Kepalan Tangan Megawati Soekarnoputri: Hukum Bukan Alat Kekuasaan

Oleh: Saiful Huda Ems

beritabernas.com – Morat-marit. Begitu istilah yang tepat bagi orang Jawa untuk menggambarkan keadaan yang hancur lebur, berantakan. Demikian kondisi kepercayaan rakyat pada Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) secara faktual, bukan berdasarkan survei dari lembaga survei yang kerap menerima pesanan.

Betapa tidak, sejak Gibran Rakabuming Raka dipaksakan menjadi Cawapres 2024 melalui serangkaian “operasi” rekayasa keputusan hukum, Pemerintahan Jokowi selalu mendapatkan protes dan cibiran dari rakyat.

Protes dan cibiran rakyat tersebut semakin dahsyat, manakala berbagai kasus korupsi dan penegakan hukum yang sangat gegabah, penuh rekayasa satu persatu mulai terungkap, meski sangat nampak sekali rezim Jokowi sangat berusaha menutup-nutupi atau bahkan malah terkesan berusaha “cuci tangan”, seolah itu bukan domain atau ranah dirinya (Rezim Nepotis), melainkan hanya domain personal atau satu institusi yang berkepentingan dengan kasusnya saja. Lah kalau mau cuci tangan terus begitu, lalu apa gunanya rakyat mempunyai Presiden?

Contoh mutakhir adalah penanganan proses penegakan hukum terhadap kasus pembunuhan Eki dan Vina di Cirebon, dimana Pengadilan Negeri Bandung telah mengabulkan semua permohonan Praperadilan Pegi Setiawan, pada Senin 8 Juli 2024.

Dengan dikabulkan seluruh permohonan Praperadilan Pegi Setiawan, maka Pengadilan Negeri Bandung telah membatalkan penetapan Pegi Setiawan sebagai tersangka pembunuhan Eki dan Vina serta memerintahkan pembebasan Pegi Setiawan. 

Kasus pembunuhan Eki dan Vina di Cirebon ini sudah menjadi pembicaraan umum di masyarakat, mulai dari kelas bawah hingga elit sampai berbulan-bulan. Rakyat di berbagai pelosok daerah dan kota masih terus bertanya-tanya, kok pembunuh yang sebenarnya masih belum ditangkap-tangkap? Apa seperti ini wajah sebenarnya dari penegakan hukum di negeri ini?

Ketika rakyat mulai resah dengan fenomena penegakan hukum yang dirasa sangat tidak transparan dan penuh kepalsuan, ingatan rakyat tentu tertuju pada sosok Presiden Jokowi yang dianggap mulai berubah dan menunjukkan karakter aslinya yang sangat pengecut dan manipulatif.

BACA JUGA:

Kasus berikutnya yang kali ini nampaknya lebih banyak diketahui oleh para akademisi atau masyarakat yang melek hukum, adalah soal Rancangan Undang-Undang Polri. Pada perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 3 tahun 2002 tentang Polri sangat terlihat sekali bagaimana Polri telah coba dijadikan sebagai alat politik kekuasaan. Ini bisa dibaca dalam RUU Polri ada penambahan kewenangan Polri tanpa diiringi oleh mekanisme kontrol dan pengawasan yang kuat. Pun demikian dengan perpanjangan usia pensiun, bagaimana kita tidak melihat hal itu bisa berpotensi terjadinya abuse of power?

Kemudian dengan kasus yang terjadi di KPK, ini yang lebih seru lagi, yang membuat Presiden V yakni Ibu Megawati Soekarnoputri meradang dan mengepalkan tangan perlawanan untuk menantang dan menghantam Rezim Nepotis Jokowi. Hal itu tampai di acara “Sekolah Partai” PDIP di Lenteng Agung Jaksel, pada Jumat 5 Juli 2024.

Bagaimana Bu Mega tidak kesal dan marah, orang kepercayaannya, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, yang tidak memiliki kasus apa-apa, dipaksa untuk dikait-kaitkan dengan kasus suap recehan Harun Masiku. 

Padahal Bu Mega sangat tahu, banyak kasus korupsi sangat besar dan gila-gilaan, namun malah didiamkan saja oleh KPK dan seolah dilindungi oleh Rezim Jokowi. Sedangkan Hasto Kristiyanto dan stafnya, Kusnadi, yang tidak bersalah apa-apa, dan orang biasa malah diperlakukan sewenang-wenang oleh Penyidik KPK yang bernama Rossa Purbo Bekti, ketika Rossa meminta keterangan dan merampas handphone dan buku catatan PDIP milik Hasto dan Kusnadi secara sewenang-wenang. Olehnya, Bu Mega meminta Rossa yang telah memeriksa Hasto untuk menghadapinya. 

“Yang korupsi didiemin terus, tetapi orang biasa dan tidak punya jabatan dan pengikut apa-apa (maksudnya Kusnadi Staf Hasto) malah diperlakukan oleh Penyidik KPK (Rossa) seperti itu. Saya berani kalau suruh datang ke sini Rossa, suruh datang ngadepin aku. Loh, lha iyalah, gile orang yang bikin KPK itu saya loh, kok nggak diakui loh yo. Sopo. Gile. Aku bilang, orang kayak dia aja kok kayak yang pangkatnya opo. Pangakate opo yo?” tanya Bu Megawati,dan dijawab “AKBP” oleh beberapa peserta.

Bu Megawati memang sangat pantas kesal dan marah, karena memang di masa kepemimpinan nasional Bu Megawatilah KPK dibentuk, melalui UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, yang kemudian diubah dengan UU Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 tahun 2002. KPK dibentuk oleh Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri saat itu dengan peran sebagai trigger mechanisme atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang sudah ada bisa menjadi lebih efektif dan efisien. 

Maka ketika lembaga KPK sekarang mulai nampak dijadikan sebagai alat politik kekuasaan untuk membungkam dan menggebuk orang-orang yang kritis pada Pemerintahan Jokowi, Bu Megawati marah dan berbalik menantang pihak yang berusaha mempolitisasi aparat penegak hukum yang di antaranya melalui KPK.

Kalau Bu Megawati sudah mulai kembali turun ke lapangan untuk memimpin “Perang Politik” begini, ya tidak heran kalau pertahanan politik Rezim Jokowi mulai morat-marit, hancur lebur dan Jokowi mulai jadi bahan cibiran atau cemoohan rakyat mulai dari para akademisi, lawyer, politisi hingga tukang bubur. 

Masihkah Jokowi tidak mau berbenah dan menyerah? Ataukah Jokowi akan dilumat habis oleh sejarah? Tunggu saja… (Saiful Huda Ems (SHE, Lawyer and Journalist)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *