Oleh: Ki Prijo Mustiko
beritabernas.com – Memasuki halaman Museum Dewantara Kirti Grya di Jalan Tamansiswa Nomor 25 Yogyakarta atau sebelah Utara Pendopo Tamansiswa, terasa hati menjadi ayem dan teduh.
Di pojok kamar depan yang merupakan kamar tidur Ki Hadjar Dewantara masih bisa kita temukan pohon rambat Camcao (Cyclea barbata Miers) merupakan pohon kesayangan keluarga Ki Hadjar Dewantara. Konon dahulu Nyi Hadjar Dewantara sering membuatkan minuman segar Camcao atau Cincau Hijau yang dicampur pemanis gula Jawa untuk suami tercinta Ki Hadjar Deawantara.
Betapa kita bisa membayangkan kehangatan hubungan kekeluargaan antara suami-isteri Ki Hadjar Dewantara dan Nyi Hadjar Deawantara bersama keluarga besar di rumah Dewantaran ini yang sekarang sudah menjadi Museum Dewantara Kirti Grya, di bawah pengelolaan Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa.
Seperti kita ketahui bersama bahwa Nyi Hadjar Dewantara selalu mendampingi dengan setia, penuh kasih-sayang dan dalam suka-duka sepanjang hidup perjuangan bersama Ki Hadjar Dewantara, mulai bisa kita lacak sejak keduanya merasakan penderitaan pada masa pembuangan di Negeri Belanda pada tanggal 13 September 1913 sampai dengan 26 Juli 1919, padahal saat itu juga baru saja melangsungkan pernikahannya.
Jadi masa temanten baru dilakoni dengan suasana sebagai orang buangan dan sebagai pejuang Kemerdekaan RI bersama Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo yang kita kenal dalam sejarah perjuangan bangsa sebagai “Tiga Serangkai”.
Selama menjalani masa pembuangan kita ketahui Nyi Hadjar bertugas menjadi guru di sekolah Frobel di Den Haag dan Ki Hadjar masih aktif menulis artikel yang bermuatan politik sebagai bagian memperjuangkan Kemerdekaan RI. Namun ternyata masa pembuangan ini membawa hikmah maupun titik-balik bagi Nyi Hadjar dan Ki Hadjar, terutama bermula dari pemikiran Nyi Hadjar bahwa usaha meraih kemerdekaan bangsa tidak akan berhasil hanya melalui jalur politik tetapi harus disertai dengan usaha di bidang Pendidikan yakni dengan menebarkan benih kesadaran jiwa merdeka lahir dan bathin kepada seluruh anak bangsa Indonesia.
Setelah pulang dari masa pembuangan di Negeri Belanda pada tahun 1919, Ki Hadjar langsung kembali bergerak di arena perjuangan politik dengan konsekuensi ditahan Pemerintah Kolonial Belanda di Penjara Pekalongan. Nah di sinilah peran besar Nyi Hadjar mengingatkan kembali tekad bersama untuk beralih arena perjuangan melalui dunia pendidikan. Selepas dari menjalani hukuman di Penjara Pekalongan, Ki Hadjar bersama dengan tokoh-tokoh Nasionalis lainnya mendirikan Tamansiswa pada tanggal 3 Juli 1922.
Kegiatan belajar-mengajar di Perguruan Tamansiswa diawali dengan mendirikan Taman Lare, yang di kemudian hari dikenal sebagai Taman Indria atau Taman Kanak-kanak. Motor penggeraknya sebagai guru atau pamong adalah Nyi Hadjar dibantu dengan Ni Marminah mengasuh anak-anak Yogyakarta sebagai siswa Tamansiswa.
Dalam waktu singkat Gerakan Pendidikan Tamansiswa ini dengan cepat merebak ke seluruh daerah terutama di Jawa dan Sumatra, sehingga Pemerintah Kolonial Belanda memberlakukan Undang-Undang Sekolah Liar, artinya Gerakan Pendidikan Tamansiswa dihambat dan dilarang aktivitasnya dan dinyatakan sebagai Sekolah Liar.
Menghadapi situasi dan kondisi seperti ini Nyi Hadjar dan K Hadjar terus berjuang menggerakkan Tamansiswa tanpa jera, apabila ada seorang guru Tamansiswa yang ditangkap Belanda, harus bisa segera mencari guru pengganti, sehingga salah satu ajaran Tamansiswa kita kenal dengan semboyan “Setiap orang adalah guru dan setiap tempat sebagai sekolah”. Akhirnya perjuangan Tamansiswa ini berhasil dengan dicabutnya Undang Undang Sekolah Liar oleh Pemerintah Kolonial belanda.
Senyampang membina Taman Indria maka Nyi Hadjar juga aktif menggerakkan Wanita Tamansiswa, terutama beranggotakan guru-guru wanita Tamansiswa maupun para isteri guru Tamansiswa ikut serta memperjuangkan emansipasi wanita yang sudah digaungkan oleh ibu RA Kartini.
Perlu dicatat pula bahwa Nyi Hadjar bersama dengan teman seperjuangan wanita, RA Soekonto dan RA Suyatin, sebagai inisiator penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Ndalem Joyodipuran Yogyakarta, dihadiri sekitar seribu peserta yang berasal dari 30 organisasi wanita dan dari 12 kota di Jawa dan Sumatra.
Adab Perempuan
Dalam forum Kongres Perempuan Indonesia yang pertama tersebut, Nyi Hadjar menyampaikan pidato pada tanggal 23 Desember 1928 dengan judul “Adab Perempuan”, judul aslinya dengan teks Bahasa Jawa tertulis “Adab Isteri”.
Cuplikan dari pidato Nyi Hadjar yang terkenal tersebut antara lain dapat dikutip dengan Bahasa Indonesia yang disesuaikan sebagai berikut: Apa yang disebut dengan Keadaban atau Kesusilaan dalam Bahasa Jawa? Adapun yang dimaksud dengan Keadaban adalah segala perilaku yang utama, adat istiadat yang halus, tertib dan selaras (harmonis) dengan olah gerak badan yang ber-wirama. Ketahuilah bahwa segala perilaku yang berbentuk lahir sungguh berhubungan dengan kehidupan bersifat bathin. Orang yang halus budinya tentulah halus juga lahirnya. Sebaliknya orang yang tertib tingkah lakunya tentulah juga tertib bathinnya.
BACA JUGA:
Di bagian akhir pidatonya, Nyi Hadjar menyatakan bahwa, pada dasarnya yang memegang peran penting dalam perkembangan baik dan buruknya adab manusia itu adalah perempuan, karena perempuan itu lebih memilih ikatan batin yang kuat dengan manusia yang dilahirkannya. (Naskah asli koleksi Museum Dewantara Kirti Grya).
Kongres Perempuan ini merupakan ajang peran Kaum Perempuan Indonesia yang ikut-serta menjadi bagian memperjuangkan Kemerdekaan RI, namun tidak kalah pentingnya juga Kongres Perempuan ini merupakan forum yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan terutama dalam bidang Pendidikan dan Pernikahan.
Beberapa kesepakatan dalam Kongres Perempuan yang pertama ini antara lain mendirikan badan federasi yang dinamakan Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI), menerbitkan surat kabar yang melibatkan Nyi Hadjar sebagai salah satu anggota Redaksi, menghimpun bea-siswa khusus bagi remaja putri yang tidak mampu, mengirimkan mosi tidak percaya kepada Pemerintah Kolonial Belanda yang berkaitan dengan perlindungan hak bagi janda dan anak-anak, dan mosi untuk Peradilan Agama yang terkait dengan pengaturan talak secara tertulis serta sesuai dengan peraturan agama. Setelah masa Kemerdekaan RI tanggal 22 Desember dinyatakan sebagai Hari Ibu Nasional.
Kelembutan dan Ketegaran Hati
Sosok Nyi Hadjar Dewantara, yang nama mudanya RA Soetartinah, yang lahir pada tanggal 14 September 1890 dari keluarga ningrat Pakualaman yakni putri Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Sosroningrat dan cucu Kanjeng Gusti Pangeran Aria Adipati (KGPAA) Paku Alam III, sejak masa remaja sudah terdidik dengan penanaman nilai budaya yang mengedepankan kelembutan hati, namun sekaligus ditempa dengan ketegaran hati menghadapi suasana kehidupan dalam cengkeraman penjajahan kolonial Belanda. RA Soetartinah menamatkan pendidikannya di Europease Lagere School (ELS) di Yogyakarta pada tahun 1904 dan melanjutkan sekolah guru yang kemudian menjadi guru bantu pada sekolah yang didirikan oleh R. Rio Gondoatmodjo.
Sepeninggal Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 26 April 1959, maka Nyi Hadjar Dewantara menggantikannya sebagai Pemimpin Umum Persatuan Tamansiswa yang dengan kelembutan hatinya membimbing Tamansiswa dengan penuh asih, asah, asuh. Namun perlu dicatat pada forum Kongres Tamansiswa yang berlangsung pada tahun 1963 terjadi puncak konflik memperebutkan pimpinan Majelis Luhur Tamansiswa dari golongan peserta Kongres yang beraliran kiri, maka pada saat yang kritis tersebut, Nyi Hadjar dengan ketegaran hati yang tegas dan dengan keikhlasan hati yang tulus memberhentikan pihak-pihak yang akan merusak maupun mengubah ideologi Tamansiswa ke arah kiri.
Mengunjungi Museum Kirti Grya, terutama masuk ke ruang pribadi Nyi Hadjar di bagian rumah utama Museum, kita akan bisa belajar banyak tentang perpaduan antara kelembutan dan ketegaran hati Nyi Hadjar Dewantara selama membersamai dalam kehidupan perjuangan Ki Hadjar Dewantara, baik sebagai isteri maupun sebagai pejuang Pendidikan dan kaum Perempuan Indonesia.
Nyi Hadjar Dewantara wafat pada tanggal 16 April 1971 dimakamkan di Taman Wijaya Brata Yogyakarta berdampingan dengan makam Ki Hadjar Dewantara dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional, semoga suri teladan dan jasanya kepada bangsa dan negara Republik Indonesia selalu dikenang dan menjadi pembelajaran yang berharga bagi generasi penerus bangsa Indonesia. (Ki Prijo Mustiko, Ketua Dewas Perkumpulan Keluarga Besar Tamansiswa Ketua Jaringan Masyarakat Budaya Nusantara)
There is no ads to display, Please add some