Liberalisme Politik dan Ekonomi Sering Menimbulkan Kontroversi

beritabernas.com – Liberalisme politik sering diterima dengan baik sebagai demokrasi liberal. Sementara liberalisme ekonomi cenderung ditolak karena dikaitkan dengan kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi. Sehingga kedua liberalisme ini (ekonomi dan politik) sering menimbulkan kontroversi. Kedua jenis liberalisme ini populer di Indonesia dan secara global.

Menurut Dr Suwarsono Muhammad MA, Dosen FBE UII, liberalisme ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan seperti seks, lingkungan hidup, pendidikan, kebudayaan dan agama. Liberalisme politik mendapat kecaman keras, sementara liberalisme ekonomi, meski antiketimpangan ekonomi, belum sepenuhnya diterima publik karena pertimbangan keseimbangan antara pasar dan negara sangat penting.

“Liberalisme kemudian mengalami krisis setelah berkembang menjadi neoliberalisme. Pada titik ekstrem, ideologi menjadi kaku dan kurang adaptif, menimbulkan reaksi balik sehingga perlunya menemukan titik keseimbangan baru secara damai,” kata Suwarsono Muhammad dalam Seminar Ekonomi Politik Nasional dengan tema Ancaman Illiberalisme bagi Demokrasi Ekonomi di Indonesia, di Kampus Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) UII Condongcatur, Sleman, DIY, Kamis 25 Juli 2024.

Seminar nasional yang dibuka oleh Rektor UII Fathul Wahid yang diadakan oleh FBE UII bekerja sama dengan ISEI Cabang Yogyakarta ini menghadirkan 3 narasumber yakni Prof Aloysius Gunadi Brata SE MSi PhD, Dosen FEB UAJY, Faisal H Basri SE MA (Ekonom UI dan Politikus) dan Dr Suwarsono Muhammad SE MA.

Rektor UII Fathul Wahid saat membuka Seminar Ekonomi Politik Nasional dengan tema Ancaman Illiberalisme bagi Demokrasi Ekonomi di Indonesia, di Kampus Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) UII Condongcatur, Sleman, DIY, Kamis 25 Juli 2024. Foto: Philipus Jehamun/ beritabernas.com

Menurut Suwarsono Muhammad, saat ini liberalisme sedang mengalami krisis dalam ekonomi, politik dan kebudayaan sehingga peringatan dari Rosenblatt (2024) tentang krisis liberalisme penting untuk diperhatikan.

Dikatakan, krisis liberalisme lebih terasa dalam politik praktis dan melintasi kawasan barat dan timur, sehingga banyak akademisi dunia membahas masalah ini dalam buku dan tulisan-tulisan mereka.

Fenomena illiberalisme

Menurut Suwarsoso, krisis liberalisme memunculkan fenomena illiberalisme (illiberalism). Illiberalisme merupakan metamorfosa dari demokrasi liberal yang diperkenalkan oleh Fareed Zakaria dalam tulisannya The Rise of Illiberal Democracy yang dimuat dalam majalah ilmiah populer kelas dunia Foreign Affairs tahun 1997. Demokras illiberal bisa memicu kematian demokrasi liberal.

Suwarsono mengatakan, illiberalisme kini menjadi ideologi baru yang berbeda dengan isme-isme yang lain. Illiberalisme menjadi wacana tandingan yang juga berskala global. “Illiberalisme mulai mendapat tempat di dunia Islam,” kata Suwarsono.

Sementara Prof Aloysius Gunadi Brata mengatakan, illiberalisme menolak prinsip-prinsip dasar demokrasi (kebebasan berpendapat, hak asasi manusia dan supremasi hukum) sehingga dapat mengganggu tatanan sosial dan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, dan akhirnya menimbulkan ancaman serius bagi stabilitas politik dan ekonomi nasional. (a.l. TOR Seminar)

Menurut Aloysius Gunadi Brata, meningkatnya intoleransi, polarisasi politik dan pembatasan kebebasan berpendapat hingga pengekangan peluang dan kebebasan berusaha dilihat sebagai indikator menguatnya illiberalisme.

Dikatakan, illiberalisme sebagai sebuah konsep (dengan definisi yang ketat), tampaknya masih merupakan isu relatif “muda” di Indonesia, kendati ciri-cirinya mungkin sudah banyak diamati/terjadi. Sehingga menjadi relevan untuk dibahas, terkait praktik dan narasi politik-ekonomi yang terjadi beberapa tahun terakhir.

BACA JUGA:

Esai Fareed Zakaria di Foreign Affairs, 1997, berjudul The Rise of IlliberalDemocracy, menurut Prof Gunadi Brata, argumennya adalah bahwa banyak rezim politik tampak demokratis di permukaan dengan alasan mereka melaksanakan pemilihan umum dan melalui gerakan-gerakan praktik demokrasi, tetapi dilakukan tanpa menghormati prinsip-prinsip liberal seperti pluralisme, supremasi hukum atau kebebasan individu

Konsep politik ini, yang memiliki implikasi luas, termasuk ke berbagai aspek ekonomi namun belum banyak dieksplorasi. Dikaitkan dengan banyak perkembangan di berbagai negara (seperti Hungaria, Polandia, Israel, India, Meksiko), juga terkait banyak konsep politik lainnya, seperti populisme.

Sejak 1994, kebebasan sipil dan hak-hak politik dari 1/3 dunia anjlok secara substantial dan berlangsung dengan cepat, akibat praktik otokrasi yakni ketika ketiga kekuasaan pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) berada dalam satu tangan sering dengan mengeksploitasi hukum sehingga disebut autocratic legalism).

Menurut Prof Gunadi Brata, populisme (rezim populis) mengancam demokrasi karena melemahkan lembaga formal seperti pengadilan, badan legislatif dan badan-badan regulator, yang dianggap sebagai ciptaan “elit korup”. Sebagai pemenang pemilihan umum, mereka gagal membatasi diri dan malah melemahkan dan mempolitisasi lembaga formal demokrasi liberal.

Mendefinisikan ulang rakyat (secara semena-mena), seringkali dengan mengecualikan minoritas etnis atau agama yang rentan, imigran dan kelompok ekonomi yang terpinggirkan. Hasilnya adalah aturan mayoritas tanpa hak minoritas.

Ekonom UI dan politikus Faisal H Basri (kanan) saat berbicara dalam Seminar Ekonomi Politik Nasional dengan tema Ancaman Illiberalisme bagi Demokrasi Ekonomi di Indonesia, di Kampus Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) UII Condongcatur, Sleman, DIY, Kamis 25 Juli 2024. Foto: Philipus Jehamun/ beritabernas.com

Selain itu, mengikis norma-norma informal demokrasi. Mereka mempertanyakan kesetiaan oposisi dan mengecam kritik sebagai “berita palsu”. Alih-alih menoleransi pers bebas dan oposisi politik, mereka malah berusaha merusak legitimasinya.

Temuan polling Ipsos akhir 2023 yakni warga di 28 negara merasa bahwa negaranya dalam situasi merosot dan masyarakatnya rusak. Sentimen anti-elit meluas di hampir semua negara, sedangkan sentiment anti-imigran lebih beragam. Polling juga menemukan bahwa di banyak negara ada keinginan agar pemimpin yang kuat (strong leaders) untuk “mengembalikan kejayaan negara.”

Mereka yang putus asa atau yang “lelah berharap”, akan mudah menjadi target dari praktik politik populis
yang menawarkan “impian lama dalam kemasan baru.” Populisme modern mengacu pada partai politik dan pemimpin yang muncul dalam demokrasi liberal dan sekuler yang mapan dengan menyerang institusi liberal dan supremasi hukum.

Ketika mereka memenangkan pemilihan, partai-partai populis membawa negara mereka ke arah non-liberalisme tanpa meninggalkan demokrasi. Mereka menggunakan mekanisme demokrasi sebagai kendaraan, dengan memainkan modus populisme, menuju illiberalisme. (lip)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *