 pengajuan isbat nikah di Pengadilan Tinggi Agama NTB. Tahun 2024 hingga bulan Desember, terdapat 3.544 pengajuan serupa. Ini berarti, banyak sekali yang menikah di bawah tangan atau di bawah umur, bila begitu anak-anaknya sudah memiliki umur yang cukup (19 tahun), mereka buru-buru ke pengadilan meminta pernikahan mereka “disahkan” secara negara. Ini jelas-jelas akal-akalan untuk menghindari aturan hukum yang melarang perkawinan anak.
Bila sudah begini, kita patut bertanya: seefektif apa peraturan yang ada? Apakah Perda dan Pergub itu hanya menjadi pajangan di lemari, atau benar-benar turun ke lapangan dan mengubah mentalitas masyarakat? Kenapa masih ada celah sebesar itu untuk “melegalkan” praktik yang jelas-jelas dilarang? Jangan-jangan, penegakan hukumnya masih lemah, atau sosialisasi ke masyarakatnya kurang.
Jadi, memiliki peraturan yang bagus saja belum cukup. Bila masih ada ribuan kasus isbat nikah setiap tahun, itu berarti peraturan tersebut dibaca sebagai “cara mengelabui” oleh sebagian orang, bukan sebagai batasan tegas. Ini bukan hanya tentang kurangnya kesadaran, tetapi juga terkait minimnya ketegasan dalam implementasi dan penegakan. Kebijakan yang hanya di atas kertas tanpa aksi nyata dan pengawasan ketat, ujung-ujungnya hanya menjadi basa-basi belaka, sementara masa depan anak-anak di NTB terus terancam.
Kesadaran tanpa aksi? Itu hanya basa-basi level dewa
Kita sudah tahu perkawinan anak melanggar hak, kita sudah tahu akar masalahnya budaya yang bebal, dan kita juga sudah tahu bila kebijakan pemerintah belum cukup ampuh. Lalu, ingin sampai kapan kita hanya sadar tetapi diam saja? Ingin sampai kapan kita hanya dapat mengatakan “duh, kasihan ya” tanpa ada gerakan konkret?
Bila kesadaran kita hanya sebatas tahu fakta dan merasa prihatin, itu namanya basa-basi level dewa. Itu sama saja seperti kita tahu rumah tetangga kebakaran tetapi hanya mampu melambaikan tangan dari jauh tanpa turut membantu memadamkan api. Masalah perkawinan anak di NTB ini bukan lagi drama di televisi yang dapat kita tonton lalu ganti channel. Ini adalah realitas pahit yang merenggut masa depan ribuan anak.
Kita tidak dapat hanya mengandalkan pemerintah atau NGO saja. Lihat bagaimana tim pendamping di Lombok Timur harus berhadapan dengan ancaman fisik, bahkan dilempar parang, hanya karena mencoba “menyelamatkan” anak-anak. Itu menunjukkan betapa kuatnya cengkeraman “tradisi” yang keliru ini. Artinya, kita semua memiliki tanggung jawab. Mulai dari level keluarga, masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, hingga kita yang mungkin hanya mampu menyebarkan informasi.
Mencegah perkawinan anak itu bukan hanya urusan hukum atau adat, tetapi urusan moral dan kemanusiaan. Setiap anak memiliki hak untuk tumbuh, belajar, dan mewujudkan potensinya. Bila hak tersebut dirampas hanya karena “sudah dikembalikan” atau “takut aib”, kita sedang membiarkan mereka masuk ke dalam lingkaran setan kemiskinan dan keterbatasan.
Mari kita berhenti di titik “kesadaran” dan maju ke “aksi”. Aksi dapat dimulai dari hal kecil: berani bicara, tidak diam jika melihat ada indikasi perkawinan anak di sekitar kita, mendukung program pencegahan, atau paling tidak, berhenti membenarkan praktik ini atas nama tradisi atau takdir. Karena jika kita tidak bergerak sekarang, “musim panjang perkawinan anak” ini akan terus berlanjut, dan kita akan terus menjadi penonton bisu.
Jadi, setelah kita bedah habis-habisan masalah perkawinan anak di Bumi Gora, dari kisah pilu Nara hingga tantangan dilempar parang, satu hal menjadi sangat jelas: kesadaran saja tidak cukup. Kita dapat terus-terusan mengelus dada, merasa prihatin, atau bahkan marah melihat data dan cerita-cerita tersebut. Kita dapat terus bericara mengenai hak anak, undang-undang, dan bahaya tradisi yang salah kaprah. Namun bila semuanya hanya berhenti di kepala dan di bibir, tanpa ada gerakan nyata, maaf saja, itu hanya basa-basi kelas kakap.
NTB butuh lebih dari sekadar “rasa iba” kita. Mereka butuh aksi nyata. Aksi untuk memastikan setiap anak memiliki hak penuh atas masa depannya, bukan terjerat dalam lingkaran kemiskinan dan keterbatasan karena dinikahkan di usia belia. Ini bukan hanya tugas pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat; ini tanggung jawab kita semua.
Mari kita pastikan bahwa slogan “Kesadaran tanpa aksi hanya basa-basi” ini tidak berlaku untuk kita. Ayo bergerak, entah dengan mendukung program pencegahan, berani berbicara, atau sekadar memastikan lingkaran terdekat kita tidak jatuh ke lubang yang sama. (*)
There is no ads to display, Please add some