Kekerasan dalam Dunia Pendidikan

Oleh: Ben Senang Galus, Pengamat Pendidikan, tinggal di Yogyakarta

beritabernas.com – Semakin merajalelalnya praktik anomali, gejala scientisme, pendewasaan teknologi sebagai nilai mutlak (ideologi pertumbuhan), menguatnya pedagogi hitam, materialisme merajalela, hedonisme merajalela, premanisme merajalela, ketidakadilan sosial yang meluas, etika dan moral semakin rapuh (demoralisasi umat manusia), telah menandai masyarakat modern. Hal ini bukan tidak mungkin juga disebabkan oleh sistem pendidikan.

Simptom yang semakin menggila tersebut pada gilirannya melahirkan  manusia-manusia yang tinggi kadar intelektualismenya namun tanpa emosi dan jiwa sosial yang haus akan nilai-nilai human, yang bermuara pada disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila sebagai filosofi dan ideologi bangsa.

Mengutip pendapat M Harmin dalam How to Plan a Program for Moral Education, 1990, bahwa lembaga pendidikan tidak saja menghasilkan anak-anak pintar dan cerdas, tapi sekaligus melahirkan ”bandit-bandit intelektual”. Maka model pendidikan seperti ini, menurut M Harmin, sebagai wildlife education model  atau model pendidikan margasatwa.   

Pendidikan margasatwa, menurut Harmin, tidak mengenal harkat dan martabat kemanusiaan. Kekerasan adalah pilihan dan satu-satunya pilihan itu sendiri. Filosofinya adalah siapa yang kuat dialah yang menang.

Dalam dunia pendidikan selalu menghadir watak, homo homini lupus alias manusia adalah Srigala bagi manusia. Atau dalam ungkapan Latin Bellum omnium contra omnes, frasa Latin yang deskripsi oleh Thomas Hobbes terhadap keberadaan manusia dalam eksperimen pemikiran keadaan alam yang ia lakukan dalam De Cive (1642) dan Leviathan (1651), yang merujuk pada postulat perang semua melawan semua.

Dampaknya, yang lemah selalu menjadi korban, entah cedera atau mati. Jika teman atau musuh sudah kalah atau mati, maka dia menobatkan diri sebagai raja. Beberapa contoh kasus guru memukul murid, murid memukul guru, klitih, begal, pencurian dengan kekerasan, tawuran massal, tidak sedikit melibatkan para siswa. 

Kekerasan yang sering terjadi di dunia pendidikan yang cenderung ekskalasinya meningkat dari tahun ke tahun, memperkuat keyakinan publik bahwa lembaga pendidikan tidak diyakini sebagai proses pemartabatan manusia dan pembudayaan bangsa. Ia cenderung sebagai lembaga homo homini lupus.

Ideologi pertumbuhan tanpa batas

Saat ini kita sedang memasuki abad apa yang disebut Kenichi Ohmae sebagai The Borderless World alias  kemajuan tanpa batas. Dalam borderless wolrd tidak sedikit pula membawa dampak ketidakwajaran terhadap prilaku manusia terdidik.

Dampak negatif dari ideologi petumbuhan atau kemajuan tanpa batas, melampaui batas-batas kewajaran dari pertumbuhan atau perkembangan yang memungkinan paling masuk akal dengan kata-kata yang tepat, seperti hilangnya identitas pribadi manusia, hilangnya martabat manusia, hilangnya karakter manusia, karena kemajuan yang melampaui batas-batas kewajaran itu secara radikal mengubah sama sekali persepsi manusia mengenai dirinya sendiri dan orang lain.

BACA JUGA:

Dampak negatif lain dari ideologi pertumbuhan tanpa batas ialah manusia menjadi terasing dari dirinya sendiri dan lingkungan masyarakat budayanya. Anak didik kita makin terasing dari masyarakatnya, terasing dari keluaganya (karena teknologi smart phone), menjadi terperangkap dalam budaya yang diciptaknnya sendiri, yang proses penyembuhannya membutuhkan waktu lama.

Selanjutnya, ideologi pertumbuhan membuat manusia bukan lagi sebagai subyek human yang otonom melainkan budak yang tertindas karena keseimbangan psikologis tergoncang ketika norma-norma etos sosial, keadilan sosial, perikemanusiaan, solidaritas sosial “dijungkirbalikan“.

Maka tidak mengherankan kalau rasa keadilan sosial, solidaritas sosial, etika dan moral pada masyarakat Indonesia meluntur habis, etika sosial diganti dengan etika individual yang menjadi tolok ukur dari kriterium nilai.

Manusia tidak lagi menjadi mahluk sosial yang hidup bersama orang lain melainkan mahluk tunggal yang hidup sendiri dalam penjara-penjara kebudayaan yang diciptakannya sendiri, yang hanya bisa bertahan karena pupuk materialisme sebagai konsekwensi dari ideologi pertumbuhan tanpa batas.

Materialisme, lebih jauh memaksa manusia untuk memandang  dirinya sebagai “Dewa dan Allah” dalam dunia. Begitu sekularisme dan ateisme praktis muncul sebagai agama baru tanpa promulgasi resmi. Materialisme semestinya dimengerti dalam konteks sosial budaya masyarakat yang berada pada tahap transisi, perubahan, perkembangan yang terus melaju untuk mendapatkan identitas sosial dan personalnya.

Pendidikan tidak saja membawa implikasi pada perubahan cara bertindak manusia, tapi juga cara berpikir yang diliputi alam pikiran dan sikap scientisme yang involutif, yakni kecenderungan sikap manusia yang semakin eksklusif sebagai personifikasi ketidakmampuannya menerima nilai-nilai budaya mondial yang seakan-akan mengancam resistensi budayanya.

Dalam arus kuat pertumbuhan tanpa batas itu, kita dihadapkan dengan beberapa pertanyaan yang menggugat, sanggupakah lembaga pendidikan kita menemukan dan merevitalisasi jati diri martabat manusia?  Masihkah pendidikan kita ikut berperan dalam mengendalikan arah dan arus perubahan yang melanda situasi kebangsaan kita saat ini? Ataukah tenggelam dan terpaksa ikut arus? Atau masihkah  moral pendidikan kita mempunyai fungsi dan berperan sebagai watchdog terhadap arah perubahan yang keliru itu?  

Pedagogi hitam 

Pendidikan sekolah adalah tempat di mana anak-anak menemukan kegembiraan dan kebahagiannya. Di sana anak-anak belajar tentang kejujuran, belajar tentang etika dan moral, belajar menjadi dirinya, belajar menghargai orang lain, belajar bekerja keras, belajar saling mengharga, belajar saling memberi, belajar berdemokrasi, belajar bergotong royong, dan lain sebagai sesuai dnegan prinsip nilai Pancasila.

Di sana anak-anak memperoleh perlindungan dari ancaman-ancaman, di sana mereka belajar tentang hidup berdemokrasi, belajar tentang solidaritas sosial. Pokoknya lembaga pendidikan sekolah adalah tempat  memanusiakan manusia bermartabat yang merdeka pikiran dan berekspresi.

Namun dalam praktek justeru sebaliknya. Di sekolah anak-anak menjadi muram, sedih, takut menghadapi guru, guru takut menghaapi murid. Waktu bermain anak-anak disita habis oleh kepentingan pendidikan. Kepentingan pendidikan demi alasan kemajuan, namun mengorbankan harkat dan martabat kemanusiaan manusia anak. Anak-anak menjadi kehilangan waktu untuk merdeka pikiran, lahir dan batin. Kemerdekaan anak dirampas demi alasan kemajuan bangsa.

Di sekolah anak-anak kehilangan kegembiraan dan terasing dari sesama teman. Mereka kehilangan kesempatan untuk menjadi anak-anak yang hidupnya diwarnai dengan bermain. Di sekolah juga anak-anak sudah mulai resah, tak tahu nasib apa yang bakal menimpanya di masa depan.  Jika hal ini terus menerus terjadi maka pertanyaan fundamentalnya ialah, What is wrong in Indonesian classrooms?

Prof. Kurt Singer, dalam Sindhunata (2001), membeberkan panjang lebar gejala kondisi pendidikan kita saat ini. Menurut Singer sekolah bukan lagi tempat yang nyaman bagi anak-anak. Sistem pendidikan sekolah mau tak mau menjadikan guru  sebagai agen yang mengawasi, menindas dan merendahkan martabat para siswa.

Sekolah menjadi lingkungan penuh sensor yang mematikan bakat dan gairah anak untuk belajar. Pekerjaan dan kewajiban sekolah  menjadi diktator yang memusnahkan kemampuan anak untuk belajar menjadi dirinya. Sekolah bukan lagi tempat untuk belajar melainkan tempat untuk mengadili dan merasa diadili. Kurt Singer menyebut lembaga pendidikan sekolah kita yang mengakibatkan kegelisahan, ketakutan, keresahan jiwa anak-anak itu, sebagai  Schwarzer Paedagogic (pedagogi hitam).

Kapasitas bertangungjawab

Lembaga pendidikan merupakan institusi yang memiliki tugas penting bukan hanya untuk meningkatkan  penguasaan informasi dan teknologi dari anak didik, tetapi ia juga bertugas dalam pembentukan kapasitas bertanggungjawab siswa dan kapasitas pengambilan keputusan yang bijak dalam kehidupan  sekolah.

Selain itu lembaga pendidikan diharapkan sebagai wadah pembentukan kapasitas intelektual dan moral bagi peserta didik yang memungkinkannya untuk membuat keputusan bertanggungjawab (informed and responsible judgement) atas hal permasalahan rumit yang dihadapi dalam kehidupan di kemudian hari.

Oleh sebab itu  lembaga pendidikan harus menjadi penggerak utama dalam pendikan yang bebas (free public education), di mana pendidikan sebaiknya bersifat universal, tidak memihak (non sectarian).  Dengan demikian  tujuan utama pendidikan adalah sebagai penggerak efisiensi sosial, pembentuk kebijakan berkewarganegaraan (civic virtue) dan penciptaan manusia berkarakter bebas, merdeka pikiran dan jiwanya, jadi bukan untuk kepentingan salah satu pihak tertentu (sectarian ends).

Pakar pendidikan HG Wells dalam The Catastrope of Education, 1981, mengatakan “semakin tumpulnya  etika sosial masyarakat tidak dapat tidak karena semakin suburnya praktek anomali dalam sistem pendidikan, sebagai salah satu sebab kemungkinan”.

Kalau saja HG Wells itu benar, maka kita tidak perlu sakit hati atau dengan kata lain sia-sialah guru-guru atau dosen-dosen kita mengajar anak-anak kita, karena toh pada akhirnya pendidikan menghasilkan manusia mentalitas korup, tidak jujur, suka merampok. Bahkan gejala ini sudah menjalar sampai kepada lembaga agama, yang diyakini mempunyai kekuatan menolak segala bentuk anomali dalam masyarakat.

Mestinya sekolah/kampus adalah tempat di mana anak-anak menemukan kegembiraan dan kebahagiannya. Di sana anak-anak belajar tentang kejujuran, belajar tentang etika dan moral, belajar menjadi dirinya. Di sana anak-anak memperoleh perlindungan dari ancaman-ancaman, di sana mereka belajar tentang demokrasi. Pokoknya sekolah adalah tempat  memanusiakan manusia merdeka.

Gejala anomali dalam pendidikan, setidak-tidaknya ada tiga faktor sebagai sebab. Pertama, semakin banyak guru  berperan sebagai komandan lapangan tempur, yang tidak mengenal kata maaf. Kedua, sistem sekolah lebih mendekati model pendidikan penjara, anak-anak tidak pernah diajar tentang kebebasan berpikir, bergaul dan memiliki perasaan sosial dengan temannya. Sistem sekolah sengaja mengkotak-kotakkan anak yang bodoh dan yang pintar. Ketiga, guru atau dosen benyak mengambil jalan pintas dalam hal jual beli nilai atau mengajar/membimbing siswa/mahasiswa asal-asalan, sehingga siswa/mahasiswa kita tidak lebih sebagai “ tahu sepotong-sepotong mengenai sepotong-sepotong”.

Di samping itu sadar atau tidak pendidikan kita akan bersifat kodian atau belum tuntas, artinya masih kurang memberi perhatian kepada pengembangan individualitas yang mandiri. Hampir seluruh kegiatan di sekolah atau kampus belum banyak usaha nyata untuk menumbuhkan  minat siswa/mahasiswa untuk cinta kepada kerja dan kerja keras. Mentalitas jalan pintas rupanya sejalan dengan budaya bangsa kita, budaya trobosan, budaya menjilat pimpinan, budaya mediokritas.

Di kalangan siswa/mahasiswa budaya ini cukup tumbuh subur, seperti budaya menyontek, budaya plagiat, penelitian fiktif, budaya malas berpikir, budaya malas berdiskusi, budaya malas menulis, budaya malas membaca. Oleh karena itu sekolah/kampus sejak dini perlu diajarkan bekerja keras dan jujur menurut kesanggupannya dan dijauhkan dari kebudayaan babu (babysiting culture).

Sebab menumbuhkan warisan kerja keras dan  jujur akan sulit tumbuh dalam kebudayaan babu. Pemikiran ini berawal dari  suatu sintesa bahwa pada akhirnya pendidikan itu tidak akan bermanfaat apabila menghasilkan babysiting culture.

Demikian pula, lembaga pendidikan bukan lembaga margasatwa alias lembaga penjara bagi anak didik. Melainkan lembaga pembentukan watak dan karakter. Karakter yang dihasilkan dari dunia pendidikan adalah karakter mulia atau karkter emas. Semoga pendidikan kita ke depan lebih baik lagi dari saat ini. Sehingga manusia Indonesia emas 2045 merupakan hasil dari sistem pendidikan berkarakter emas.  Selamat Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2025. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *