Dalam Dua Hari, UII Wisuda 820 Lulusan

beritabernas.com – Selama dua hari berturut-turut, Sabtu dan Minggu, 29-30 Juli 2023, UII mewisuda 820 lulusan pada periode VI Tahun Akademik 2022/2023 di Auditorium KH Abdukahar Mudzakkir Kampus Terpadu UII.

Dari 820 lulusan UII yang diwisuda pada periode kali ini terdiri dari 17 ahli madya, 705 sarjana, 95 magister dan 3 doktor. Denga demikia, sampai saat ini, UII telah menghasilkan lebih dari 120.000 lulusan. Mereka sudah menebar manfaat dengan beragam peran, baik di dalam negeri maupun mancanegara.

“Ini adalah bagian dari sumbangsih UII untuk kemajuan bangsa dan kemanusiaan,” kata Prof Fathul Wahid ST MSc PhD, Rektor UII, pada acara wisuda periode VI Tahun Akademik 2022/2023 di Auditorium KH Abdukahar Mudzakkir Kampus Terpadu UII, Sabtu 29 Juli 2023.

Lulusan UII yang diwisuda pada periode VI Tahun Akademik 2022/2023 di Auditorium KH Abdukahar Mudzakkir Kampus Terpadu UII. Foto: Humas UII

Pada kesempatan itu, Rektor UII Prof Fathul Wahid ST MSc PhD mengingatkan para wisudawan agar selalu asah dan tambah kecakapan. Apa yang sudah dikuasai sampai hari ini akan menjadi modal awal untuk berkontribusi dengan beragam peran. Namun perlu diingat bahwa lingkungan berubah dan tuntutan bertambah.

Untuk menjamin relevansi keberadaan dan memastikan kontribusi terbaik para wisudawan, menurut Rektor UII, pilihannya tidak banyak. Salah satunya adalah dengan terus belajar dari beragam sumber, dengan berbagai cara.

“Sangat mungkin, suatu saat di masa depan yang tidak terlalu jauh, kecakapan yang kita punya akan tidak relevan lagi. Meski demikian, jangan sampai Saudara menganggap masa depan itu mengerikan. Selama kita menjadi pembelajar sejati, kita harus menjemput masa depan dengan suka cita dan penuh keyakinan. Saudara adalah para pemimpin masa depan,” kata Rektor UII.

Hal itu ditekankan oleh Rektor UII karena banyak dari kita yang merasa cukup dengan apa yang sudah diketahui sehingga mereka lupa untuk terus belajar. “Saya khawatir ‘mereka’ ini termasuk ‘kita’,” kata Rektor UII.

Denga mengutip Adam Grant dalam buku Think Again (Grant, 2021), Rektor UII memberikan beberapa resep untuk tidak terjerat pada jebakan ini.

BACA JUGA:

Pertama, kita harus berani berpikir ulang (rethinking) dan melupakan pelajaran lama (unlearning). Berpikir ulang dapat dilakukan dengan mengubah perspektif kita, mempertimbangkan informasi baru dan bersedia mengambil kesimpulan, solusi, atau sudut pandang yang berbeda.

“Seringkali apa yang sudah kita pelajari di masa lampau juga perlu dilupakan. Perspektif lama sangat mungkin tidak relevan lagi. Kita juga bisa menemukan kelemahan pelajaran yang kita dapatkan karena sumber yang tidak terpercaya, menemukan bukti baru, ada masalah ketika dijalankan, atau karena refleksi mendalam kita sendiri. Ini mirip dengan meninggalkan amalan yang selama ini kita lakukan, karena ternyata berdasar hadis palsu,” kata Rektor UII

Dikatakan, menyiapkan diri menerima hal baru ibarat mengosongkan sebagian isi teh cangkir kita, supaya teh yang lebih hanya bisa dituang ke dalamnya. Selama kita merasa sudah paripurna, maka informasi baru tidak akan pernah dihargai dan mendapatkan tempat.

Kedua, berpikir ulang terus menerus adalah budaya saintis. Kita harus berpikir seperti saintis, bahkan meskipun peran kita ke depan bukanlah seorang saintis. Seorang saintis mempunyai pertanyaan, mempertimbangkan bukti, tidak terjebak pada asumsi, dan mengujinya dengan seksama. Seorang saintis cenderung selalu skeptis, tidak mudah percaya dengan banyak hal yang tanpa didasari argumen dan bukti.

Mengapa hoaks bisa menyebar dengan cepat? Salah satunya adalah karena banyak pengguna media sosial tidak berpikir seperti saintis, bahkan di kalangan saintis. Kesadaran harus dijaga, karena profesor pun kadang lupa kalau dia seorang saintis.

Grant dalam bukunya memberikan pembeda ekstrim antara sebagai saintis, penceramah, jaksa penuntut, dan politisi. Seorang penceramah selalu mencoba meyakinkan orang lain bahwa mereka benar. Seorang jaksa senantiasa berusaha membuktikan bahwa orang lain salah. Seorang politisi terus berjuang memenangkan hati konstituennya. Seorang saintis mendasarkan keyakinannya pada argumen yang disertai bukti dan selalu terbuka dengan teori baru (McIntyre, 2019). Tentu, kita bisa diskusikan perbedaan ini, karena saat ini, semuanya sangat mungkin saling beririsan.

Ketiga, kita dituntut dapat membedakan antara budaya kinerja (culture of performance) dan budaya pembelajaran (culture of learning). Yang pertama mengedepankan hasil, prestasi, atribusi, dan pengakuan. Budaya ini, jika disalahpamahi dapat melemahkan pembelajaran dan perbaikan, menyembunyikan kesalahan, dan menoleranasi praktik tidak etis.

Rektor UII, Prof Fathul Wahid mewisuda lulusan. Foto: Humas UII

Sebagai ilustrasi, ketika menjadi juara kelas adalah tujuan dan segala-galanya, dan bukan dianggap sebagai dampak karena menyelesaikan pekerjaan rumah dan ujian dengan baik, maka tidak jarang banyak godaan untuk menghalalkan semua cara termasuk berbuat curang dan menghinakan orang lain.  

Dalam budaya pembelajaran, kita bisa saling tidak sepakat tanpa rasa khawatir. Kalaupun ada konflik, kita tidak membingkainya sebagai konflik hubungan (relationship conflict), tetapi sebagai konflik tugas (task conflict).

Konflik hubungan melibatkan orang yang terlibat, siapa yang benar, kompeten, bermoral, peduli, dan sebagainya. Konflik ini biasanya menghambat kemajuan. Konflik tugas adalah tentang masalah, tantangan, dan situasi. Konflik ini justru memantik pelajaran dan tilikan baru, mendorong pemecahan masalah, dan menumbuhkan inovasi.

Menurut Rektor UII, untuk menjaga adaptabilitas dalam menghadapi masa depan, kita sudah seharusnya bersyukur jika mengetahui apa yang belum kita ketahui dan bukan malah malu. Hanya dengan demikian, kita akan terus berpikir ulang dan belajar. “Tidak ada garis finis dalam kamus pembelajar sejati,” kata Rektor UII. (lip)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *