Oleh: Ali Mansur Monesa, Alumni UPY
beritabernas.com – Hegemoni merupakan sebuah konsep besar dari Antonio Gramsci untuk sosiologi dan ilmu sosial. Titik awal konsep Gramsci tentang hegemoni adalah suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi (Roger Simon, 2004:19).
Dapat dikatakan bahwa hegemoni merupakan sebuah kondisi dimana kelas yang dominan terlalu kuat terhadap kelas di bawahnya, sehingga secara tidak langsung adanya sebuah persetujuan spontan dari kelas bawah terhadap perlakuan kelas atas. Dengan kata lain kelas bahwa tidak dapat berbuat apa-apa untuk melawan kelas atas yang mendominasi tersebut.
Hegemoni juga memberikan sumbangsih terhadap pendidikan, yaitu pendidikan dilihat memiliki peran yang strategis dalam mengabsahkan hegemoni yang dominan. Kaum intelektual dapat memainkan peranan penting untuk mempertahankan status quo yang ada, termasuk hegemoni kebudayaan dominan (Damsar, 2012:44).
Lalu bagaimana posisi guru jika menggunakan hegemoni Gramsci? Jawabannya sudah pasti, guru terhegemoni oleh negara. Guru di bawah hegemoni negara tidak dapat berbuat apa-apa karena posisi guru berada di bawah kendali penguasa. Guru saat ini sudah ternina bobokan oleh pemerintah dengan segala kebijakan yang dikeluarkan atau politisasi terhadap guru. Salah satunya adalah menina-bobokan guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa merupakan pengalihan kesadaran objektif guru untuk memperoleh pendapatan layak (Damsar, 2012:153).
BACA JUGA:
- Pendidikan sebagai Jalan Pembebasan
- Filsafat Pendidikan Eksistensialisme Menempatkan Manusia Pada Titik Sentrum Relasi Kemanusiaan
- Seni Bertanya ala Socrates
Ketidakberdayaan guru ditunjukkan dengan sangat kuatnya negara mengatur guru dan membuat guru tidak bisa berbuat apa-apa. Semua yang dijalankan oleh guru seperti adanya kesepakatan yang spontan dan terpaksa yang dilakukan negara terhadap guru. Contoh dari hegemoni negara terhadap guru adalah beban administrasi yang diberikan terhadap guru tidak sebanding dengan kesejahteraan guru, protes dilakukan tetapi tetap saja tidak merubah apapun karena hegemoni negara.
Posisi guru dalam politik pendidikan
Hasil dari politik pendidikan di Indonesia pada masa reformasi menghasilkan sebuah posisi antara negara dan guru. Relasi negara dan guru dalam pendidikan berada pada sebuah kelas sosial yang berbeda. Negara dalam hal ini merupakan individu atau lembaga yang memiliki otoritas terhadap pendidikan.
Dalam tingkat pemerintah pusat yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berada pada kelas sosial yang tinggi, sementara dalam tingkat pemerintah daerah yaitu Dinas Pendidikan. Pada sisi lain guru berada pada kelas sosial rendah.
Dengan adanya perbedaan kelas sosial tersebut maka menimbulkan sebuah dominasi dari negara terhadap guru dalam pendidikan. Namun relasi dalam pendidikan tidak hanya pada negara dan guru, akan tetapi juga melibatkan masyarakat. Masyarakat berada pada posisi menengah dalam kelas sosial ini, karena masyarakat sejatinya dalam pendidikan harus terlibat dan mendukung pendidikan.
Peran negara dalam pendidikan merupakan pemegang otoritas pendidikan, negara masih memiliki wewenang untuk mengatur regulasi pendidikan. Hal ini pun menjadikan guru dalam pengambilan kebijakan dan penetapan keputusan menjadi terisolasi dan tidak pernah dilibatkan dalam penetapan dan pengambilan keputusan (Mohammad Surya, 2006;87).
Guru di sini dijadikan sebuah objek pendidikan dengan regulasi-regulasi pendidikan yang ada. Hal ini pun mengakibatkan guru terbelenggu oleh kebijakan negara, karena guru menjadi sebuah objek pendidikan. Guru hanya dijadikan sebagai pelaksana dari adanya sebuah kebijakan pendidikan yang ada. Terbelenggunya guru dalam kebijakan pendidikan menjadikan guru memiliki sebuah beban administrasi, karena banyak sekali kebijakan yang mewajibkan guru melengkapi sebuah dokumen.
Negara dalam hal ini begitu dominan terhadap guru. Dominasi itu ditunjukkan dengan adanya sebuah kebijakan pendidikan. Kelas sosial antara guru dan negara telah menimbulkan adanya sebuah dominasi dari negara yang memiliki kelas lebih tinggi terhadap guru yang kelas sosialnya lebih rendah. Dalam relasi negara dan guru berhubungan dengan masyarakat, masyarakat tersubordinasi oleh negara.
Dengan tersubordinasinya masyarakat oleh negara maka masyarakat hanya mengetahui sebuah sistem pendidikan tanpa tahu praktek yang terjadi di lapangan seperti ini. Masyarakat hanya mengetahui saat ini guru sudah sejahtera dengan adanya sertifikasi guru, guru tidak memiliki permasalahan pada kesejahteraan guru, tidak adanya beban administrasi guru.
Hal ini menyebabkan masyarakat yang tersubordinasi oleh negara, tidak berada pada posisi yang seharusnya dalam UU Sisdiknas sebagai pengawasan jalannya pendidikan. (*)
There is no ads to display, Please add some