Oleh: Ben Senang Galus, Penulis buku Transformasi Ideologi, Menyingkap Ideologi dan Developmentalisme, tinggal di Yogyakarta
beritabernas.com – Kasus bunuh diri generasi Z belakangan ini semakin menambah panjang daftar kasus bunuh di Tanah Air. Dari tahun ke tahun angka bunuh diri menunjukkan prevalensinya cukup tinggi. Mengutip harian Kompas (30/5/2025) kasus bunuh diri paling banyak pada penduduk berusia 15-29 tahun. Sementara generasi Z berumur 12-27 tahun.
Sebagian besar orang muda itu masih sekolah dan kuliah. Ada juga yang sudah masuk pasar kerja, mengawali karier, menganggur, membina hubungan romantis, menikah, bahkan sudah mengurus anak.
Menurut harian Kompas edisi 27 Mei 2025, setiap tahun ada 740.000 bunuh diri. Artinya, setiap 43 detik satu jiwa melayang karena bunuh diri. Jumlah korban berjenis kelamin lelaki dua kali lipat daripada perempuan. Menurut Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) jumlah kasus bunuh diri di Indonesia dalam kurun waktu 2012-2023 mencapai 2.112 perkara.
Tindakan bunuh diri di kalangan generasi Z diduga sebagai akumulasi kekecewaan terhadap sistem pendidikan kita yang mendidik anggota masyarakat yang kerdil jiwa dan pikirannya, menjadi anak yang takut berkompetisi dengan teman-temannya baik dalam kancah pergaulan nasional maupun internasional. Dengan kata lain bunuh diri di kalangan generasi Z atau kaum terpelajar menunjukkan potret pendidikan di Tanah Air telah gagal menghantarkan manusia yang berbudi manusia.
Mengutip AE Wood (1982), mengatakan, tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh manusia tidak hanya terdorong oleh naluri semata, akan tetapi juga dipicu oleh (1) tidak terpenuhinya pemenuhan kebutuhan dasar (basic need) dan kebutuhan sosial (dereived need), (2) faktor transfomasi sosial dari masyarakat (negara) agraris ke masyarakat (negara) industri.
Oleh karena itu bunuh diri di kalangan terpelajar itu mencerminkan kondisi sosial dan kebudayaan masyarakat Indonesia pada umumnya dalam menghadapi proses akulturasi yang berlangsung amat pesat dan luas jangkauannya. Walaupun masyarakat Indonesia, sebagaimana halnya dengan masyarakat bangsa lainnya, mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan dalam arti luas.
Akan tetapi perubahan yang berlangsung dalam tempo yang relatif singkat dan menjangkau hampir segenap sektor kehidupan, dapat menyebabkan masyarakat kehilangan akal sehat dalam menghadapinya.
BACA JUGA:
- Pengadilan Sebagai Benteng Terakhir bagi Pencari Keadilan
- Kekerasan dalam Dunia Pendidikan
- Bandit Peradilan: Ketika Hakim Berkhianat pada Hukum
Dalam kondisi demikian, masyarakat dihadapkan pada tiga pilihan, yaitu bekerja keras untuk menanggulangi tantangan, melarikan diri dari kenyataan atau melakukan bunuh diri. Celakanya hanya sebagian kecil masyarakat yang, karena kepekaannya melihat peluang, mampu menyesuaikan diri dan mengambil manfaat. Sebagian besar warga masyarakat justru cenderung untuk melarikan diri dari kenyataan atau bersikap masa bodoh. Sedang sebagian kecil warga yang tidak mempunyai banyak pilihan justru melakukan dengan bunuh diri sebagai sebuah pilihan.
Walaupun jumlah warga yang memilih tindakan bunuh diri sebagai protes terhadap perubahan lingkungan yang kurang menguntungkan itu tidak besar, namun dampaknya sangat luas. Masyarakat yang pada umumnya tidak sanggup menghadapi berbagai tantangan, akhirnya terseret untuk ikut melakukan bunuh diri sebagai pilihan untuk menghadapi tantangan ketika cara-cara konvensional tidak efektif lagi
Tindakan bunuh diri nampaknya merebak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi selama masa pembangunan berorientasi pertumbuhan. Pembangunan yang dititikberatkan pada bidang ekonomi itu telah meningkatkan kegiatan sosial, ekonomi dan politik yang memerlukan dukungan pranata sosial yang menjamin keadilan sosial (social justice), demokrasi politik (political democracy) dan kebebasan budaya (cultural freedom).
Penerapan tekonologi maju yang mahal biayanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, telah memperkenalkan nilai-nilai merkantil, materialistik dan kompetitif yang memacu timbulnya persaingan. Akan tetapi persaingan tanpa aturan main yang jelas akhirnya mengembangkan persaingan yang tidak sehat yang merangsang tindakan bunuh diri, kembali menjadi model penyelesaian masalah.
Simpton politik kematian
Meminjam catatan Marsel Robot dalam Kematian Yang Mempesona: Sebuah Hermeneutika Bunuh Diri (2006), yang mengatakan “Mereka tidak melakukan bunuh diri, mereka sedang membunuh negara atau tepatnya mereka dibunuh oleh realitas karena diyatimpiatukan oleh keadaan. Toh, kalau mereka bunuh diri, itu bukan untuk mati, tetapi itulah cara paling ekstrim untuk melampiaskan rasa frustrasi terhadap kemiskinan yang tak tertahankan. Atau cara tipikal rakyat Indonesia untuk melakukan balas dendam atas kesengsaraan sebagai rakyat Indonesia. Singkatnya, bunuh diri sebagai bentuk protes terhadap realitas yang dikonstruksi negara. Karena itu, Anda tidak mempunyai hak untuk menguburkan jenazah-jenazah mereka selain pemerintah atau utusannya.”
Lebih lanjut Marsel Robot, mengatakan, dalam perspektif hermeneutika sosial, “bunuh diri” bukanlah sekedar happenings (kejadian belaka yang kadang acak), melainkan sebagai doings yakni perbuatan atau tindakan bertujuan. Bunuh diri, oleh karena itu, adalah tindakan sosial. Suatu tindakan yang direncanakan dan bertujuan, baik bagi si pelaku bunuh diri maupun orang lain. Dengan kata lain, bunuh diri merupakan simptom yang mengandung perihal unjuk rasa terhadap realitas. Sebagaimana pengemis dan pengamen di simpang jalan dapat dimaknai sebagai cara lain untuk meminta semangkuk keadilan dan sedekah harta dari kekayaan negara yang direguk secara angkuh oleh segelintir orang (koruptor).
Karena itu, apabila ditanya: mengapa seseorang bertindak bunuh diri? Mengapa tidak membunuh orang lain? Atau yang paling arif, mengapa tidak meminta wejangan seorang rohaniwan? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dirujuk pada pandangan sisiolog Brian Fay.
Fay mengkatagorikan niat atau motif tindakan atas lower intentional level (tingkat atau derajat niat yang rendah) dan higher intentional level (derajat niat yang tinggi). Suatu tindakan sangat mungkin dimaknai dalam dua level tujuan sekaligus. Apa yang disebut lower intentional level ialah bahwa seseorang bunuh diri karena “kemiskinan”. Realitas hidup seorang bernama rakyat Indonesia dikepung oleh bukan saja harga kebutuhan pokok naik, melainkan karena seluruh kebutuhan untuk hidup meningkat dan sulit dicapainya.
Dalam tindakan yang sama (bunuh diri) tersirat pula higher intentional level. Pemaknaan pada tingkat ini, bunuh diri merupkan meta-aksi. Artinya, seorang melakukan bunuh diri bukan untuk menghindari perjumpaan dengan realitas yang terus-terus menderanya, melainkan bunuh diri merupakan cara untuk mengucapkan makna tertentu kepada negara. Dalam konteks itulah seseorang dibunuh oleh realitas.
Bila pada lower intention level tindakan bunuh diri merupakan tujuan, maka pada higher intention level tindakan bunuh diri merupakan strategi atau metode pengucapan makna. Dengan begitu, tindakan bunuh diri bukanlah sebuah simptom “politik kematian”, apalagi dikategorikan sebagai trend paling keren untuk menamatkan hidup di bumi, melainkan ia, si pembunuh diri adalah fundamentalist yang menolak perjumpaan dengan keadaan, atau menghindari secara radikal realitas penderitaan yang sengit dan pahit. Dan realitas yang dimaksud dikonstruksi oleh negara melalui politik pembangunan.
Penjelasan di atas dapat diperluas dalam ranah praksis dengan mengacu pada pandangan Johan Galtung. Galtung pernah mengatakan, pembangunan tidak lain adalah usaha penghapusan-penghapusan kesengsaraan, seperti perdamaian adalah penghapusan-penghapusan perang. Sedangkan bunuh diri merupakan jawaban ekstrim terhadap penderitaan. Dengan kata lain, apabila misalnya kebijakan pembangunan tidak sanggup mensejahterakan, apalagi kalau terjadi sebaliknya (menyebabkan rakyat semakin menderita), maka sesungguhnya telah terjadi tindakan represi atau tindakan kekerasan oleh negara terhadap rakyatnya. Kekerasan jenis ini oleh Galtung dikategorikan seagai kekerasan struktural.
Inti kekerasan struktural adalah eksploitasi. Dalam konsep Galtung eksploitasi diartikan sebagai cara mendistribusikan kekayaan secara tidak adil. Beberapa orang yang berada di puncak (topdog) mendapatkan lebih banyak distribusi kekayaan daripada sebagain besar orang di bawah (underdog) terlunta. Dan yang paling sial ialah apabila pihak underdog dirugikan terus-menerus hingga mereka kekurangan makanan, penyakitan, lalu mati atau mematikan diri (bunuh diri).
Tentu terlalu naif untuk begitu saja memparalelkan penjelasan Galtung dengan perangai pemerintah Indonesia yang korup. Namun, realitas kemelaratan rakyat tidak bisa dipandang sebagai sisi lain atau tidak inheren dengan tugas pemerintah.Lantas bunuh diri hanya dipahami sebagai happenings. Betapapun penderitaan rakyat produk tindakan kekerasan atau bentuk penganiayaan terhadap terhadap kehidupan rakyat.
Pada pihak lain, ironi sosial sepanjang jalan pembangunan tidak pernah redah. Korupsi di kalangan topdog merimbun di mana-mana, sedangkan kemeratan di kalangan underdog terdapat di mana-mana. Kalangan topdog asyik mementaskan kamuflase semacam gerakan “kejarlah daku kau ‘kan kutangkap” di mana koruptor dibebaskan, bahkan berlenggang anggun di atas karpet merah menuju istana, sedangkan di kalangan underdog terjadi eskalasi bunuh diri.
Rakyat Indonesia bagai burung audan di tepi jurang yang hanya hidup untuk mengenal sedih dan derita. Lantas ada yang menolak keadaan itu dengan membunuh diri. Sebilah pisau atau seutas tali gantung diurapi dengan teologi Jawa: “toh hidup ini hanya sekadar tempat singgah minum air. “Sebab, segala kesibukan kita “hanya menunda kekalahan”, kata penyair Chairil Anwar. Namun, bunuh diri karena kemiskinan adalah sebuah simptom yang mewartakan kematian nurani bangsa, isyarat lenyapnya kesadaran akan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Simpton politik kematian yang dilakukan oleh manusia karena tidak terpenuhinya pemenuhan kebutuhan dasar (basic need) dan kebutuhan sosial (dereived need), dan menguatnya transfomasi sosial dari masyarakat (negara) agraris ke masyarakat (negara) industri, kemudian menuju ke masyarakat informasi. Kasus bunuh diri sebagai bentuk konkrit negara telah gagal menjamin kesejahteran publik sebagaimana diamanatkan dalam UUD45. Oleh sebab itu negara harus bertanggungjawab atas politik kematian ini. Negara tidak boleh cuci tangan atas kasus bunuh diri di Tanah Air. (*)
There is no ads to display, Please add some